Aku tahu si Dyan itu sejak kecil, sejak kami pindah ke komplek ini.
Seingatku aku lihat dia sejak taman kanak-kanak.
Dan aku tidak suka cewek itu.
Kami tidak pernah satu sekolah, hal yang sangat kusyukuri.
Seingatku dulu aku sering berpapasan dengannya berangkat sekolah sendirian, menenteng kotak bekal dan sebuah tas kecil di punggungnya. Ia berjalan gagah, ya gagah seperti ogre, yang over pede!
Rumahnya ada di kampung sebelah komplek kami, tepat di seberang jalan kecil yang memisahkan komplek dengan kampung.
Aku bisa melihat rumahnya dari balkon kamarku di lantai dua. Halamannya tidak terlalu luas, tapi dia selalu berteriak-teriak, entah gembira atau kesurupan, bila sedang bermain dengan kawan-kawannya.
Jika ia mulai main lompat tali, petak umpet, bentengan dan permainan lain yang pasti menghasilkan pakaian kotor, aku sering mengintip dari balik jendela kamar.
Bukan iri karena meski hanya berseberangan jalan letaknya, anak-anak di komplek tidak ada yang keluar dengan liar seperti itu. Mereka keluar untuk les piano, balet, bahasa Perancis atau setidaknya les bahasa Inggris.
Sejak SD jadwalku juga mulai padat dengan segala macam les itu. Apa mau dikata, persaingan di sekolahku, sebuah sekolah swasta yang bonafide, sangat tinggi.
Jadi untuk apa buang waktu untuk berlari-lari tidak karuan seperti Dyan dan teman-teman kampungnya. Belum lagi luka lecet yang sering mereka dapat. Hah! Pasti perih berhari hari.
Waktu harus dimanfaatkan seefisien mungkin untuk belajar!
Dan lagi, menurutku, mama pun tidak akan pernah mengijinkan aku berlarian main hujan di lumpur ataupun memanjat-manjat pohon seperti monyet.
Mama sangat memperhatikan prestasiku. Mama juga lah yang mendukung aku untuk ikut segala macam les.
Aku beruntung punya mama yang sangat perhatian. Meskipun kadang kelewatan.
Sewaktu aku baru masuk SMP, mama tergopoh-gopoh masuk ke kelas menyusulku.
"Maaf, Bu," ia meminta izin kepada wali kelasku, "anak saya sedang kena flu dan ini saputangannya ketinggalan..."
Aku malu sekali saat itu. Apalagi sekelas tertawa riuh bareng.
Tapi kejadian mama menyusul ke kelas bukan sekali itu saja terjadi. Berulang kali. Entah itu mengantar buku, botol minum, atau alat tulis yang lain.
Jadilah aku bercap 'anak mama sejati'.
Tapi setelahnya aku tidak peduli. Aku bangga pada mama. Berapa orang sih yang punya mama seperhatian mamaku?
Walaupun itu berarti hampir tak punya kawan.
Lagipula, untuk apa kawan banyak-banyak jika hanya bertujuan untuk minta contekan di setiap ulangan?
Sori, aku tidak butuh kawan.
Aku selalu jadi juara umum karena usahaku sendiri. Semua penghargaan dan kemenangan dari tingkat sekolah sampai tingkat propinsi juga bukan campur tangan kawan.
Kawan adalah saingan. Tidak lebih dari itu.
Aku menutup buku IPAku.
Angin bertiup pelan di balkon.
Dyan dan gerombolan ogre nya sedang berkumpul di bawah pohon sawo di samping depan rumahnya. Rujakan, seperti biasa.
Huh. Dia melambai kepadaku.
Aku pura-pura melihat ke arah lain. Heran. Ujian akhir sudah sedekat ini pun mereka masih sempat kumpul-kumpul santai!
"Kamu tidak ingin gabung ke sana?" Tanya papa yang tiba-tiba muncul.
"Untuk apa, Pa? Buang-buang waktu saja."
Papa tersenyum. "Kau ini memang seratus persen didikan mamamu."
Papa menyandarkan diri di balkon. Ia melambai ke arah Dyan dan membuat gerakan seperti meminta sesuatu.
Dian membalas. Habis, seperti itulah tampaknya arti isyaratnya.
Papa menengadahkan kedua tangannya, tanda kecewa.
"Papa, konyol ah."
"Dasar kau ini. Ayolah, bermain-mainlah sedikit."
Papa sifatnya berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan mama.
Papa jenis orang yang santai. Sangat santai bahkan. Mungkin bekerja di bidang advertising alias periklanan membuatnya begitu.
Atau sebaliknya? Karena sifat santai tapi menyimpan kreativitas tinggi itulah yang membuatnya sukses membangun perusahaan jasa periklanan?
Ah, kapan-kapan aku harus baca tentang psikologi, meskipun bidang ilmu itu tidak terlalu menarik.
Sekolah Dyan yang letaknya berlawanan dengan arah sekolahku membuat kami sering berpapasan.
"Hai, Dian cowok! Pagi yang segar, kan?"
Aku lebih memilih tidak membuka kaca jendela mobil jika ada dia.
Dian cowok! Seolah-olah perlu menekankan bahwa aku ini memang cowok meskipun nama kami sama. Hanya beda satu huruf. Aku DIAN dan dia DYAN.
Mama yang akhirnya memaksa untuk menyapa si Dyan itu. Entah mengapa mama suka sekali padanya. Mungkin karena sifatnya mirip sifat papa? Hah, entahlah. Urusan psikologi lagi.
"Pagi, Tante. Anda cantik sekali pagi ini. Lipstick dan bajunya juga matching banget!" Sapa si cewek tomboi seperti hari-hari biasa lainya. Meski terdengar seperti berbasa-basi, tapi sejujurnya dia terdengar tulus memuji. Mama memang selalu tampil cantik dan serasi.
"Pagi, Dyan. Mau bareng?"
"Ah, Tante. Sekolahan saya kan berlawanan arah sama sekolah Dian cowok. Ntar Tante dikira taksi gelap lho."
Huh, garing, batinku.
Mama tersenyum. "Oke. Berangkat dulu, ya? Dian, kasih salam."
Aku melambai malas, berharap besok dan besoknya lagi jangan berpapasan dengan makhluk satu itu. Meskipun tubuhnya biasa saja, tapi kelakuannya menurutku tak beda dengan golongan monster raksasa yang liar.
Dan sekali lagi aku bersyukur kami tidak pernah satu sekolah. Sangat tidak berkelas. Jelas beda dengan cewek-cewek high end di SMPku, meskipun aku tak berani mendekati satupun.
Hai, hai stargazers !!!
Deningcaya punya kasus baru neeehh...
Kisah si kuadrat nama yang memasuki dunia SMA dengan seluk beluknya yang heboh.
Keep reading yaaakk.
N voment juga. Oke? Sipp!
KAMU SEDANG MEMBACA
D-Trouble
Teen Fiction(COMPLETED) Dyan si cewek tomboi super santai akhirnya harus jadi ' pengasuh' Dian, cowok kutu buku yang anti sosial, karena mereka bersekolah di SMA yang sama. Dyan harus direpotkan oleh Dian yang tidak pernah berurusan dengan dunia nyata yang terk...