Vio berjalan menyamai langkah si Kamus. Jo kelihatannya nggak terusik dengan tatapan menghakimi Vio yang jelas-jelas dilontarkan padanya.
Dia meneliti Jo. Cowok itu tinggi dan rada kurus, dengan rambut cepak. Cara berjalannya tegap, persis kayak tentara yang baru apel pagi, lengkap dengan tangan yang terkepal dan berayun lagi tugas upacara. Selain pinter, rupanya Jo juga bakat jadi paskibra.
Vio sudah bisa membayangkan disuruh belajar bareng Jo. Pasti cowok itu bakal ngajarin pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar, lalu suasana bakal jadi kaku banget. Udah keliatan kalau Jo nggak bakal asyik diajak bicara. Mending ngajak ngomong Bang Som, yang walaupun rese banget, tapi masih bisa jadi bahan ejekan. Boro-boro diejek, buat ngajak ngomong Jo aja pasti akan dibales wajah lempeng.
"Apakah ada sesuatu di wajah saya yang membuatmu terus memperhatikan saya?" tanya Jo kemudian.
"Bukan di wajah lo, tapi di mulut lo tuh," gerutu Vio. Buset, kalimat itu mungkin kalimat terformal yang pernah diucapkan padanya dalam 16 tahun dia hidup.
"Ada apa di mulut saya?" Jo mengusap bibirnya.
"Sisa-sisa kamus yang lo minum tadi pagi."
"Lelucon kamu tidak lucu."
Vio melengos. Tahan emosi, Vi, tahan emosi. Kelakuan aneh cowok itu membuat kepala Vio lebih panas dari wajan yang dipakai Bu Atmo buat bikin gorengan. Dia seketika menyesali nasib apesnya pagi ini. Tapi yah, siapa yang bisa menduga Pak Har lagi pengin jalan-jalan ke luar?
"Yang ngelucu juga siapa sih. Emang wajah gue kayak wajah komedian?"
Jo memperhatikan Vio sekilas, lalu menggeleng. "Kamu terlihat marah. Apa saya membuatmu marah?"
"Sadar juga lo, dasar kamus berkaki."
Jo membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, tapi batal. Sebagai gantinya, dia mengangkat bahu, "Cara saya berbicara tidak bisa diubah. Omong-omong, kenapa sedari tadi kamu mengikuti saya? Kalau kamu kelas sepuluh, berarti kelasmu ada di arah yang berlawanan."
"Karena gue juga dipanggil Pak Har." Vio mendengus. "Gue mau dikenalin ke elo."
"Kenapa?"
Sebelum Vio sempat membalas, ruangan Pak Har sudah di depan mata. Vio mengetuk pintu dan langsung membukanya tanpa menunggu balasan. Jo masih menunggu Pak Har mempersilakan dia masuk, baru melangkah ke dalam dan menutup pintu.
"Selamat pagi, Joshua," ujar Pak Har sembari menyalami cowok itu.
"Selamat pagi, Pak, ada yang bisa saya bantu?" Jo tetap berdiri.
Pak Har mengisyaratkan Jo untuk duduk, dan cowok itu menurut. Vio mendengus. Dia sekarang penasaran. Mungkin nggak ya kalau Jo itu bukan orang, tapi robot? Mana ada sih orang yang ngomong dan berperilaku kayak Jo di dunia ini?
"Jo, ini Viola Hadiwinata. Dia ini siswi paling bandel di sini, tapi sebagai hukuman dari saya, dia harus belajar untuk memperbaiki nilainya semester ini. Nah, saya harap kamu mau menolong dia dengan menjadi mentor belajarnya. Apa kamu setuju?"
Jo terdiam sebentar, berpikir. Vio berharap cowok itu menolak permintaan Pak Har. Dia bisa betulan meledak kalau harus terus berhadapan dengan Jo setiap hari.
"Kalau Bapak yang meminta, saya tidak mungkin menolak," jawab Jo, membuat Vio langsung menoleh kaget.
Shit, apa hidup lagi berkonspirasi untuk ngerjain dia?
"Bagus," Pak Har tersenyum cerah. "Sebagai imbalannya, biaya sekolah kamu akan diturunkan sesuai dengan jumlah belajar bersama yang kalian lakukan. Minimal seminggu dua kali, waktunya bebas. Kamu setuju, Vio?"
"Nggak!" Dengan tegas, Vio menggeleng. "Bisa gila saya Pak, kalau seminggu dua kali harus ketemu Jo. Bapak kan denger sendiri dia kalau ngomong kayak apa!"
"Sopan kok," Pak Har mengernyit. "Kamu itu, alasan aja biar nggak usah belajar kan? Saya sudah hafal kelakuanmu."
Vio mendengus. "Seminggu sekali aja deh ya Pak."
"Ya sudah. Minimal seminggu sekali. Jangan lupa laporkan pada saya kapan dan bagaimana mentor itu berjalan, Jo. Pastikan Vio tidak kabur."
Jo mengangguk, "Siap, Pak."
"Kalian berdua boleh kembali ke kelas. Jo, antar Vio ke kelasnya dulu."
Mereka berdua lalu berdiri dan keluar dari ruangan Pak Har. Jo berbicara sebentar dengan Pak Har—mungkin soal berapa banyak imbalan yang dia terima. Vio malas menunggu dan langsung keluar. Kalau di kartun-kartun, dari telinganya sekarang pasti keluar asap.
Vio sudah berjalan ke arah kantin saat Jo akhirnya keluar.
"Tunggu," seru Jo, lalu cowok itu terdengar berjalan cepat ke arah Vio. Dia mencekal lengan Vio begitu tersusul. "Kelas kamu bukan ke arah sana."
"Bodo amat, gue mau ke kantin dulu. Lo balik aja duluan kalau mau."
Jo berpikir sebentar, lalu melepas lengan Vio. "Oke, saya antar kamu ke kantin, lalu ke kelas."
"Oh yeah," dengus Vio. "Terserah elo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Vio: Don't Mess Up [sudah terbit]
Fiksi Remaja[Banyak part sudah di-unpublish, yang sisa juga masih kasar. Mending beli aja, atau tetap tambahkan ke perpustakaanmu untuk info terkait giveaway! ❤️] Viola Hadiwinata sepertinya menyandang gelar siswi paling bermasalah sepanjang sejarah Mayapada. D...