Drastis

1.1K 177 19
                                    

Kutepati janjiku. Beberapa hari yang tersisa di Bengkulu kulewatkan dengan berusaha keras menyenangkan Dyan. Aku mau tawa manis dan segarnya itu terus menghiasi wajahnya, meskipun kadang tawa itu bukan tertuju untukku, tapi penyelamat hidupku, Danny.

Dan seperti yang kukatakan padanya, aku cemburu. Tapi aku tidak ingin larut dalam kecemburuan dan bertingkah aneh-aneh, apalagi seperti bayi.

Aku Dian Pratama, harus mulai belajar menjadi seorang remaja tujuh belas tahun yang tegar menghadapi hal hal yang paling menyakitkan sekalipun. Aku sadar tidak bisa memaksakan perasaan siapapun, terutama Dyan.

Meskipun ku akui saat ini aku jatuh cinta padanya.

Ah, ini semua akibat kebodohanku sendiri. Harusnya aku menyadari perasaan ini sejak lama, tapi keangkuhanku sendiri yang menghalangi untuk menyatakannya.

Jadi, aku sendiri yang harus disalahkan kalau sekarang sudah agak terlambat. Dyan sudah mulai memilih orang lain.

Tapi aku bersyukur masih bisa jadi sahabatnya. Sambil berusaha keras mendapatkan kembali perasaan itu.

#########

Awal tahun ajaran dimulai. Tahun terakhir kami jadi anak SMA. Berarti dimulai juga deretan rencanaku mulai dari kursus nyetir sampai aikido.

Tidak seperti awal masuk SMA yang penuh keraguan, kali ini aku bahagia bisa kumpul lagi dengan teman-teman. Dan tentu saja Dyan.

Olimpiade sains sudah dimulai dari semester lalu, dan kami berjuang menuju ke tingkat provinsi setelah menang di tingkat kabupaten.

Dan kemunculan Danny yang sering datang di depan gerbang sekolah untuk menjemput Dyan menimbulkan kehebohan tersendiri.

Aku tak luput dari hujan pertanyaan dari kawan-kawan.

"Keren dan laki banget," puji Anita. "Nemu di mana si Dyan ? Ada kembarannya gak ?"

"Kawanku dari Bengkulu. Dia sekolah di SMK."

"Kawanmu ? Kamu yakin kamu gak apa-apa ?" tanya Zain.

"Apa maksudmu ?"

Zain jadi kebingungan sendiri menjawab. "Ya lah. Terserah kamu."

"Eh, memangnya kalian berantem ya pas liburan. Kok sampe Dyan pindah ke lain hati," korek Anita.

Aku jadi nggak enak hati. "Memangnya selama ini aku dan Dyan pacaran ? Nggak, kan ? Kalian sendiri aja yang suka bikin kesimpulan."

"Iya, sih. Kamu benar banyak. Tapi nggak enak aja lihat Dyan jalan sama orang lain. Kalian kan kuadrat yang klop kayak selop," ujar Zain.

"Sekali lagi, itu kan pendapat kalian. Gimana, Bed ?" tanyaku pada Abed yang diam dari tadi.

"Aku sangat gak setuju. Harusnya kamu tetap sama Dyan," jawabnya datar dan dingin.

Kami serentak menatap Abed. Jawabannya sungguh di luar dugaan.

##########

Aku kangen pulang bareng Dyan, ngoceh tentang banyak hal di sepanjang jalan. Dua bulan sejak masuk sekolah aku sangat jarang bisa pulang bareng dengannya.

Danny hampir selalu siap menunggu di depan gerbang sekolah dengan motornya.

Ini benar-benar hukuman. Di saat aku sungguh menyukai dia, orangnya malah berpaling pada yang lain.

Aku menarik napas panjang sambil berjalan keluar kelas.

"Hei, duluan," sapa Dyan sambil melesat keluar.

"Oke," jawabku, tapi aku tak yakin dia mendengarnya.

Di depan gerbang sekolah ada kehebohan hari ini. Dyan berdiri terpaku di ujung koridor kelas.

D-TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang