1

549 35 0
                                    

"Sudahlah. Kau tak akan pernah menjadi dokter. Nilai biologimu aja sama kayak aku. Tinggian aku malah," ejek Rama untuk ke sekian kalinya setiap kali Nia membicarakan tentang cita-citanya itu kepada teman-temannya.

Nia. Seorang cewek yang duduk di bangku kelas tiga SMA yang tidak sampai tiga bulan lagi dia dan teman-temannya akan menempuh ujian nasional.

Seperti anak-anak yang lain, di tahun terakhirnya belajar di SMA Nia juga mempunyaiimpian. Emm. Bukan impian. Cita-cita. Eh. Tujuan hidup, mungkin kali ya. Tujuan hidup untuk menjadi seorang dokter.

Ya, seseorang yang menyembuhkan orang lain. Salah satu alasannya adalah ketika sahabat dekatnya, Rara terbaring lemah di ranjang ruang opname yang tengah berjuang melawan kanker otak stadium akhir.

Sebagai sahabat dekat yang telah menemaninya dalam susah dan senang, Nia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kala itu Nia tak dapat menemaninya dalam susah dan membiarkannya berjuang sendirian hingga Tuhan mengambilnya kembali.

Hanya Nia-lah diantara teman-teman Rara yang merasa paling kehilangan waktu itu. Nia tak ingin lagi melihat orang yang disayanginya pergi meninggalkannya, seperti Rara. Maka dari itu, Nia ingin menjadi seorang dokter. Ya, setidaknya dia dapat berguna bagi orang yang disayanginya.

Pagi itu cuaca cerah saat pelajaran biologi di kelas 12 IPA B, Bu Iswa dengan suara falsetnya membagikan ilmu kepada murid-muridnya dan diakhiri dengan mempertontonkan beberapa lembar kertas.

"Anak-anak! Untuk meningkatkan pemahaman kalian, ibu akan memberikan tugas tambahan tetapi karena hanya ada tujuh lembar ibu bagi kelompok menurut presensi, ya,"

Terdengar desahan tak terima dari anak-anak, termasuk Nia. Dia tidak suka setiap kali dibagi kelompok berdasarkan presensi karena ...

"Mono, Nia, Rama dan Reni kalian kelompok selanjutnya," kata Bu Iswa.

Reni teman semejanya yang supersibuk kalau kerja kelompok gini pasti suka datang molor dan minta pulang cepet. Selama mengerjakan juga sibuk sms-an entah dengan siapa. Sedangkan Mono dan Rama adalah teman tetangga meja Nia, mereka semeja.

Mono sebenarnya pintar tetapi terlalu misterius dan kerjaannya hanya membaca buku aneh melulu.

Terakhir Rama, cowok yang suka merendahkan orang lain dengan perkataan nyelekit-nya dan yang paling suka menghabiskan makanan. Setiap kali mereka satu tim harus bersabar ekstra tinggi.

"Nah, semua tim sudah terbentuk. Tolong dikerjakan bersama-sama satu kelompok. Deadline-nya pertemuan yang akan datang," jelas Bu Iswa.

Bersamaan dengan itu bel istirahat pertama berbunyi. Nia menatap beberapa butir soal di meja lalu mengelus dadanya.

"Nia! Kita mau ngerjain kapan?" tanya Mono.

"Yang jelas habis Maghrib dan jangan hari Senin, Rabu sama Jumat. Aku ada latihan basket," sahut Reni sok sibuk.

"Nggak peduli hari apa yang penting malem aja, biar kita bisa ikut keluarga Nia dinner!" tambah Rama.

Woy! Loe pikir rumah gue tempat penampungan apa! Seenaknya saja dateng mau minta makan! Setidaknya begitulah teriakan batin Nia tetapi dia menyembunyikannya di balik sifat diamnya.

"Ntar aku pikirin lagi," jawab Nia sembari merapikan meja.

Mono kembali belajar. Reni dan Rama berjalan keluar kelas. Pandangan Nia kosong.

"Arif! Ayo sholat Dhuha! Mono, ayo sholat juga! Jangan memikirkan hal keduniawian!" celoteh Rama tapi Mono tetap sibuk mengerjakan soal-soal integral yang sangat dibenci Nia.

Arifin berjalan mendekati Rama.

"Bu dokter! Ayo Dhuha! Pikirkan akhirat!" kata Rama sok alim.

Deg ... Nia terkejut lalu berteriak,

" Aku lagi M tahu! Dasar!"

Ramanya langsung lari keluar kelas.

Tbc

Bukan MilikkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang