Dream

1K 181 25
                                    

Aku harus mengakui Dyan manis sekali sore ini. Memang tidak ada yang berlebihan, tapi senyumnya itu, wah....

Aku mencuri satu dua lirikan setiap kali ada kesempatan dari balik majalah yang kubaca.

Tapi aku sebal ketika ingat dia tampil semanis itu untuk jalan-jalan sama Danny. Aku tidak bisa memutuskan harus sebal pada siapa. Pada Danny ? Sangat tidak mungkin. Pada Dyan ? Tidak juga.

Kemarin Danny sudah minta izin papa dan mama untuk mengajak Dyan keliling kota Bengkulu naik motor karena aku tidak ikut.

Tapi melihat Dyan yang seperti ini, aku jadi menyesal tidak ikut. Aku membayangkan kalau aku pasti jadi patung pajangan yang bisu di antara mereka.

Danny datang dengan motor GL keluaran sepuluh tahun yang lalu tapi masih tampak mengkilat dan bagus.

"Hati-hati, ya. Jangan ngebut," pesan mama.

Danny memberikan helm pada Dyan. "Hei, Dian. Pergi dulu ya?"

Aku melambaikan tangan dengan cuek, sambil pura pura terus membaca. Padahal konsentrasiku sudah buyar dari tadi.

"Dy, oleh-oleh cemilan pantai untuk Om, ya?" Teriak papa. Konyol.

Dyan mengacungkan jempol dari belakang boncengan motor Danny. Dan hatiku serasa ditarik-tarik ketika melihat Dyan memegang pinggang Danny. Sirup dingin di hadapanku langsung kuteguk habis.

Sore itu kuhabiskan dengan berbaring resah di kamar. Aku benci dengan perasaan yang sulit kukontrol ini. Pikiranku selalu bisa jernih bila menghadapi soal matematika atau sains serumit apapun. Tapi ini jauh lebih rumit bagiku. Aku berusaha mengurainya untuk mencari ujung dan pangkalnya supaya bisa kususun sedemikian rupa. Tapi sulit sekali.

Sempat terlintas dalam benakku, apa ini yang disebut cemburu ? Tapi cemburu untuk apa ? Aku tidak punya hubungan yang bisa menghasilkan rasa cemburu. Lalu aku kenapa ?

Kucoba membaca sebuah artikel di majalah hiburan tapi hanya berhasil sampai pada paragraf awal dan gambar-gambar di situ mulai mengabur.

Aku berada di sebuah danau yang dihiasi bunga-bunga yang wanginya kukenal. Eh, seperti wangi lembut parfum Dyan....

Dia ada di sana ! Di bawah pohon rindang di seberang danau. Ia duduk sambil merendam kakinya di air danau yang jernih. Aku memanggilnya dan ia melambai. Cantik sekali.

Aku berlari mendekat. Tapi baru beberapa langkah terdengar suara menderu. Danny datang dengan motornya. Dyan langsung melompat naik dan memeluk erat tubuh Danny.

"Dyaaann !!" Aku berteriak keras. Tiba-tiba cuaca yang tadi biru cerah menjadi gelap kelabu. Air danau yang tenang sekonyong-konyong bergelombang semakin tinggi. Gelombang itu menelanku dengan seketika. Aku berusaha berenang sekuat tenaga tapi dadaku sesak dan kegelapan total melanda. Tidaaakk...

Aku terbangun dengan keringat bercucuran. Aku melihat jam di dinding.

Ketiduran. Mimpi buruk !

Kuatur napasku yang tersengal. Sinar matahari yang masuk lewat jendela mulai meredup, oranye keemasan.

Suara motor Danny terdengar di halaman samping. Papa tertawa-tawa riang.

"Wah, kamu bener-bener perhatian. Jagung bakar ! Dan, apa ini ? Waduh, lengkap. Gorengan pantai dan bakso. Kamu jadi anak Om sama Tante sajalah !"

Huh. Papa asal lagi ngomongnya.

Pintu kamarku diketuk.

"Dian, buka pintu dong."

Aku bergegas memutar kunci.

"Nih," ia menyerahkan sebuah kantung kecil. "Keripik tempe kesukaanmu."

Aku terharu. Dia masih ingat aku. "Terima kasih."

Dyan melenggang masuk ke kamarnya di sebelah.

Aku mengurungkan niat untuk kembali bersarang di kamar. Kubawa kantung keripik itu ke teras, bergabung dengan papa dan mama yang bercakap-cakap seru.

"Keripik, Ma, Pa..."

"Oh, masih ingat juga rupanya Dyan sama kamu," kata papa dengan nada seperti menyindir. "Padahal kau nyaris tidak memperhatikan dia."

"Maksud Papa apa, sih?"

"Maksud Papamu, ini liburan, Dian. Di mana letak serunya kalau kamu habiskan hanya dengan tiduran." Giliran mama ikut bersuara.

"Jangan nyesel kalau liburan Dyan akan lebih asyik karena ada Danny," kata papa lagi.

"Habisnya mau ke mana lagi, Pa? Aku sudah pernah mengunjungi hampir semua tempat di sini," belaku lemah.

"Betul. Tapi Dyan kan belum."

Setelah makan malam kami kembali berkumpul di teras. Dyan juga. Dia asyik bercerita tentang tempat-tempat yang didatanginya tadi sambil sesekali bertanya ini itu pada Papa dan mama.

Bawel. Jangan-jangan kalau dia kelamaan bergabung dengan orangtuaku, dia lebih dianggap anak daripada aku sendiri...

Papa beberapa kali memberikan tatapan aneh yang tidak aku mengerti. Akhirnya papa menyerah dan berinisiatif langsung pada Dyan.

"Kayaknya Dian mau ngajak kamu pergi besok," kata papa dengan jelas yang membuatku kaget.

Dyan memandangku senang. "Iya ya ?"

"Eh,... Kalau kamu mau." Jawabanku itu langsung membuat papa mengerutkan dahi.

"Aku mau banget. Tapi... sayangnya aku sudah janjian sama Danny..."

"Eh, ya sudah kalau gitu..."

Papa kembali membuat ekspresi aneh itu di belakang punggung Dyan.

"Tapi kalau kamu memang mau, kita naik angkot bertiga," sambung Dyan.

"Emm... Aku...." Aku baru akan menolak ajakan itu, dengan berat hati, tapi cibiran gaya badut papa sudah kelewat jelek kali ini. "Oke deh..."

Dyan tersenyum manis. "Eh, Tante mau dibikinkan teh ?"

"Boleh. Makasih, Dyan."

"Lho, kok Om gak ditawari sih," protes papa.

"Om sih yang gak sabaran. Tadinya Dyan mau tawarin teh, kopi atau apa gitu."

"Ooooh, sip deh. Kamu memang perhatian. Samain aja. Teh."

Setelah Dyan tak terlihat, papa mendadak memukul ringan punggungku. "Nah, gitu dong anak Papa !"

Aku meringis malu. Sementara mama hanya geleng-geleng kepala melihat kami.





Hai, stargazers!

Liburan kok pindah tidur aja si Dian ini.
Kan kasian Dyan.
Untung ada Danny.
Cemburu deh.
Untung si papa gigih.
Mo jalan ke mana yaakk ?

Oke. Thank you. See you soon.

Deningcaya

D-TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang