Damn !

1.1K 189 14
                                    

Aku bangun kesiangan. Sangat siang !

Aku sulit memejamkan mata semalam. Bahkan jauh sesudah Dyan mematikan tivi aku masih berguling resah ke kanan dan kiri, diliputi perasaan tak karuan. Entah sampai berapa jam.

Samar-samar aku mendengar suara Dyan bicara dengan nada gembira dengan seseorang.

Danny.

Aku langsung duduk dan melempar selimut. Jendela kamar kubuka lebar-lebar.

Mereka sedang duduk mengelilingi Kakek Din.

"Pagi, Dian," sapa Danny ramah.

"Siang, Pemalas," sahut Dyan. "Sori gak bangunin kamu. Kayaknya nyenyak banget. Kami baru pulang mancing di sungai sana. Nih, ikannya lagi dibersihin Kakek."

Dyan terdengar sangat bersemangat. Menyebalkan. Aku kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku harus tidur larut ? Kenapa aku harus memikirkan yang tidak-tidak ? Dyan ini penyebabnya. Aku ingin kesal pada Danny, tapi tak bisa. Bagaimana aku bisa sebal pada orang yang pernah menyelamatkan hidupku ?

Tapi aku paling sebal pada diriku sendiri.

Aku menarik diri dari ambang jendela, lalu berhenti di depan cermin besar yang menempel di lemari pakaian. Aku nampak kacau. Masih kulihat separuh cowok ringkih di situ.

"Dian, cepat keluar dong !" Teriak si cewek. Lalu terdengar suaranya berbicara seru dengan Danny kembali. Aku jadi malas keluar. Tapi harus.

Lima belas menit kemudian aku keluar ketika Dyan sedang membantu Nek Eha memanggang berbagai jenis ikan sungai hasil pancingannya. Aroma sedap ikan yang mulai matang memenuhi halaman belakang.

"Mana Danny ?"

"Pulang sebentar. Dipanggil ibunya," jawab Dyan sambil berusaha mengatasi asap yang mengelilinginya. Wajahnya sungguh tampak lucu.

Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya. Ia membolak-balik ikan dengan semangat.

"Menyingkirlah. Banyak asap, nih," katanya sambil mendorong aku.

"Bau amis kamu !"

Sreet. Ia mengoleskan kuas bumbu ke pipiku. Aku terlonjak kaget. Dyan dan Nek Eha tertawa.

"Bau, tau !" Protesku.

"Eleh, belum mandi juga," katanya masih tertawa.

Kutarik lengan kaos Dyan untuk membersihkan pipiku.

"Awas kau. Gak kubagi ikannya !"

"Gak masalah. Aku minta Nenek aja. Boleh kan, Nek ?"

Nek Eha tertawa. "Punya Non Dyan semua."

Kalek Din datang membawa arang tambahan sementara Dyan tertawa mengejek.

"Heh. Makan aja sendiri kalo sanggup. Rakus."

"Bagi sama Danny aja ah. Dia kan ikut mancing..."

Danny lagi. Aku merengut.

"Becanda hoi, becanda. Masak ikan sebanyak ini gak ada jatahmu. Tuh yang matanya melotot minta kamu makan..." Dyan mencoba melucu.

Mau tak mau aku tersenyum juga walaupun leluconnya konyol.

"Siang ini Danny ngajak lihat rumah Bung Karno sama keliling pecinan. Kamu ikut kan ?"

Aku terdiam sesaat. "Nggak ah. Sudah pernah." Ah, alasan apa itu !

"Ayolah...."

"Nggak. Males."

"Yakin gak mau ? Berarti aku boncengan motor sama Danny kalo kamu gak jadi ikut."

Aku terkejut. "Apa ? Naik motor?"

"Kenapa? Danny kan hafal jalanan kota."

Aku ingin ngotot melarang, tapi tak bisa menemukan alasan yang cukup kuat untuk mematahkan rencana mereka.

"Terserah deh." Kataku datar sambil bangkit berdiri. "Mandi dulu."

Aku mendengar suara Danny lagi setelah keluar kamar mandi. Aku sebenarnya malas melihat adegan Dyan yang ketawa-ketiwi dengan Danny, tapi demi kesopanan, aku paksakan diri keluar.

"Nih dia Pangeran Tidur sudah hadir. Kalian bantu Kakek dan Nenek nyiapin ikan dan meja ya? Aku mandi dulu...." Dyan langsung ngeloyor pergi.

Seperti dugaanku, pasangan kakek-nenek itu pasti menolak bantuan kami, jadi kami nongkrong di teras sambil ngobrol ini-itu. Danny masih seperti orang yang kukenal dulu, tulus dan penuh semangat.

"Eh, Dyan kuadratmu itu manis banget, ya?" Kata Danny malu-malu.

Ini dia. Aku tersenyum sebisa mungkin.

"Baik lagi. Ramah juga. Padahal kami kan baru kenal, tapi ia cepat akrab."

Kami ? Perutku agak bergolak.

"Emm... Kalian bener nggak pacaran, kan ?" Tegasnya lagi.

Aku tergagap. "Kan sudah kubilang kami cuma sahabat."

Danny menatapku sejurus. Kualihkan pandanganku ke arah lain.

"Ayolah. Masak kamu nggak tertarik sama cewek sehebat dia ?" Tanya Danny yang membuatku terpojok.

"Aku... Aku eh sudah terlalu terbiasa dengan segala tingkahnya. Yah, boleh dibilang sangat terbiasa. Jadi kurasa, yah, tidak ada perasaan seperti itu."

Dyan keluar dari kamar mandi. Entah mengapa aku sangat berharap dia tidak mendengar semua kalimatku barusan.

"Kalau gitu, hmm... Boleh aku deketin dia ?" Pertanyaan jujur Danny membuat aku kelabakan.

"Kenapa eh... tidak ?"

Danny tersenyum puas dan menepuk pundakku. Aku menyusulnya masuk sambil menarik napas panjang.


Hai, stargazers.

Danny minta izin. Memangnya Dian RT nya Dyan yaakk ?

Dian masih bingung sendiri. Bantu dong biar gak bingung.

Oke. Thank you. See you soon.

Deningcaya

D-TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang