Tiga Puluh Tiga : We Meet Again

1.5K 304 75
                                    

Tiga tahun berlalu.

Ada banyak hal yang terjadi. Papa meninggal tepat ketika gue menginjakkan kaki di rumah sakit hari itu. Menciptakan luka yang begitu mendalam di keluarga gue.

Terlebih lagi mama yang selalu merawat dan menjaga papa. Beliau yang nggak pernah menyerah menunggu kesehatan papa adalah orang yang paling terpukul saat kepergiannya.

Gue sedih tentu saja, bahkan gue nggak mampu menelan nasi seharian penuh. Hanya tangis yang terus menerus keluar dari pelupuk mata gue.

Lalu Jeni datang dan bilang pada gue. Harus ada satu orang yang bangkit untuk menghibur yang lainnya. Gue memilih untuk berhenti menangis dan menghibur mama beserta adek-adek gue. Sok kuat memang kelihatannya, tapi hari itu gue tahu kalau hari esok itu masih ada untuk kami hadapi.

Satu minggu setelah kepergian papa. Gue sekeluarga memutuskan buat pindah rumah. Masih di kota yang sama. Hanya saja di kawasan yang lebih sederhana, alasan lainnya karena dari dulu sampai detik terakhir papa bernafas. Mama hanya seorang ibu rumah tangga, dengan dia yang baru pertama kali turun ke dunia kerja setelah sekian lama. Mama bilang, kita harus pintar me-manage pengeluaran juga pemasukan sehemat mungkin.

Gue menawarkan mama agar gue dan Jiwoo saja yang mencari nafkah juga biaya sekolah Siho. Tapi mama bilang yang perlu gue lakukan itu ngumpulin duit buat nikah gue nanti.

Sejak itu gue ngerti maksud mama meminta gue bayar duit nikah yang terhambur sia-sia. Mama sama papa udaj menyiapkan anggaran sedemikian banyak untuk masing-masing anak. Anggaran pendidikan dan pernikahan sudah dibagi. Punya gue tentunya udah terpakai dan hanya tersisa nggak seberapa.

Jadi sejak itu, gue mulai selalu berpikir positif tentang mama. Apapun yang dia lakukan pasti ada sebab dan akibatnya.

Motor kesayangan gue juga udah gue jual, karena jarak rumah gue dan tempat gue kerja masih bisa di tempuh dengan jalan kaki. Gue mau berhemat, sekaligus uang penjualan motor gue tabung buat masa depan nanti.

Hidup sederhana nggak sesulit itu. Justru gue menikmatinya, bagaimana ketika gue binging karena duit bulanan habis. Gue berasa bener-bener jadi orang dewasa yang sedang menghadapi peliknya kehidupan ekonomi.

Siho udah jadi mahasiswa sejak tahun lalu. Ambil sastra bahasa korea.

Jiwoo udah magang di salah satu perusahaan ternama di Seoul. Dan gue masih jadi pegawai toko dengan jabatan kc yang nggak pernah berubah. Pernah sekali ditawarin jadi spv,gue menolak. Nggak ada alasan, gue hanya nggak mau saja.

Dan hal lainnya berjalan lancar.

Kecuali hati gue yang terkadang masih merasa kosong. Seperti ada bagian yang hilang, seperti gue membutuhkan sesuatu yang bahkan diri gue nggak tau.

Ujungnya gue melampiaskannya pada se cangkir kopi. Ketika rasa kosong itu mulai datang menghampiri gue, segelas americano membantu gue mengembakikan mood dalam sekejap.

"Mbak Seulgi, kemarin ditanyain sama Pak Yunho. Itu barang mutasi yang rusak di gudang jadi di retur?" tanya Seongwoo, pramuniaga stan sepatu.

Pak Junho, dia floor manager (fm) bagian fashion. Orangnya ganteng tapi dingin, gue kalau bukan masalah pekerjaan aja nggak bakalan bisa denger suaranya. Jangan harap deh.

Sebelum menjawab, gue memilih untuk masuk ke gudang sepatu dan melongok barang yang di maksud sama Seongwoo itu.

Udah di pack sempurna. Seingat gue sih, barangnya ada yang udah berjamur, beda ukuran, atau bahkan cacat sempurna. Gue nggak tau gimana bisa mereka mutasi barang bobrok kayak gitu kesini.

Naked Soul (Chanseul)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang