Don't Be Nervous

1.5K 324 91
                                    

Pak Ginanjar sedang menjelaskan tentang rumus entah apa di depan saat Vio masuk. Seisi kelas langsung ngeliatin Vio. Cewek itu hanya nyengir, lalu berjalan ke tempat duduknya.

"AHEM."

Gerakan Vio langsung terhenti. Dia menoleh pada Pak Ginanjar, pria berusia 50-an akhir itu, sedang memelototinya dengan mata berkilat-kilat. Vio hanya bisa meringis sambil mengumpat dalam hati.

"Ada apa ya Pak? Bapak haus? Mau minuman saya?"

Kalau Vio grogi, dia cenderung ngomong asal-asalan. Apa aja yang dia pikirkan, langsung diucapkan. Gimana nggak grogi? Pak Ginanjar kalau udah pura-pura berdeham, pasti bakal ngomel-ngomel panjang lebar. Kebanyakan isinya curhat dan Vio sama sekali nggak mau dengerin.

"Kamu ke mana saja, hah?!" Pak Ginanjar menatap Vio dengan mata menyipit. "Asyik-asyik di kantin sambil beli minuman enak, padahal saya di sini susah-susah ngajarin kalian matematika. Dikira saya nggak pusing ngurusin siswi bandel kayak kamu, hah?"

"Ya udah Pak, kalau pusing ngurusin saya, nggak usah diurusin juga nggak apa-apa," sahut Vio. Dia sudah terlanjur bikin Pak Ginanjar ngamuk, kenapa nggak sekalian kan?

"Berani ngelawan kamu?" Wajah Pak Ginanjar udah merah. Dia lalu mengambil buku saktinya—sebuah buku latihan soal berisi seribu lebih soal matematika peminatan—dan menyerahkannya pada Vio. "Foto kopi buku ini, lalu kerjakan soal bab empat dan lima. Pertemuan berikutnya, kumpulkan jawabannya. Ngerti kamu?"

"Oke Pak." Vio menerima buku itu, lalu berjalan ke kursinya.

"Heh, mau ke mana kamu?"

"Bentar Pak, saya mau naruh minum sama ambil duit. Uang saya kurang kalau mau foto kopi buku sakti Bapak."

Seisi kelas sudah susah payah menahan ketawa melihat kelakuan Vio. Cewek itu bersikap bodo amat. Lagian, dia juga nggak pernah punya teman dekat. Cewek-cewek di kelasnya pada suka bergosip, sementara cowok-cowoknya suka banget mainan game online.

Vio lalu keluar setelah mengambil duit secukupnya. Mimpi apa sih dia semalem? Bisa-bisanya pagi ini berjalan begitu buruk. Udah dihukum suruh belajar bareng manusia setengah robot, sekarang dia harus ngerjain soal-soal yang bakal bikin otaknya kebakaran.

Omong-omong soal manusia setengah robot itu, Jo tiba-tiba muncul di hadapan Vio. Spontan Vio mengumpat, membuat cowok itu mengernyit heran.

"Buset, lo bisa nggak sih nggak ngagetin orang?" bentak Vio. "Anjir, kalau gue jantungan gimana?"

"Kenapa kamu ada di luar kelas? Apa kamu sedang kabur?" Jo mengabaikan gerutuan Vio.

"Iya, gue pengin kabur ke Singapura sono tuh, biar nggak usah ketemu lo sama Pak Ginanjar."

"Kamu tentu masih ingat perintah Pak Har untuk—"

Vio memotong Jo sebelum cowok itu mengucapkan kalimat yang bikin otaknya tambah capek, "Ya kali gue kabur beneran ke Singapura. Gue mau ke koperasi, mau foto kopi buku sialan ini. Gue dihukum juga sama Pak Ginanjar, puas lo?"

"Saya rasa itu wajar, dan saya tidak berhak mengomentari apakah saya merasa puas melihatmu dihukum." Jo mengedikkan bahu. "Saya temani kamu ke koperasi."

"Ngapain lo nemenin gue deh? Dan juga lo ngapain di luar gini?"

Meski Vio sudah menolak, Jo tetap menyamai langkahnya. Kayaknya Jo merasa sudah kewajibannya memastikan Vio berada di jalan yang benar dan nggak bakal bolos lagi. Vio hanya mendengus.

"Saya lupa minta kontakmu yang bisa dihubungi. Nanti saya buatkan jadwal belajar—mungkin hari Sabtu siang cocok untuk dijadikan jadwal rutin."

"Enak aja, setiap weekend gue kan liburan," tolak Vio tegas. "Gini aja deh. Kita tukeran ID LINE atau apalah, terus janjian besok buat ngerjain soal ini. Lusa harus dikumpul soalnya. Bisa kan?"

"Sepulang sekolah? Tentu."

"Ya udah, ID gue 'viohdwnt', ada nggak?"

Jo langsung membuka LINE-nya dan mengetikkannya di kotak pencarian teman. "Sudah saya tambahkan sebagai teman. Nanti saya hubungi kamu."

"Oke. Terus ngapain lo masih di sini?"

"Saya temani kamu ke koperasi, lalu kembali ke kelas. Saya harus memastikan kamu benar-benar tidak akan kabur dan benar-benar hanya ke koperasi untuk membuat duplikat dari buku itu, bukan jajan."

Vio mendengus. Buset, dia nggak dipercaya banget sih. Akhirnya dia menyerah, membiarkan Jo mengekorinya. Lagian, dia juga nggak peduli dengan kehadiran cowok itu, asalkan dia nggak ngomong apa-apa.

"Terserah deh, tapi awas lo ngomong. Sekali lagi lo ngomong, gue tendang lo."

Jo hanya mengangguk, tapi wajahnya terlihat agak pucat. Dalam hati Vio tertawa. Lumayanlah, dia dapet guru les gratis!

Vio: Don't Mess Up [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang