Malam ini, setelah makan malam selesai, aku mengajak Louis untuk menonton film bersama. Kebetulan besok adalah hari Sabtu. Jadi malam ini, aku dan Louis bisa tidur malam atau mungkin tidak tidur sama sekali. Aku dan Louis memang jarang menghabiskan waktu bersama mengingat dia sekarang sibuk sekali kuliah.
“Lou, mau nonton film bersama?” tanyaku menepuk pundaknya. Dia yang tadinya sedang bermain handphone mendongakan kepala. Dia sempat menatapku selama beberapa saat seakan aku adalah sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Dia melirik handphonenya sekali lagi sebelum menganggukkan kepalanya. “Mau nonton film apa? Bagaimana kalau romance?”.
“Eh? Tumben sekali kau mau nonton film romance,” ujarku menaikkan alis kanan. Biasanya Louis selalu protes setiap kali ku ajak nonton film bergenre romance. Tapi sekarang, dia yang meminta sendiri. Aneh sekali atau mungkin, ada yang dia sembunyikan?
Dia tersenyum manis, “Aku sedang ingin nonton film itu. Keberatan?”.
Aku menggeleng. Tentu saja aku tidak keberatan. Aku kan penggemar berat film romance. Dia beranjak dari sofa yang tadi dia duduki lalu menghampiriku. Tangannya dengan mantap merangkulku. Namun begitu kami hendak pergi menuju kamarku, suara Ayah yang memanggil nama Louis terdengar.
Kami berdua menolehkan kepala kami secara bersamaan. Oke, aku tau, yang dipanggil memang Louis. Tapi aku refleks menolehkan kepalaku juga ke arah Ayah. Ayah terlihat sedang menatap kami dengan tatapan yang aku sendiri tak bisa deskripsikan. Lalu entah kenapa juga, melihat Ayah dengan ekspresi seperti itu, Louis langsung melepaskan rangkulannya.
“Louis, ada yang harus Ayah bicarakan,” ucap Ayah dengan penekanan di setiap katanya. Dia menundukkan kepalanya beberapa centimeter untuk menatapku yang lebih pendek darinya. Dia menatapku seakan meminta izin untuk pergi menemui Ayah.
Ayah berbalik memasuki ruang kerjanya meningalkanku dan Louis. “Pergilah. Aku yakin Ayah ingin membicarakan sesuatu yang penting.” Ucapku tersenyum ke arahnya.
Dia menghela nafas sebelum menganggukkan kepalanya. Dia mendaratkan sebuah kecupan di keningku. Hal itu membuat jantungku berdetak dengan cepat tanpa alasan yang jelas. Lututku melemas setiap kali kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Dia membelai rambutku pelan seakan tak ingin merusak rambutku.
“Kalau begitu, aku pergi menemui Ayah dulu. Kau bisa tunggu di kamarmu. Malam ini nonton di kamarmu ya,” ucapnya. Aku mengangguk dan dia pun pergi meninggalkanku untuk masuk ke dalam ruangan Ayah.
Aku mulai berjalan menaiki anak tangga demi anak tangga menuju kamarku yang bersampingan dengan kamar Louis. Aku membuka pintu kamarku membiarkan terpaan angin pendingin ruangan menampar wajahku pelan. Aku berjalan menuju lemari kecil berisi dvd film yang ku koleksi.
Namun mataku tertuju pada sebuah foto. Fotoku dan Louis yang Ibu dan Ayah ambil saat kami berempat pergi ke Disneyland. Disana, Louis sedang merangkulku sementara aku memeluk pinggangnya.
Akhir-akhir ini, semenjak kedatangan Louis untuk berlibur di rumah, aku merasakan hal aneh. Aku merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam diriku setiap kali aku melihat Louis. Rasanya ada sesuatu yang aneh karena aku menyayanginya, tapi lebih dari seorang adik kepada kakaknya.
Aku tidak mengerti dengan apa yang ku rasakan. Maksudku, ini benar-benar salah kan? Aku ingin memiliki Louis sebagai kekasihku. Berusaha berfikir positif, aku berfikir bahwa mungkin, itu hanya perasaan sesaat. Namun nyatanya, semakin lama perasaan ini semakin besar dan aku tak bisa mencegahnya.
Perhatian yang Louis berikan padaku membuatku semakin sulit untuk melupakan perasaan ini. Suara langkah kaki yang terdengar membuatku berjalan menuju pintu kamar untuk melihat kira-kira suara langkah siapakah itu.
Tubuh tinggi Louis terlihat berjalan menuju pintu kamarnya. Wajahnya memerah seakan dia sedang berusaha keras untuk menahan amarahnya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang terdengar tidak teratur.
“Lou,” panggilku.
Dia langsung menolehkan kepalanya ke arahku. Aneh, karena begitu dia melihatku, tangannya yang tadinya mengepal secara perlahan-lahan melonggar. Tatapannya melembut, menatapku dengan tatapan sendu.
Dia melangkahkan kakinya menghampiriku. Dengan mantap, dia memeluk tubuhku memberikan kehangatan yang membuatku merasa nyaman. “Aku menyayangimu. Ingat itu, Delilah.” Bisiknya tepat di telinga kananku.
Aku yang sebenarnya masih bingung, menganggukkan kepalaku. Dia melepaskan pelukannya lalu berjalan menuju kamarnya. Dia sempat melemparkan sebuah senyuman tipis sebelum dia membuka pintu kamarnya, membuatku semakin bingung dengan apa yang terjadi diantaranya dengan Ayah.
Aku merasa sedikit kecewa karena ternyata, acara marathonku bersama Louis malam ini sepertinya harus dibatalkan. Tapi aku yakin, Louis juga sedang butuh waktu untuk sendirian. Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarku lagi dan memilih untuk tidur tanpa merasa curiga atau apapun.
Namun esok paginya, aku tak menemukan Louis dimanapun.
sebelumnya, mau bilang kalau cerita ini, kemarin aku post di akun keduaku. jadi kalau kalian udah pernah baca sebelumnya, hmm itu sebenernya aku hihi. cerita ini gak akan panjang-panjang banget, dan setiap chapternya juga pendek. dari prologuenya aja kalian pasti udah tau ya cerita ini tentang apa.
semoga aja kalian suka, thanks udah mau baca kawan(:
KAMU SEDANG MEMBACA
letters to lou → louis
FanfikceHanyalah surat-surat yang Delilah taruh di depan kamar Louis. Copyright © 2014 by popcacorus