Kisah Pilu Bella

15 0 0
                                    

"Miss Mackenzie, paketnya sudah sampai. Saya sudah mendapat konfirmasinya," lapor asisten Bella padanya.

"Ah terima kasih."

Dengan semangat Bella menelepon seseorang untuk memastikan kirimannya sudah sampai.

"Bella? Tumben kau telpon. Apakabar Nak?" Orang tersebut mengangkat telepon dari Bella.

"Aku baik, Tante. Bagaimana apa kirimanku sudah sampai?"

"Ah ya! Baru saja aku membukanya. Sambal, cwireng (cireng), reng...ah..aku sulit membacanya, pokoknya makanan ini seperti nasi kering."

"Itu rengginang, Tante."

"Kau sedang di mana Nak?"

"Aku di Indonesia, tepatnya di Kota Bandung. Tante bagaimana kabarnya?"

"Aku baik, Nak. Hanya ayahnya Gary sedikit mengeluh sakit pinggang. Sepertinya pensiun bukanlah hal yang bagus untuknya."

"Tante, apa Gary baik-baik saja?"

"Dia baik Nak. Hanya saja dia sering bolak-balik Jerman. Sepertinya untuk urusan pekerjaan."

Jerman.....

Lirih Bella dalam hati.

Bella merasa ada yang salah dengan aktifitas Gary yang bolak-balik Jerman, bukannya dia bekerja di Inggris? Kan seharusnya dia tidak perlu sering keluar negeri? Bella memutuskan untuk bertanya kepada Philipp, teman Gary dan juga temannya.

Bahkan Bella sampai mengajukan cuti untuk bertemu Philipp, dan kalau beruntung bisa bertemu Gary yang susah ia hubungi.

"Kamu sampai bela-belain ke Jerman segala, Bel! Emang kamu sedang libur sekarang?" tanya Philipp keheranan.

"Aku meliburkan diri nih! Aku sangat terganggu dengan informasi yang Bibi Barbara bilang."

"Bibi Barbara? Ibunya Gary?"

"Iya, dia bilang Gary sering ke Jerman."

Philipp yang tadinya berwajah biasa saja seketika terlihat sedikit panik. Bella yang cukup jeli melihat perubahan raut wajah, menjadi sangat curiga pada Philipp.

"Ada yang salah?"

"Hehe tidak sih, Bel."

"Jangan membohongku Philipp!"

Philipp sangat mengenal Bella dan dia tahu kalau Bella bisa menjadi tidak terkendali kalau dia mengatakan sesuatu yang salah, ya sebenarnya Gary dan Bella itu adalah pasangan serasi. Mereka sama-sama emosional dan tidak terkendali.

Duh, aing serasa diospek lagi kalo berhadapan sama orang ini! Gerutu Philipp.

"Philipp?" Bella memperhatikannya lekat-lekat.

"Errr anu, Bel. Dia kan memang sedang ada pekerjaan di sini."

"Seberapa sering sih?"

"Ya entahlah, akupun memang jarang bertemu dengannya."

Bella kali ini menatap Philipp lekat-lekat, wajahnya memelas ingin belas kasihan dan...kepastian. Seumur hidup kali ini Philipp melihat Bella yang keras itu terlihat lumer seperti es krim yang terkena terik sinar matahari Gurun Sahara.

"Bella, astaga..."

"Tolonglah, jujurlah padaku."

"Baiklah, tetapi kamu harus siap dengan jawabannya. Mungkin kamu akan sedikit terguncang."

"Baiklah."

"Jadi selama ini Gary memang sering ke Jerman. Dia ke sini bukan hanya urusan pekerjaan, tetapi menemui sepupunya."

"Charine?"

"Iya, pacar labilmu itu masih saja ingin tahu kehidupan sepupunya sekarang."

"Kamu tahu alamat rumah Charine?"

"Tentu, mau kuantar?"

"Boleh."

Bella diantar Philipp mengunjungi rumah Charine di Garching, Munich. Ya bukan mengunjungi sih, namun mengamati dari luar. Mana mau Bella bertemu dengan sepupunya. 

"Nah, biasanya aku mengantar Gary sampai kedai kopi itu. Dia bisa mengamati keadaan rumah dari jendela kedai. Kemarin Gary menghubungiku sih, tetapi dia tidak minta diantar," terang Philipp pada Bella.

Voila! Gary di Jerman.

"Eh, itu bukan sih?" Bella menunjuk seseorang yang memakai topi merah.

"Haha iya betul! Dia tetap mencolok dengan topi Liverpoolnya," Philipp tertawa.

"Kamu masih bisa tertawa melihatku patah hati, Philipp."

"Ya maaf. Hehe."

Bella memperhatikan gerak gerik Gary yang seperti sedang menunggu seseorang keluar dari rumah. Benar saja, saat Charine keluar dari rumah bersama suaminya reaksinya berubah menjadi sangat awas. 

"'Sepupu', Bella, 'sepupu'. Pacarmu itu goblok! Dia kira aku dan yang lain bisa digobloki dengan dengan alasannya yang ingin melindungi sepupunya."

"Mereka bukan sepupu dekat padahal."

"Iya."

"Sepertinya 11 tahun bersamanya adalah sebuah kesia-siaan."

Bella menangis tersedu-sedu setelah melihat kenyataan yang terpampang nyata di hadapannya. Selama ini Gary tidak pernah betul-betul mencintai dirinya.

"Bel, lebih baik kamu minta kepastian saja padanya. Tinggal apa pergi, itu saja."

"Iya, Philipp. Terima kasih sudah mengantarku dan jujur dengan apa yang selama ini terjadi di belakangku."



Those Sharp EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang