6. Manusia sedingin Es

50 4 0
                                        

Dengan langkah gontai aku memasuki apartemenku. Aku selalu merasa kesepian ketika berada di apartemen ini. Tanpa mengganti pakaian, aku langsung berbaring di tempat tidur. Aku terlalu lelah saat ini. Lelah hati maupun pikiran. Aku menepuk–nepuk dadaku dengan tanganku, untuk mengurangi rasa sesak yang aku rasakan. Kehadiran Tristan telah membuka luka lama di hatiku yang selama ini berusaha aku kubur dalam-dalam. Tiba-tiba saja air mataku mengalir dari sudut mataku. Aku kembali menangis dalam diam. Menangis untuk suatu alasan yang bahkan tidak aku mengerti.

Bukankah kita sudah lama berakhir?

Kenapa rasanya masih sesakit ini sih, Tan?

Kenapa kamu harus kembali lagi?

Aku merasakan ponselku sejak tadi bergetar terus menerus. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya. Untuk malam ini, aku ingin sendiri.

Drrt..

Drrt..

Aku meraih ponselku kemudian menonaktifkannya. Lalu kembali menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan semua emosiku. Aku tidak memikirkan lagi wajahku yang mungkin sudah tidak berbentuk lagi.

Aku hanya berharap dengan begini, esok pagi aku sudah merasa lega dan bisa melupakan kejadian malam ini. Jadi biarkan aku malam ini saja menumpahkan semua kegundahn isi hatiku.

***

Saat ini aku sedang menatap wajahku yang malang di cermin yang ada di atas meja kerjaku. Ah sial makeup tebal dan mahal ini tidak cukup ampuh menutupi kedua mata sembabku akibat menangis semalaman. Aku tidak ingin Tristan sampai tahu kalau aku menangisinya. Pokoknya aku harus bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa kemarin malam antara aku dan dia dan kuharap dia juga bersikap demikian.

"Ya ampun Kei lo nggak keren banget sih nangis karena mantan!" Rutukku dengan suara pelan.

Syukurnya belum ada yang datang jam segini. Sungguh suatu penghormatan bagi seorang Keira Andini sudah tiba di kantor jam tujuh pagi. Hal itu aku lakukan untuk menghindari rekan-rekan kantorku yang resek. Sudah pasti mereka akan bertanya-bertanya why wajah seorang Keira Andini yang biasa terlihat cantik, pagi ini terlihat so mengerikan?!

Apa gue pakai kacamata hitam aja ya biar mata gue nggak kelihatan? Ah pasti bakal aneh. Bisa-bisa aku diketawain sama Nick dan Andre.

Kalau pakai kacamata bening? Njir gue mirip tante-tante girang cuy. Nggak cocok banget pokoknya!

"Anjir!" umpatku kaget karena tiba-tiba wajah Nick muncul di dalam cermin. Nih anak memang hobi nongol tiba-tiba. Masuk ruangan nggak ada suara sama sekali. Tiba-tiba udah muncul dibelakangku saja.

"Lo ngagetin gue tahu nggak!" cibirku kesal.

Dia tertawa, tidak merasa bersalah sama sekali.

"Lo tumben datang pagi-pagi?" tanya Nick heran sambil menarik kursi sofi, lalu duduk di sampingku.

"Gue perlu persiapan yang matang buat pergi rapat sama si bos," kataku berbohong. Kemudian membuang muka ke arah komputer,sebelum Nick menyadari perubahan yang terjadi pada wajahku.

"Aaaa.. apaansih!" jeritku ketika tiba-tiba Nick memutar kursiku mengarah padanya. Kedua lengannya masing-masing memegang sisi kiri dan kanan kursiku, hingga membuat posisiku terkurung.

"Mata lo kenapa Kei?" tanya Nick dengan tatapan matanya yang mengarah tepat di mataku.

Aku meneguk ludahku. Tidak mungkin aku mengatakan kejadian yang sebenarnya kepada Nick. Dia belum tahu apa-apa soal hubungan dengan Tristan yang pernah terjalin dulu.

"Itu gue nyobain soflens baru kemarin. Ternyata nggak cocok. Gara-gara mata gue perih banget gue gak bisa tidur semalam,"jawabku dengan alasan yang demi apapun bodoh banget. Semoga saja Nick percaya dan tidak bertanya lebih lanjut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Red LipsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang