Tiga : Tebengan Pulang

1.9K 353 70
                                    


"Yah, kok ujan lagi sih?" gue mendesah sambil menatap langit kota yang udah mulai meluncurkan ribuan pasukannya.

Ji Ae di samping gue ikutan mendesah. "Gue bawa mobil, tapi gue kaga bawa payung buat jalan ke parkiran."

Apalagi gue? Cuma punya motor dan lagi-lagi kaga bawa mantel.

Mbak Jeni dateng dari belakang dan berdiri di samping Ji Ae. "Mbak di jemput mas Lay lagi, mbak?" tanya gue. Jeni menggeleng.

"Nggak gi, hari ini gue di jemput adek gue."

Adek Jeni, namanya Jung Jaehyun, mahasiswa jurusan arsitek kayak adek gue. Mereka juga seangkatan.

Nggak lama kemudian mobil Jaehyun dateng. Jeni langsung pulang, dia emang nggak pernah berlama-lama di kantor kalo bukan karena harus lembur, bukan karena dia udah punya anak sih. Emang Jeni orangnya gitu, kalo udah kelar urusan ya udah dia pulang. Nggak peduli halangan apapun dia kudu pulang.

Sekarang tinggal gue sama Ji Ae dan beberapa orang lain yang kejebak hujan juga. Dan untuk gue ini udah kedua kalinya dalam kurun waktu satu minggu. Sial banget nggak?

"Ji, kafetaria aja yuk?" ajak gue.

Ji Ae tersentak kecil. "eh? Emang masih buka ya?"

Gue menganggum mengiyakan. "Masih dua jam lagi tutupnya."

Dia diem sebentar, tapi kemudian dia menggeleng. Katanya nggak bisa soalnya dia ada urusan, bahkan kalo jam udah mepet hujannya belum juga reda dia mau terjang itu hujan demi sampai ke parkiran.

Akhirnya gue pun menyudahi ajakan gue. Melihat ke arah langit yang kayaknya masih enggan untuk berhenti mengirim pasukannya itu. Karena gue tipe orang yang nggak betah berdiri lama, akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke kafetaria sendirian.

Sebodo amat, lagian JiAe kaga mau di ajak yaudah gue biarin dia disana sendirian.

"Mbak kopi hitam satu ya?"

"Dua."

Seseorang dibelakang gue tiba-tiba menyahut membuat gue berbalik seketika. Dan tebak siapa dia? Mas mas kopi yang tempo hari itu.

Namanya siapa ya? Chayeol? Chaheol? Chaebol? Duh gue lupa.

"Eh, mas... " cuma gitu sapaan gue. Takut sih, nggak yakin bisa nyebut namanya dengan bener.

Dia tersenyum simpul, "ketemu kamu lagi." kata dia.

Gue senyum canggung.

Waktu kopinya udah jadi, dia menyodorkarkan kartu nya ke mbak-mbak kafetaria. Gue udah mau ikutan bayar tapi dia nahan tangan gue.

"Sekalian aja mbak." katanya.

Gue gelagapan. "Eh mas, nggak usah. Ini kan kopi saya."

"Nggak papa, sekali-kali" jawab nya lagi dengan senyum yang sumpah, dia bisa nggak si nggak senyum selembut itu?

Gue sama dia mengambil tempat duduk di deket dinding kaca yang mengarah langsung ke jalanan yang ada di depan kantor. Rame banget jalannya, padahal ujan lebat.

"Kamu kalo hujan gini emang nggak pernah langsung pulang?"

"Enggak juga sih, cuma kebetulan saya nggak bawa mantel lagi. Kan tubuh saya-"

"Ringkih jadi nggak berani ujan-ujanan?" dia menyambung ucapan gue sambil ketawa.

Emang ada yang lucu ya?

Gue lagi-lagi masang senyum canggung gue. Nggak nyaman banget ngobrol sama orang yang bahkan namanya gue nggak inget betul. Mana dia ngomongnya sok akrab banget lagi.

Naked Soul (Chanseul)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang