Aku dengar semua perkataan Dian dan Danny. Jelas. Huh. Memangnya dia siapa, pake ngasih izin ngedeketin aku. Dasar cowok aneh !
Aku menyisir rambut lurusku dengan cepat.
Kupandangi lekat-lekat wajahku di cermin.
Hei, kenapa mesti dongkol ? Kan bagus dapat kenalan ganteng pas liburan gratis. Cakep plus manteb lagi itu cowok. Kalo dijejerin sama Dian, wadow, seperti pohon cemara sama pohon jati. Kulit coklat eksotik Danny yang hampir sama dengan kulitku juga gak bikin minder. Lha sama Dian ? Kami seperti sisi atas dan bawah telapak tangan. Hehehe. Kenyataan kok.
Aku memakai bedak tipis di wajahku. Hmm, ternyata masih ada yang suka sama cewek kulit sawo matang. Kupikir selera dunia sudah semakin putih.
Ketika keluar kamar aku berpapasan dengan Dian yang sedang membawa piring besar berisi ikan panggang. Rasanya aku lihat ada yang aneh pada tatapannya, tapi gak terlalu yakin sih.
Di atas segala kekesalanku tadi, acara makan siang itu berjalan santai. Kami bertiga bercanda dan ngobrol kesana kemari.
"Dan, acara keliling berdua naik motor rasanya gak bisa dulu hari ini," kataku di antara obrolan kami.
Danny langsung kecewa. "Yaaah. Padahal sudah kulap sampai mengkilat itu motor."
"Maaf. Lain hari aja, yah?"
"Kenapa nggak jadi ?" Tanya Dian tanpa melihat ke arahku.
"Belum minta izin sama orangtuamu."
Danny manggut-manggut. "Ah, iya. Betul."
Kulirik wajah Dian. Aku yakin sekali tadi sempat melihat segaris senyum kemenangan atau kegirangan.
"Tapi kalo bertiga naik angkot kurasa gak masalah. Kita jalan-jalan ke Benteng Marlborough sambil lihat sunset di pantai Tapak Padri," usul Danny.
"Boleh juga," jawab Dian yang membuatku kaget. Tumben gak malas ke tempat-tempat yang sudah pernah ia datangi.
"Oh ya. Hampir lupa," kata Dian. "Apa sama Mama kemarin pesan untuk nganterin kardus itu ke rumahmu, Dan. Boleh ke sana sekarang ?"
"Dian, Dian. Kenapa tidak. Toh itu rumahmu juga."
Lalu Danny malah asyik bercerita bagaimana orangtua Dian membeli tanah sekavling di samping halaman rumah mereka dan membuatkan keluarganya sebuah rumah sangat layak huni sekarang ini.
"Pak Bagas yang mengetahui kalau Bapakku hanya nelayan kecil yang perahu saja masih sewa, langsung menawari Bapak untuk bekerja di kebun karetnya tak jauh dari sini. Mereka juga tahu gubuk yang kami tinggali dekat pantai itu juga menyewa. Semua karena aku menyelamatkan Dian ini. Entah gimana lagi kami harus berterima kasih...."
"Dan, aku berhutang nyawa padamu. Semua itu belum apa-apa," kata Dian tulus. "Oh, ya. Inung ada ?"
Danny tersenyum lebar. "Ada."
"Inung ?" Tanyaku heran.
"Adik perempuanku. Dia suka sekali pada Dian. Tingkahnya jadi aneh kalau Dian datang," jelas Danny.
Aku tertawa, teringat Intan adikku. "Loh, kok sama dengan tingkah adikku, ya? Suka malu-malu kucing kalo ngeliat Dian."
Dian menggaruk kepala sambil tersenyum kikuk.
"Kau punya sihir apa sama gadis-gadis kecil ?" Aku menggodanya. "Jangan-jangan kau punya seruling ajaib seperti dongeng Peniup Seruling dari Hamelin yang bisa menggiring anak anak?"
"Aku nggak main seruling. Aku pakai rumus larutan kimia," jawab Dian asal yang membuat Danny tertawa. "Love Potion Number Nine."
"Oh, pantes. Baru number nine aja dah ampuh, gimana kalo sampe number ten ?" Aku langsung balas.
"Mematikan," sela Danny yang membuat kami ngakak.
Setelah menikmati matahari terbenam yang warna indahnya seperti lukisan di kanvas yang maha luas dan sudah berkenalan dengan keluarga Danny sebelumnya, dan tentu saja Inung, aku dan Dian sudah kembali ke rumah.
Dan mengingat cerita Danny, Inung memang kelihatan sumringah melihat kedatangan Dian.
Awalnya Inung agak waspada padaku, tapi lama-lama ia sudah mulai akrab. Waspada kenapa juga....
Suara mobil yang memasuki halaman membuat aku dan Dian menghambur keluar.
"Om ! Tante !" Seruku. "Sudah beres semua ?"
"Semoga aja, Dy," jawab Tante Riska yang tampak lelah. "Kalian baik-baik saja ?"
"Baik, Tante."
"Kangen nggak Dy, sama wajah ganteng Om ?" Om Bagas yang tampaknya tak kenal capek mulai melontarkan kata-kata serunya.
"Basi, Pa," celetuk Dian.
"Hesh, ngiri ya kamu kalo Dyan puji Papa."
Dian melengos.
Tante Riska memeluk pundakku sambil menuju bagian belakang mobil double cabin mereka. Aroma yang sangat kusukai menguar di udara.
"Suka durian ?"
"Wah, gak usah pake nanya lagi, Tante. Bangeeet," jawabku antusias.
"Rakus," kata Dian pelan. Aku pura-pura tidak mendengar.
"Kita pesta durian. Om Bagas borong banyak langsung dari kebunnya."
"Cihuyyy !" Teriakku gembira. Pasti lebih gembira ria ria pas Om Bagas membuka terpal penutup bagasi. "Wuahhh!!" Kutaksir ada lima puluh lebih buah durian wangi yang besar-besar. Astaga...
Om Bagas berteriak memanggil Danny.
Ia datang berlari tergopoh-gopoh. "Ada apa, Pak?"
"Ambil sebanyak yang kamu mau. Bawa pulang."
Danny hanya mengambil dua buah yang ditentengnya di kedua belah tangannya. "Makasih, Pak, Bu."
"Walah, kok cuman dua. Ayo ambil lagi," kata Tante Riska. "Mang Din, tolong ambilkan tali rafia di dapur !"
Om Bagas mengikatkan enam buah durian jadi dua gerombol. Danny pamit pulang dengan menenteng durian-durian yang pasti lezat itu.
Aku masih tercengang melihat durian siap santap sebanyak ini. Di Jakarta, durian segunung seperti ini hanya kulihat di tukang buah. Itupun aku hanya numpang lewat sekaligus numpang menghirup aroma sedapnya si raja buah. Gak sanggup beli, harganya selangit. Tapi di sini.... Waaahhh....
"Gimana, Dy. Bisa kita sikat ?" Tantang Om Bagas.
"Pa, mandi dulu apa," protes Dian.
"Cukup cuci tangan. Percuma mandi kalo bakal kena parfum durian lagi. Bisa-bisa diusir mamamu keluar kamar."
"Hesh, Papa,"kata Dian lagi.
"Siap, Dy ?"
"Siap, Om !"
Hai, stargazers!
Suka durian? Atau malah mual cium baunya ?
Moga aja gak pada mabok durian yaakk.
Thank you. See you soon.
Deningcaya
KAMU SEDANG MEMBACA
D-Trouble
Teen Fiction(COMPLETED) Dyan si cewek tomboi super santai akhirnya harus jadi ' pengasuh' Dian, cowok kutu buku yang anti sosial, karena mereka bersekolah di SMA yang sama. Dyan harus direpotkan oleh Dian yang tidak pernah berurusan dengan dunia nyata yang terk...