Kami berjalan menuju gerbang tanpa bicara.
"Emm, rambutmu agak, eh... berantakan..."
Dyan menatapku lalu meraba-raba kantong luar ranselnya. Ia menarik keluar sebuah aksesoris rambut sederhana warna biru. Tanpa motif, hanya biru. Bukan seperti yang dipakai trio hyena.
Ia menyisir rambutnya yang sebahu dengan tangan dan dengan cekatan mengikatnya dengan aksesoris biru tadi.
"Sudah rapi?" Tanyanya.
Aku yang tiba-tiba terpesona dengan begitu simple nya Dyan merapikan rambutnya sontak kaget. "Eh, ah, ya. Rapi. Rapi."
Dia tersenyum.
Senyumnya menular. Aku balas tersenyum. Lega rasanya bisa tersenyum tulus padanya.
"Kau tidak apa-apa?" Tanyaku klise. Seperti di film-film action ketika tokohnya sudah babak belur masih ditanya, are you okay?
Konyol. Wrong question !
Tapi Dyan menjawab santai. "Sedikit pusing. Tapi bukan masalah besar. Kau sendiri? Mereka sempat mengenaimu?"
"Sedikit juga. Perutku agak mual. Kita naik angkot, ya?"
Dyan berpikir sejenak. "Nggak deh. Kamu duluan aja. Aku mau beli buku."
"Oh. Ya, sudah. Aku ikut."
"Yakin masih kuat jalan?" Dyan bertanya dengan khawatir.
Deg. Dia... mengkhawatirkan aku!
Kurentangkan tangan lebar-lebar. "Tidak masalah."
Bohong. Aku merasakan nyeri di perut akibat tinju Agni. Tapi kesempatan berdamai ini tak ingin kulewatkan begitu saja.
Beberapa menit kemudian kami berjalan beriringan dengan silent mode lagi.
"Maaf," kataku tiba-tiba.
"Apa?"
"Maafkan semua kelakuan gilaku."
Dyan melirikku jail. "Oh, ngaku ya kalau gila..."
"Gimana nggak, kalau kawannya juga gila."
Dyan menebarkan senyum paling manis yang pernah kulihat sampai saat ini. "Kau ini memang paling bisa ya membalikkan kata-kata."
"Lho, kita kan satu perguruan."
"Tuh, kan." Dyan senyum lagi.
Mendadak nyeri di perut yang kurasa tadi hilang. Happy mode yang menggantinya. Di seluruh pikiranku.
"Dyan Kartika !"
"Ya, Dian Pratama?"
Kami lalu tertawa kecil. Lucu saling menyebut nama lengkap.
"Kita sahabat, kan?" Tanyaku ragu.
"Siapa bilang? Kita kan saingan. Terusss... Aku kan pengasuh sekaligus tukang pukulmu."
"So? Memangnya Albert Einstein gak boleh sahabatan sama Charlie Chaplin?"
"Wuah, songong kamu nyamain diri dengan seorang Einstein. Eh, tunggu. Jadi aku Chaplin-nya? Komedian? Kamu jenius, aku pelawak? Ckckck.... Aseeemmm berattt..."
"Bukan asem berat. Masak lupa. Bahasa kimianya asam kuat!"
Dyan langsung mencubit lenganku. Kok tidak sakit? Malah seperti kesetrum arus ac/dc?
"Ah, itu dia tokonya," Dyan menunjuk toko buku kecil dimana dia pernah melihat aku diganggu Agni dan Abed.
"Karena kau sudah berbaik hati bersedia jadi sahabatku, satu buku gratis untukmu."
Dyan mengeluh lucu. "Yaah, padahal aku sudah susah-susah nyisain uang jajan...."
"Oh. Gitu. Jadi, gak mau?"
"Siapa bilang? Jelas mau dong!"
Dasar aneh.
Tampaknya ia sudah punya incaran. Ia langsung menuju ke bagian sastra.
"Oh? Kau suka juga ya baca karya-karya klasik? Kupikir kamu hanya baca pop culture dan sejenisnya. Atau komik-komik seperti One Piece atau yang the legendary Dragon Ball."
"Kenapa? Karena aku tukang pukul? Aku baca hampir apa saja yang ku suka. Hmm. Selalu menilai orang dari penampilan. Aku ini seperti bawang. Banyak lapisannya, kalau gak kuat suka bikin nangis."
"Heeii, jangan marah. Kan itu cuma pendapat umumku."
"Pendapat khususmu?"
"Kamu antik."
"Yeee, barang musium kaleee."
Aku memaksa membayari empat buku yang dibeli Dyan.
Kami berjalan menyusuri trotoar yang dinaungi pohon-pohon rindang. Lalu berbelok masuk ke gang yang sepi. Rumah-rumah di pinggir jalan yang rata-rata berpagar tinggi nampak lengang.
Melihat penjual bunga yang menghamparkan dagangannya yang wangi dan indah hampir sampai ke trotoar, Dyan berlari mendahului.
Wajah Dyan berseri-seri sambil mengamati bunga-bunga itu.
"Duitku masih utuh. Kubeliin bunga cantik untuk ibu aja deh."
"Pilih aja. Nanti aku yang bayar. Asal kau sanggup bawa aja," aku kembali menawari.
Kenapa aku jadi royal? Memang itu uangku sendiri hasil menang beberapa lomba dulu, tapi aku tidak pernah memberi dengan mudah. Trio hyena itu saja harus mengemis campur merayu dulu jika ingin kubelikan sesuatu. Itupun uang dari Papa dan Mama.
"Gak ah. Makasih. Biar kubayar sendiri."
Cewek aneh. Dibayari, nolak.
Aku berdiri di pojok pondok penjual bunga, mengawasi Dyan yang masih sibuk memilih bunga.
Satu dua angkot yang berpenumpang separuh melintas.
Perasaanku mendadak tidak enak ketika deru suara motor dengan dua penumpang berbelok masuk ke gang sempit tak jauh dari kami.
Dyan berdiri tegak di bibir trotoar dan menengok sumber polusi suara.
Aku merasa semakin horor tapi terpaku di tempat.
Aku mengenali perawakan Agni meskipun dia memakai helm sebagai pengemudinya. Dan Abed yang diboncengnya itu lebih nyata lagi.
Pikiran itu terlintas seperti kilatan. Tapi terlambat. Aku hanya bisa berteriak. "Dyaaann!!"
Brakk !!
Sedetik kemudian Dyan tersungkur di pinggir aspal jalan. Mereka menyerempetnya sangat keras.
Aku berlari panik menghampiri.
"Dyan?"
Beberapa orang yang kebetulan lewat segera merubung. Ada yang menyetop angkot untuk membawa Dyan ke rumah sakit.
Ekspresi kesakitan di wajah Dyan ketika aku ikut mengangkatnya ke dalam angkot membuatku panik.
Dan semakin panik ketika kulihat darah merembes membasahi lengan kanannya.
Bendera putih, bendera putih.
Damai, damai. Masak hari gini masih berantem aja. Rugi waktu n tenaga.Dian cowok yang mulai deg deg tring harus menghadapi ini?
Serius gak ya luka si Dyan?
Makanya lanjuutt. Tapi sabar. Ketiknya gantian ma The Princess, The Soldier, and The Orphan yang beda genre.
Keep reading @deningcaya!
Thank you.
KAMU SEDANG MEMBACA
D-Trouble
Teen Fiction(COMPLETED) Dyan si cewek tomboi super santai akhirnya harus jadi ' pengasuh' Dian, cowok kutu buku yang anti sosial, karena mereka bersekolah di SMA yang sama. Dyan harus direpotkan oleh Dian yang tidak pernah berurusan dengan dunia nyata yang terk...