Bab 5

134 2 0
                                    

Warung Bu Abu itu seperti pabrik rokok. Disukai tapi juga meresahkan, dan nggak mungkin ditutup. Rokok barulah rokok kalau menemui nyala api. Dan warung Bu Abu barulah warung Bu Abu kalau menjadi tempat bolos murid-murid Smaji. Namun, warung Bu Abu pun seperti kitab suci. Menyelamatkan tapi juga memabukkan. Dan, kebenaran akan kembali pada kalimat klise yang seringkali terdengar, Bukan salah kitab sucinya tapi salah orangnya; bukan salah warung Bu Abu tapi salah murid-murid Smaji.

Warung yang berdempetan dengan rumah Bu Abu itu merupakan bangunan persegi panjang yang berbahan kayu dan beratap seng. Di dalam warung, posisi rombong berada di tengah-tengah, dan di dempetkan ke dinding sisi kiri, guna untuk jalan. Meja kayu yang ada di warung dibikin seminimalis mungkin, tidak melebar, tapi memanjang. Lebarnya hanya pas seukuran piring. Meja juga tidak berkaki, tapi dilekatkan di dinding sisi kiri dan juga kanan. Dinding warung dilabur kapur putih dan lantainya tidak diplester.

Kalau sekolah adalah rumah kedua bagi pelajar, sedangkan warung Bu Abu adalah sekolah kedua bagi anak-anak tambeng. Aku masuk warung melalui pintu depan. Melewati tiga anak duduk berjejer di sebelah kiri yang asyik menyendok nasi pecel di piringnya, sambil sesekali menoleh ke sebelahnya untuk bicara ini itu, tanpa peduli kalau saat itu bukan waktunya duduk di warung, jam istirahat masih dua jam lagi. Di sisi kanan, dua anak duduk berdekatan, tapi nggak saling bicara, sibuk memainkan gadget masing-masing sambil mengisap rokok.

Bu Abu hanya menyediakan satu jenis masakan, nasi pecel. Harga sepiringnya seribu rupiah. Selain itu, Bu Abu juga menyediakan gorengan tempe yang dilapisi tepung dan hongkong (sejenis bala-bala atau bakwan), es sirup dan aneka macam minuman sachetan. Dan perlu aku jelaskan agar Bu Abu nggak disalahkan karena banyak anak-anak yang merokok di warungnya. Meski kepulan asap rokok selalu memenuhi ruangan dan bau nikotin mengisi udara di warung Bu Abu, tapi rokok itu nggak didapat dari Bu Abu, itu dibeli di warung depan.

Aku memesan segelas es sirup dan langsung membayarnya. Dan nggak perlu waktu lama gelas plastik berisi es sirup sudah berada di genggaman tanganku.

"Bu, aku bawa gelasnya, ya?"

"Ya, tapi nanti kembalikan. Jangan ditinggal sembarangan. Saya jualan es itu untungnya cuma dapet lima ratus per gelasnya. Jadi kalau gelas hilang dan pecah terus, saya tekor! Uang saya habis cuma buat beli gelas plastik" curhat Bu Abu.

"Ya, ya, Buk!" Aku meyakinkan Bu Abu untuk memercayakan gelas plastiknya padaku dengan kata-kata yang biasa dipakai calon menantu untuk mengambil hati calon ayah mertuanya. "Tenang, Buk, saya akan jaga gelas ini seperti nyawa saya sendiri."

"Halah, lah, lah, bekna le... le...?"

"Lebih?"

"Bukan! Itu loh, itu, yang sering dibilang anak-anak sekarang."

"Lebay, Buk!"

"Iya, itu." Bu Abu membenarkan. "Pokoknya jangan ilang aja! Ambuh, sudah, nggak usah banyak cing-cong lagi. Saya emok! Saya sibuk! Iye, kalau pohon banyak buahnya, seneng. Kalau bibir banyak bicaranya, itu susah! Uda, sana! semprot Bu Abu ketus.

Karena Bu Abu senewen akibat gelasnya sering hilang, dan nggak mau kecipratan omelan mak-emak lagi, aku pun segera pergi menuju Landasan Pacu Jiwa. Nggak butuh waktu lama aku tiba di toilet yang baru selesai dibangun itu. Kalau lewat pintu belakang warung, aku hanya perlu berjalan lurus saja, menyusuri semak-semak, dan jarak yang ditempuh kurang-lebih 150meter.

Aku duduk bersandar di dinding kamar mandi dengan menekuk kedua siku kakiku, lalu menaruh gelas plastik yang diwasiatkan Bu Abu di lantai depan kamar mandi yang diplester semen. Bau pesing belum mengudara, mungkin masih terjadi proses tawar-menawar dan perdebatan sengit antara pihak Aroma Pesing dan Udara. Pihak Udara belum membolehkan Aroma Pesing menumpang di ruangannya kalau belum ada kesepakatan yang menguntungkan pihak Udara yang berdomisili di kamar mandi.

Perbedaan Bukan Musuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang