Bab 7

32 1 0
                                    

El itu sok puitis. Tambah lagi, ia sebenarnya takut tapi mengingkari ketakutannya. Waktunya sudah sampai. Kata-kata El yang terakhir itu membikin Rizki memaki dalam hati. Bah!! Kentut keluar sama taik-taiknya itu! Rizki enggak percaya kalau El enggak ngeri dan tertekan.

Sekalipun jin, setan, tuyul, jelangkung, alien, mak lampir, nyi loro kidul, kuntilanak diundang datang ke Landasan Pacu Jiwa yang, kedatangannya sebagai saksi menguatkan kalau -- El yang nyantai dengan kondisinya yang terjepit -- itu benar adanya, Rizki tetap enggak mau, dan tak mampu percaya.

Memang kamu kira, kamu doang yang dipalak. Meski aku enggak sipit kayak kamu, tapi orang bodoh sekalipun tahu kalau aku anaknya Hj. Badrus, orang kaya nomor satu di Situbondo. Sawah ada di mana-mana, sapi enggak kehitung, truk ratusan, tabungan ada di setiap Bank, toko-toko Ayah cer-kalacer saking banyaknya, mobil berjejeran di garasi, dan aku ke sekolah naik Ninja.

Sudah dah, kita itu sama-sama takut saat ditodong dan diberi pilihan antara harta atau nyawa. Tapi aku bisa milih, sedang kamu tidak. Kamu enggak ngasih duit, bukan karena kamu punya nyali, tapi memang kamu enggak punya duit. Mata orang miskin memang bisa ditipu sama mata sipit, tapi mata orang kaya, maaf, enggak bisa. Sebab, saat aku mengamati matamu, aku tidak hanya melihat mata yang sipit, tapi juga mata yang lapar, mata yang tak bisa melihat ada rokok nganggur. Jadi, kamu enggak bisa bohong sama aku, batinnya sambil memandang El dengan senyum geli dan mengejek.

Mata orang kaya Rizki memang jitu, tapi... kalau boleh saya andaikan El punya duit segepok, ia bakal tetap kukuh enggak bakal ngasih duit ke Fendi dengan alasan apa pun. Karena, bagi El yang, darahnya terkotori oleh minyak babi, selebar apa pun membuka, selembut apa pun mencair, ia tak sepenuhnya terterima. Ada dinding yang tak tertembus di antara asal dan asal, darah dan darah, agama dan agama, uang hanya membuat dinding itu tak terlihat, tapi tidak meruntuhkan dinding itu sendiri. Sia-sia. Karenanya, El tak ngeri pada kematian dan derita, baginya tak ada yang lebih menakutkan dan sengsara daripada keterasingan.

Namun, keadaan Rizki tak berbeda jauh dari El. Ia membayangkan dunia dan semua orang berkonspirasi ingin merampas uang jajannya. Ia dibayang-bayangi rasa takut, setiap detik, di setiap titik keberadaannya, tapi ia mengingkari kecemasannya. Mungkin itu caranya bertahan. Ia memang tenggelam dalam kecemasannya sendiri, tapi ego mempertahankan diri.

Jadi, ia bukannya mengakui keterancamannya, juga enggak mampu melawan, dan hanya bisa pasrah dijadikan sebagai ATM-nya anak-anak Panarukan. Mekanisme pertahanan ego bekerja di bawah alam sadarnya : ia ngotot menuduh El mengingkari ketakutannya sendiri.

Kalaupun nanti Rizki terlihat ngumpul-ngumpul sama anak Panarukan, itu bukan kemauannya. Kenyamanan dan rasa aman itu tak ada, sekalipun ia tampil dengan raut wajah senang. Selalu ada gemuruh ledakan mengguncang hatinya ketika bermanis-manis pada anak-anak Panarukan. Ia hanya membohongi dirinya sendiri. Pun anak-anak Panarukan enggak akan pernah menganggap Rizki bagian dari kelompok mereka. Rizki tak lebih dari ATM mereka.

Mungkin bangsa dedemit telah gagal memengaruhi dan meyakinkan Rizki tentang El yang punya nyali. Namun sesuatu yang enggak diduga-duga terjadi, tiba-tiba saja Bruce Lee, Jakie Chan, Samo Houng, Yuen Biao, Jet Lee, Donie Yen seakan muncul di hadapannya, dan ia menjadi punya pikiran, mungkin saja El punya nyali. Siapa tahu ia bisa kungfu, mangkanya ia enggak gelisah merana menunggu detik-detik menjelang eksekusi anak-anak Panarukan.

"Kamu bisa kungfu ya?"

El ketawa sambil mengambil sebatang rokok lagi. Enggak baik menyia-nyiakan kebaikan orang lain, begitulah nasihat mamanya. Rokok Rizki itu sengaja enggak dikantongi pasti karena niatnya memang mau berbagi rokok. Lagian, kata sebagian orang rokok itu penyakit, jadi enggak mungkin ada orang bodoh yang mau nikmatin penyakit sendirian.

Perbedaan Bukan Musuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang