Bab 2

77 6 1
                                    

Tak ada dalam benaknya untuk bersembunyi di dapur Bu Abu seperti beberapa anak lainnya, yang dilihatnya masuk ke dapur Bu Abu. Menurut El, tempat seperti itu rawan operasi. Memang warung Bu Abu terletak di paling ujung, dan dapur Bu Abu berpintu, tapi bukan berati pintu tidak bisa dibuka, kan?

Juga, tidak mungkin dikunci dari dalam, kalau yang punya warung mau masuk? Kalau pintu dibuka, dan yang membukanya bukan Bu Abu, tapi Pak Edi, sontak tanpa terhalang matanya yang tajam akan menangkap murid-muridnya cangkru'an sambil bul-kebulan. Dan bayangkan saja sikap seperti apa yang akan diambil oleh seorang guru killer bila mendapati anak didiknya yang sudah tidak mengikuti upacara, pun merokok pula.

El sudah merasakan sikap dingin Pak Edi. Pertama, sepatunya yang bewarna putih disita oleh Pak Edi yang tadi -- lima belas menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi -- berdiri di pintu gerbang untuk menyambut kedatangan murid-muridnya. Kedua, El disuruh push up karena ujung seragamnya dibiarkan ditiup angin.

Dan, mau tak mau El harus nyeker sampai jam sekolah usai. Sepatunya hanya boleh diambil -- di pos satpam -- kalau sudah jam pulang sekolah. El yang hendak mencari sarang persembunyian harus hati-hati menjejakkan dan melangkahkan kaki telanjangnya kalau nggak mau kakinya disengat puntung rokok menyala, yang bertebaran di mana-mana. El seakan berada di daerah perang yang penuh ditanami ranjau.

El menuju kamar mandi sekolah, yang rasanya lebih pas kalau disebut WC umum. Bau pesing yang menyengat. Dinding tembok dihiasi kreasi anak-anak sekolah. Ada tulisan Rian love Mila, Jono love Jini, Abdul love Anisa love Ayu (sepertinya Anisa pacar pertama yang ikhlas dimadu), nomor handphone, curhatan, kata-kata jorok, dan kalimat makian yang entah ditujukan kepada siapa.

Di sebelah kanan kamar mandi, ada gang kecil yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Ternyata gang itu tembus ke kamar mandi yang baru selesai dibangun. Tepat di samping kanan kamar mandi yang baru jadi itu, ada tanah kosong yang terbengkalai. Tumpukan sampah yang menggunung. Segugus tanaman liar tumbuh subur, lebat dan menjulang tinggi. El seperti menerima wahyu, entah siapa yang memberikannya penglihatan -- mungkin si putih -- ia pun segera menyembunyikan dirinya di balik tanaman liar itu. Ini baru tempat aman, gumamnya.

Tanpa rasa takut mengotori celana baru abu-abunya, El duduk bersila begitu saja. Kemudian ia mengambil rokok di saku kemejanya, yang dibelinya eceran di warung depan. Baru saja tiga kali ia mengisap rokoknya, El mendengar derap langkah kaki seperti sedang menuju sarangnya. Dan tiba-tiba muncul di hadapannya seorang cewek dengan rambut hitam dikucir ekor kuda. Postur tubuhnya tinggi semampai, kulit putih bersih, serta raut wajah yang manis dengan lesung pipit di kedua belah pipinya.

"Tika. Boleh kan aku juga ngumpet di sini?" tanya Tika dengan setengah berbisik sambil duduk bersila -- tampaknya iklan detergen berhasil mengindoktrinasi El dan Tika kalau berani kotor itu baik -- di sebelah El, lalu mengulurkan tangannya kepada El.

"El. Boleh. Tempat ini punya semua murid Smaji." El juga setengah berbisik, untuk menjaga kemungkinan suaranya terdengar oleh guru-guru yang suka keliling mencari anak-anak yang bolos upacara, dan ia menyambut uluran tangan Tika.

"Tanganmu kok dingin. Makek ya?" Sadar pertanyaannya sensitif, Tika langsung meminta pengertian, "Duh, maaf, keceplosan. Sudah, nggak perlu dijawab."

"Iya," jawab El singkat.

"Kamu anak kelas sepuluh juga kan? Kelas berapa?"

"Iya. Aku di kelas 10B.''

"Sama donk. Maaf, kamu Cina ya?"

"O, sama ya. Iya. Kan uda kelihatan dari matanya. Hehe."

"Hehe. Iya. Picing. Kok bisa sampai terdampar di sini? Pasti dulu di sekolahmu, ceweknya din-radin?"

Perbedaan Bukan Musuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang