Bab 3

71 4 0
                                    

Tahu siapa aku?

Aku tokoh utama dalam cerita ini. Ya, aku El, keturunan China, Warga Negara Indonesia, sejak lahir. Waktu TK aku bersekolah di Santa Maria. SD di Santo Yusuf. Dan SMP di Santo Yohanes. Sekolahku dari TK sampai SMP, itu tempatnya orang-orang merem, doyan babi, orang-orang kafir karena menyembah Tuhan telanjang yang dipaku, kata sebagian teman-teman baruku di Smaji. Pun, pernah ada salah satu murid Smaji yang mengutip satu ayat Quran, yang artinya Tuhan tidak beranak dan diperanak, terangnya.

Pada masa kanak-kanak, kata orang, adalah waktu lucu-lucunya anak. Tapi, Bu Cherl, guru TK-ku pasti tidak bersetuju. Karena seumur hidupnya, ini yang pertama, Bu Cherl diancam --bocah yang belum bisa cawik dan menyeka umbel sendiri -- mau dilempar bangku.

Masa SD dan SMP aku loncatin saja, mungkin itu adalah waktuku yang hilang. Sejak aku terdampar sendirian di Smaji, teman-temanku yang sudah sembilan tahun bersama, berhenti mengenalku. Tapi nggak masalah, kalau aku jadi Gubernur atau Presiden, tanpa ditanya, mereka bakal ngaku-ngaku sendiri pernah jadi temanku. Seperti ketika Obama jadi Presiden, Indonesia gencar memberitakan kalau Obama pernah makan pecel di warung Mbok Sarti. Boleh kan orang China jadi Presiden? Nggak boleh, muslim dipimpin muslim. Ya sudah, nggak jadi. Aku jadi diri sendiri saja. Klise. Loh, terus gimana? Jadi Presiden nggak boleh, mau jadi diri sendiri, klise. Ya sudah, jadi kafir yang doyan babi. Itu boleh.

Sekalipun masa SD dan SMP telah hilang, tapi aku nggak sepenuhnya kehilangan kenangan masa sekolah. Tiada masa paling indah / masa-masa di sekolah / tiada kisah paling indah/ kisah-kasih di sekolah, senandung Om Crisye yang masih dinyanyikan hingga sampai saat ini.

Dan kata Petronius, tokoh dalam novel Quo Vadis karya Henryk Sienkiewicz, "Bagaimanapun jeleknya dunia ini, atau hidup ini, ada satu hal yang tetap indah -- masa muda.

Cerita di sekolah dan masa mudaku, ini yang ingin kuceritakan. Tapi, dengan semena-mena, dan tanpa ada kilat, hujan es, badai, topan, langit terbelah, gunung meletus, pengarang memutuskan untuk tidak melanjutkan kisahku. Padahal mulutku sudah berbusa-busa menceritakannya. Lebih kejamnya lagi, pengarang menuduhku mengarang cerita. Loh, pengarang kok menuduh orang mengarang. Lucu. Dan, katanya lagi, kisahku ganjil dan nggak masuk akal. Pertama, mana ada anak SMA suka filsafat dan novel-novel berat, bacaannya Nietzche, Henryk Sienkiewicz, D.H. Lawrence, Dostoyevsky, Voltaire, Yann Martell, kalau Frances Hodgson Burnett masih masuk akal.

Kamu nggak usah berlagak sok tahu sastra dan filsafat, kalau mengerti sastra, kenapa kok nggak nulis sendiri kisahmu, cibirnya. Kedua, kamu kan katanya Badboy, tapi kok nggak jadi ketua geng, anak motor, jago balap, anak konglomerat, punya anak buah, dan punya musuh bebuyutan. Dan ceritamu ini arahnya ke mana? Saya tanya, true story? Bukan. Ngarang, juga nggak! Lalu apa? Maunya apa, coba?

Aku sepertinya salah pilih orang, pengarang yang jadi pilihanku ternyata korban drama korea, sinetron, dan penggemar novel-novel picisan.

Aku nggak bisa mengategorikan ceritaku sebagai realitas atau khayalan; surealisme atau realisme. Batas antara kenyataan dan kepalsuan di dunia ini dibangun dengan tipuan, hidup ini pun hanya sepotong ilusi. Bahkan jiwa pun hanya khyalan. Aku rasa tak perlu ditegaskan bahwa cerita ini adalah khayalan maupun kisah nyata. Batas itu nggak perlu ada, kan katanya nggak boleh sok tahu sastra.

Apa boleh buat, karena pengarang nggak mau melanjutkan ceritaku dengan alasan yang tadi sudah aku tuturkan, pun katanya, ceritaku nggak akan laku di pasaran, jadi aku putuskan -- sambil menunggu orang yang mau menuliskan kisahku -- akan menulis dalam cerita ini.

Semoga saja dalam waktu dekat ini aku menemukan seseorang yang punya jiwa menulis, dan bukannya yang mau menjadi penulis. Kapok aku. Nggak mau lagi meminta bantuan penulis atau pengarang. Sebagian besar atau semua penulis, entahlah, selalu mengiklankan dirinya sendiri, dan memberati diri untuk bisa berprestasi.

Aku rasa, mungkin, aku bisa meminta bantuan kepada Oci, cewek yang merasa dirinya adalah reinkarnasi dari kucing jantan. Oci kan rajin menulis. Ia hampir tidak pernah absen bikin catatan harian, kalau dikumpulin bisa lebih tebal dari Caping-nya Goenawan Mohammad. Dalam sehari, Oci dapat menulis paling sedikit 10 halaman. Dan lagi, ia sudah tahu sebagian kisahku, Oci itu kakak kelasku, teman sekelas Tari. Jadi, tidak terlalu sulit untuk menulis kisah kasihku di sekolah. Ya, sekalipun aku adalah orang aneh dan di luar nalarnya, ia akan tetap mau menulis kisahku, karena Oci bukan seorang penulis, yang terbebani prestasi, tapi ia menulis karena memang ia mau nulis. Cocok, sesuai keinginanku. Lagian kalau masalah aneh, seribu kali lebih ganjil dirinya, yang merasa dirinya jelmaan kucing jantan. Tapi, aku minta tolongnya nanti saja. Aku masih ingin menulis.

Sebenarnya sudah lama aku ingin menulis, tapi semangatku dipadamkan oleh seorang pengarang. Ya, sebelum dikecewakan oleh pengarang yang menolak menuliskan cerita ini, aku pernah diberi harapan palsu oleh pengarang. Aku akan ceritakan, tapi singkat saja ya. Kan fokus ceritanya -- Aku. Tokoh utamanya -- Aku. Ini cuma selingan, biar ceritanya panjang dan biar bisa jadi novel. Nggak salah toh? Ketimbang seorang pengarang, aku masih lebih baik. Coba kalau pengarang, mau bilang marah, bisa bersusun-susun kalimatnya. Mau bilang sedih, berapa ratus kata yang dihabiskannya. Kalau nggak begitu, nggak sastra katanya.

Ceritanya begini : Pada suatu hari aku melihat iklan seorang pengarang di medsos, ia membuka kelas online. Tergoda, tentu bukan karena tulisannya, belum pernah baca karyanya. Tapi tertarik karena embel-embel prestasi yang dipamerkannya. Dan aku memutuskan untuk mendaftar. Pikirku, kalau aku bisa menulis, aku kan bisa menulis ceritaku sendiri.

Biaya pendaftarannya cukup ekonomis. Jadi, langsung saja aku transfer pakai sisa uang jajanku. Tergabunglah aku di grup WA yang dibuatnya untuk kelas menulis online. Tapi pengarang jarang muncul, hanya ramai dengan ocehan murid-muridnya. Karena nggak jelas, hanya ribut-ribut saja, aku menanyakan kepada pengarang, apakah bisa aku belajar menulisnya privat? Bisa, katanya. Tapi ada biaya tambahan, dan nggak bisa janjiin apa-apa. Tentulah, maksudnya nggak bisa pinjem embel-embel namanya. Oke. Aku mau. Jadi, aku langsung minta uang jajan bulanan sama Mama agar dibayar untuk sebulan ke depan.

Memang, orang yang nggak kerja sekalipun bakal tetap punya kesibukkan, apalagi seorang pengarang yang lumayan termasyhur. Jadi, awalnya aku bisa mengerti kalau pesan WA yang aku kirim dibalas dua hari-empat hari kemudian. Tapi yang menyakitkan, di layar gadgetku muncul tulisan "online" atau "terakhir dilihat hari ini pukul sekian." Intinya, pesan WA-nya sering dilihat, tapi anehnya ketika aku ngeliat pesan WA-ku yang terkirim tanda centangnya nggak biru-biru.

Jadi, total semuanya, aku sudah dua kali dikibulin pengarang. Satu kali lagi dikibulin, aku bakal dapat piring sama gelas. Joke lama. Tapi kok nggak lucu ya? Padahal guyonan lama, kalau Sule yang bawain, masih saja lucu. Iya, misalnya, adegan Sule menangis karena kakinya diinjak Andre. Itu kan sudah berulang-ulang kali dilakukan. Tapi masih saja aku tertawa. Atau film-film lama Warkop DKI yang masih bikin aku ketawa, padahal aku sudah nonton berulang-ulang kali. Kok jadi bahas dunia lawak? Aduh, menulis memang nggak gampang, sepertinya aku memang butuh seseorang yang betul-betul bisa nulis. Kalau nggak, bisa rusak ceritaku ini.

Perbedaan Bukan Musuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang