Don't Tell Him The Truth

1.5K 309 57
                                    

Vio langsung masuk ke kamar begitu dia sampai di rumah. Seharian penuh kejadian ajaib ternyata bikin capek. Begitu mencium bantalnya yang bau aneh tapi enak dipakai, dia langsung tidur.

Begitu bangun, rumah sudah agak ramai. Kayaknya Tuan dan Nyonya Hadiwinata sudah pulang. Vio mendengus. Dia pengin banget diem di kamar sampai besok pagi, tapi dia kelaparan. Nggak mungkin deh dia nggak turun untuk makan. Jadi dia jalan ke kamar mandi, mempersiapkan diri sewangi-wanginya, lalu turun menemui mereka berdua.

"Selamat sore...," ujar Vio lirih saat dia sampai di ruang keluarga.

Vio emang memilih buat manggil mereka Tuan dan "Nyonya" (dengan tanda kutip) Hadiwinata karena setelah menikah dengan Felicia Marseilla, Januar Hadiwinata jadi lebih memanjakan wanita itu ketimbang anak-anaknya. Untuk urusan uang sih Vio nggak pernah khawatir. Tapi waktu luang Januar hanya digunakan untuk Felicia dan bukan untuk orang lain.

Vio nggak pernah mau manggil Felicia dengan sebutan "Ibu" atau "Mama" karena ibunya hanya satu: Desya Hadiwinata. Nggak ada yang lain. Felicia udah merebut Papa dari Mama, dan yang lebih sebal lagi, Papa mau-mau aja direbut. Karena itu, hormat Vio pada mereka berdua hilang, sehingga panggilan akrab bukan sesuatu yang rasanya pantas mereka dapatkan.

"Sore, Vio," sahut Papa, menoleh sekilas pada Vio lalu kembali ke televisi. "Bagaimana sekolahmu?"

Semua kejadian sejak tadi pagi langsung muncul di otaknya, tapi Vio menjawab pendek, "Baik."

"Halo, Vio," sapa "Nyonya" Hadiwinata dari arah rumah makan. "Bunda baru tahu kalau kamu sudah di rumah. Tidur ya sedari tadi?"

Vio memaksakan senyum. Yeah, Felicia emang memanggil dirinya sendiri Bunda kalau lagi ngomong sama Vio—jijik, sebenarnya, tapi mau gimana lain? Secara hukum, emang sekarang dialah ibu Vio yang legal. Vio aja yang nggak mau mengakui wanita itu sebagai ibunya.

Kadang dia sebal pada Cello karena sejak keberangkatannya ke Belanda tahun lalu untuk kuliah bikin Vio terjebak sendirian di sini bareng Tuan dan "Nyonya" Hadiwinata. Betapa kejam! Tapi karena Cello selalu meneleponnya setiap malam, Vio jadi mengabaikan perasaan itu.

"Iya, Bun." Dalam hati, Vio mengumpat. "Kecapekan habis sekolah."

"Makan dulu gih. Bunda udah masakin kamu sop. Pasti seger."

Vio hanya mengangguk, lalu pergi ke ruang makan. Paling nggak, di ruangan itu, dia nggak perlu melihat Tuan dan "Nyonya" Hadiwinata bermesra-mesraan. Ugh, bisa muntah mungkin ya? Daripada selera makannya hilang, lebih baik dia makan sendirian.

Ternyata, di ruang makan sudah ada satu lagi makhluk menyebalkan yang ikut datang saat Papa menikah dengan "Nyonya", yaitu Rio. Cowok yang satu tahun lebih tua darinya itu anak Felicia dari pernikahannya yang sebelumnya. Sama-sama badung, hanya saja Rio lebih nakal karena bergabung dengan KVLR, geng sekolah yang tadi disebut Pak Har, sementara Vio tidak.

"Tumben di rumah," cibir Vio, mengingat kakak tirinya itu sering keluyuran malam-malam, entah ke mana.

"Tumben lo nggak tidur."

Vio hanya mendengus. Vio memilih membawa makan ke kamarnya. Dia menolak ajakan Papa untuk menonton televisi bersama—ngakunya sih, mau ngerjain tugas sambil makan, tapi Vio mau buka YouTube dan lihat-lihat video-video para vlogger tentang cerita-cerita mistis aja, atau nonton drama Korea yang kemarin baru dia download secara ilegal.

Tepat setelah dia mengunci pintu di kamar, Cello menelepon. Buru-buru dia meraih ponselnya dan mengangkatnya, "Bang Cellooooooo!"

"Apa sih, Vi?" Cello tertawa dari sana. "Kangen ya sama gue? Kangen kan?"

"Gue cuma penasaran aja, kapan lo balik. Tega banget sih lo, ngebiarin gue di sini sendirian sama Tuan dan 'Nyonya.'"

Cello tertawa lagi, dan Vio mendengus. Dibandingkan Vio, Cello udah menerima kenyataan kalau ada wanita idaman lain di hati papanya. Mungkin karena Cello sudah lebih dewasa saat Mama meninggalkan mereka, jadinya dia lebih bisa menyikapinya.

"There's nothing we can do about that," kata Cello. "Udahlah, Vi. Omong-omong, gimana sekolah?"

Muncullah percakapan yang paling ditakutkan Vio. Serius deh, dia nggak mau Cello tahu dia melanggar janjinya dulu untuk nggak melakukan kenakalan lain. Cello pasti bakal kecewa berat dan meninggalkannya, sama seperti Mama. Dan Vio akan sendirian, benar-benar sendirian.

Jika dipikir-pikir, mungkin salahnya juga ya, sehingga akhirnya Mama meninggalkannya. Dia pasti nakal banget waktu kecil.

"Baguslah, cuma karena nilai gue jelek-jelek, gue disuruh les sama Pak Har. Sumpah, mentor gue kayak robot. Sampai heran gue, bisa ya ada orang kayak gitu."

"Robot?" Cello tertawa. "Siapa sih? Gue kenal nggak?"

"Waktu lo kelas 12, dia kelas 10 deh. Joshua Dewangga, kenal?"

"Woah, serius? Dia kan sering muncul di Instagram-nya Mayapada. Pinter banget sih kayaknya."

"Entahlah, gue belum pernah belajar bareng. Tapi serius deh, dia kayak robot. Gue capek sendiri ngomong sama dia."

"Yah, yang penting kan lo dibantuin belajar. Yang rajin ya, jangan malu-maluin gue."

Vio mendengus. Dia lalu membicarakan hal lain. Berbicara dengan Cello bikin Vio lupa waktu, juga lupa dengan drama Korea atau video-video konspirasi mistis itu. Dia kangen Cello. Dia kangen sama satu-satunya orang yang peduli padanya.

Begitu telepon itu berakhir, selera makan Vio hilang sama sekali.

[]

jadi, udah jelas kan, peran Rio sekarang? hihi.

Vio: Don't Mess Up [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang