Kalung Pita

12 1 0
                                    

Galih menikah dg gadis desa sebelah bernama Alana. Seorang gadis yg dipuja seluruh pemuda kampung karena kecantikan dan keramahannya. Gadis baik hati dan murah senyum, siapa yg tak suka ?

Dan Galih beruntung, karena Alana mau menerima pinangannya dihari ketujuh setelah perkenalan mereka.

Kabar gembira itu cepat tersebar luas diseluruh desa, banyak orang yg iri atas keberhasilan Galih meminang Alana si gadis manis. Bahkan pesta yg digelar pun sangat meriah berlangsung selama tiga hari dua malam. Sangat fantastik.

"Aku beruntung karena bisa menikahimu, Alana." ujar Galih disuatu malam saat mereka hendak tidur.

"Aku yg lebih beruntung karena kau adalah pria yg mau menerimaku, Galih."

Galih tersenyum memandangi wajah cantik istrinya. Namun dahinya berkerut penasaran,

"Alana, kamu mau tidur tapi kenapa kalung pitamu tidak kamu lepas ?" Alana menunduk memandangi kalung pita merah yg mengikat leher jenjangnya.

"Aku menyukainya. Sangat. Jadi aku tidak pernah melepaskannya." aku Alana dg senyum mengembang

"Sampai kamu tidak mau melepasnya ? Apa itu sangat berarti ?" Alana mengangguk.

"Ya, kalung ini adalah sumber hidupku. Tanpanya aku bukan apa apa."

Galih mengangguk mengerti, tidak masalaha selama itu benda mati dan bukan dari seorang pria.

"Mari tidur. Sudah malam." Galih merebahkan tubuhnya diatas ranjang disusul Alana yg langsung masuk kedalam pelukannya.

"Aku mencintaimu Alana. Sangat."

Hari hari berikutnya, Galih menjalani kehidupannya seperti biasa. Pergi ke ladang lalu pulang disambut istri cantiknya, Alana. Dan akan menghabiskan waktu bersama untuk sekedar minum teh dan membaca buku. Selalu seperti itu selama satu bulan.

Namun sungguh, Galih mulai penasaran karena Alana sekalipun tak pernah melepaskan kalung pita dilehernya. Herannya, kalung itu selalu nampak cantik disana. Dan menambah kesan cantik pada Alananya.

"Alana," panggil Galih ketika mereka duduk berdua didepan perapian.

"Ya suamiku ?" Alana mendongak, mengalihkan mata dari buku yg dibacanya.

"Bolehkah aku melepaskan kalung pitamu ?"

"Maksudku, apa itu tak berbekas ?"

Alana menutup bukunya sedikit kasar. Dg masih tersenyum pada Galih, Alana meletakkan buku diatas meja kayu buatan suaminya.

"Galih, boleh aku meminta satu hal padamu ?" meski ragu, Galih mengangguk.

"Jangan pernah berani melepas kalung ini, dan jangan pernah membahas tentangnya lagi."

Galih menjadi salah tingkah. Merasa bersalah atas pertanyaannya. Dia merasa seperti tak menghargai privasi istrinya sendiri.

"Maafkan aku," sesalnya kemudian.

"Tak apa, aku mengerti." senyum Alana kembali mengembang.

Malamnya, ketika Alana sudah terlelap, Galih memandangi wajah Alana dalam diam.

Wajah putih dan bersih istrinya sangat menggoda untuk dicumbu, namun bukan itu yg menjadi masalahnya. Sungguh, pita dilehernya sangat mengganggu pemandangan Galih.

Coba saja lepas, nanti pasang lagi.

Bisik otak kerdil Galih.

Kan cuma sebentar, Alana tidak akan mengetahuinya.

Lagi, kepalanya berdengung mendengar bisikan aneh itu.

Perlahan, Galih bergerak menarik ujung pita merah dileher Alana.

Jantungnya berdegup kencang, berharap Alana tak akan menyadari sikap jahatnya ini.

"Maafkan aku sayang, aku terlalu penasaran."

Bisik Galih kembali menarik ujung pita merah dileher Alana.

Perlahan, pita terbuka. Kemudian Galih menarik bagian pita itu lebih longgar lagi. Dan setelah terbuka,

Glung

Kepala Alana menggelinding diatas lantai kayu kamarnya.

________

How are you readers ?

Aku sudah lama ngga publish. Dan baru publish sekarang, semua terbengkalai karena ide masuk tapi ngga ada yg tersampaikan di draft dg benar. Jadi karena ini salahku. Aku minta maaf, untuk menebusnya. Aku update yah meskipun ngga malem jumat.

Jangan lupa vote dan commentnya ya guys,

See you again

Regards,

Memoryani 05

Box Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang