1. Efek Alkohol Sialan

87 5 0
                                    



Aku berjalan dengan langkah yang dibuat-buat ketika memasuki salah satu club malam yang cukup terkenal di kota ini. Heels sepuluh centi yang aku pakai menambah rasa percaya diriku untuk memamerkan kaki jenjangku, yang terlihat jelas dengan mini black dress yang membalut sempurna tubuhku. Tidak lupa bibirku yang aku poles dengan lipstik merah menyala menyunggingkan senyum yang mematikan. Aku sangat yakin semua mata pria di club ini melihatku dengan tatapan memuja. Setelah tebar pesona sedikit. Aku langsung menemui Sarah, sahabatku yang menunggu di depan meja bartender.

"Minum?" tawar Sarah ketika aku duduk di sampingnya yang aku balas dengan anggukan.

"Sebulan nggak jumpa lo. Makin nyentrik aja rambut lo. Model apa lagi tuh?"

Aku mengibaskan rambut ombre bergelombang miliku dengan dramatis."Kata sih Mince ini lagi trend. Yaudah gue coba aja. Aneh ya?"

Seminggu yang lalu aku memang sengaja mengubah warna rambutku karena aku bosan dengan warna rambutku yang lama. Aku ingin sesuatu yang baru sekaligus buang sial dengan sedikit mengubah gaya rambutku. Dan aku memilih mewarnai rambutku dengan gradasi warna cokelat, pink dan ungu sesuai saran Mince pemilik salon langgananku.

"Asal lo pede aja sih nggak masalah."

Aku tersenyum setuju membalas jawaban Sarah.

Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti soal fashion dan trend. Aku hanya suka mencoba-coba hal-hal baru yang agak berbeda dari pilihan banyak orang.

"Ada masalah apa lagi lo?" tanya Sarah to the point. Setelah basa-basi sedikit sebelumnya. Sarah sudah sangat hafal kebiasaanku yang memilih melarikan diri ke club malam ketika aku sedang stres.

Aku meneguk wine yang baru saja dihidangkan bartender sebelum menjawab pertanyaan Sarah."Gue muak sama hidup gue!"

"Bokap lo lagi?"

Aku tertawa sinis."Bokap jodohin gue dengan anak rekan bisnisnya!"

"Lo kan bisa nolak. Selama ini lo juga selalu nentang ucapan bokap lo! Dan lo masih hidupkan." Jawab Sarah enteng.

"Gue pikir gue bisa gitu. Tapi bokap ngancem bakal jual rumah peninggalan nyokap yang di bandung. Lo tahu kan Sar.. itu satu-satunya peninggalan mama untuk gue." Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Sejujurnya aku paling lemah jika udah menyangkut soal mama.

Aku memandang kosong ke arah gelas bening wine miliku sambil menggoyangkan gelas tersebut."Lo tahu Sar. Betapa brengseknya dia. Sekian tahun dia nggak peduli sama gue sekalinya datang ngancam gue! Dia pikir dia siapa hah?!"

"Sst.. udah Kei. Lo kesini buat lupain masalah lo kan? Soal itu nanti kita cari jalan keluarnya bareng-bareng. Ayolah nggak ada yang bisa mengintimidasi Kera Andini! Sekarang kita bawa happy aja. Oke?"

Aku mengangguk. Aku cuma memiliki dua sahabat dekat Nick dan Sarah. Mereka adalah orang-orang yang bisa ku percaya dan tidak munafik. Mungkin karena kami sama-sama dari keluarga broken home, sehingga kami bisa saling cocok satu sama lain.

Aku meliuliukan badanku mengikuti irama musik. Suara dentuman musik yang hingar bingar tidak aku pedulikan lagi. Saat ini aku butuh melepaskan beban pikiran dari kepalaku.

"Kei..Lo liat cowok yang duduk di sana!" Sarah menunjuk dengan dagunya."Gue perhatiin dia dari tadi ngeliatin lo gitu."

Aku masih terus meliuliukan badanku tanpa mau repot-repot melirik ke arah yang dimaksud Sarah."Paling dia salah satu yang terjerat pesona gue."

"Tapi tatapannya ke lo itu beda Kei. Jangan-jangan kalian saling kenal lagi." Sarah berbicara lagi.

Aku tersenyum geli."Iya kali ya. Mungkin orang yang nggak sengaja ketemu dimana gitu. Paling kalau dia kenal dia pasti sapa gue duluan." Kataku percaya diri.

Semakin malam dentuman musik di club ini semakin riuh. Aku terus saja menari tanpa peduli dengan orang-orang disekitarku. Entah sudah berapa banyak minuman yang sudah kutenggak aku sudah tidak ingat lagi dan aku tidak tahu Sarah sekarang ada dimana.Aku rasa aku mulai kehilangan kesadaranku.

Aku berjalan terhuyung untuk mecari Sarah."Apaan sih lo!" kataku dengan nada setengah teler kepada seorang pria yang ingin memegang tanganku. Pria itu tidak juga menyerah dia masih berusaha mengganggu."Jangan kurang ajar lo ya!"

Dia menarik daguku, dengan kasar aku hempaskan tangannya. Saat dia ingin menampar pipiku. Tiba-tiba seorang pria lain menonjok mukanya. Kejadian itu antara nyata dan tidak nyata bagiku. Aku menyipitkan mataku untuk melihat wajah pria yang sudah membantuku untuk lepas dari pria kurang ajar tadi.

Aku tersenyum getir. Bisa-bisanya disaat mabuk seperti ini malah wajah pria brengsek itu yang muncul. Aku rasa aku benar-benar gila. Karena efek alkohol sialan ini aku malah membayangkan si brengksek itu ada disini. Aku terus berjalan melanjutkan langkahku mengabaikan apa yang baru saja terjadi. Karena saat ini aku butuh kamar kecil untuk menumpahkan isi perutku.

Setelah menuntaskan mengeluarkan isi perutku. Aku mengambil ponselku dari dalam tas tanganku. Langsung saja aku menekan panggilan nomor satu. Setelah beberapa detik sambungan telepon terjawab. Aku masih bisa mendengar Nick memaki-maki diujung telepon. Setelah itu aku tidak mengingat lagi apa yang terjadi selanjutnya.

***

Red LipsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang