Sesudah final Liga Champions 2018
"Bangun, Gary! Kau akan terlambat bekerja."
Gary masih belum benar-benar sadar dari tidurnya, "Ma, masih hari Minggu kan?"
"Sekarang sudah Senin pukul 8 pagi, Nak!"
Kontan, Gary langsung melompat dari kasurnya dan bergegas menuju kamar mandi. Wajahnya terlihat sayu, matanya sembap, dan rambut pirangnya acak-acakan. Mana mungkin aku ke kantor dengan kondisi seperti ini? Dengus Gary kesal.
Setelah bersolek ala kadarnya, Gary bergabung dengan Ayah dan Ibunya untuk sarapan.
"Hey, Nak. Nampaknya kau terlihat tidak baik," kata Ayahnya.
"Iya, Yah," balas Gary singkat.
"Kemarin kamu mabuk berat, Brad dan Kazim mengantarmu pulang dan menyetir mobilmu sampai rumah. Kekalahan Liverpool-mu itu sepertinya membuatmu lupa segalanya," kata Ayahnya.
"Kau tidak mengerti kekecewaanku," balas Gary singkat lagi.
"Sudahlah, hadapi saja kenyataan itu," Ayahnya seperti kelihatan senang dengan kekalahan Liverpool, ya jelas, orang Ayah dan kakak Gary adalah Evertonian.
"Aku selesai, Yah, Bu. Aku pamit dulu."
Gary bangkit dari kursi dan segera meninggalkan rumah.
Benar saja, seharian ini selama di kantor Gary dirundung habis-habisan oleh teman-temannya yang merupakan mayoritas Evertonian (fans Everton).
"Karius itu jago banget ya Ger!"
"Salah cengeng banget sih."
"Ciee next year lagi dong."
Ya rundungan mereka hanya berkisar seperti itu saja kepada Gary. Gary hanya bisa mendengus kesal mendengarnya. Dia hanya bisa bersabar saja meladeni rundungan teman-temannya itu.
Tetapi sedikit tidaknya itu mempengaruhi pekerjaan Gary, dia jadi tidak fokus pada pekerjaannya.
"Clark, kamu lihat lagi deh cetak birunya. Masak seperti ini?" protes Phil, teman satu divisinya.
"Eh iya, kenapa saya pasang sasis di dekat tangki bensin?"
"Liverpool kalah kamu jadi goblok ya Ger?"
"Berisik lo anjir, jangan ikut-ikutan bully gue!"
"Hahaha. Sorry Ger!"
Gary memandangi layar handphonenya berharap Bella mengiriminya pesan untuk sekadar menghiburnya. Dia teringat betul tragedi terpelesetnya Steven Gerrard saat pertandingan penentuan juara Liga Inggris tahun 2014. Saat masih jadi kekasih mereka saling menguatkan dan menghibur diri untuk melupakan kegagalan Liverpool memenangkan Liga Inggris setelah dua dekade puasa gelar.
"Huh."
Gary baru ingat kalau Bella bukan kekasihnya lagi.
"Oh si Mignolet itu kenapa beruntung sekali? Mainnya busuk tapi mendapatkan Bella," kata Gary mengutuki pacar baru Bella.
***
Gary tidak lagsung pulang ke rumah setelah pulang bekerja, pikirannya begitu penat saat itu. Sepertinya dia butuh segelas espresso untuk menjernihkan pikirannya. Setelah mabuk berat di bar saat final, rasanya ia tidak ingin sekali-kali lagi mengulanginya.
"Lebih baik minum kopi daripada mabuk."
Gary duduk di dekat jendela kedai kopi memandangi lalu lalang orang-orang yang pulang bekerja di pusat kota Liverpool. Saat itu kebetulan sedang hujan deras dan orang-orang terburu-buru mencari tempat berteduh.
Namun mendadak pandangan Gary terfokus pada seorang perempuan oriental yang berjalan bersama anak kecil berjas hujan kuning menyusuri keramaian kota.
"Sherry..."
Laki-laki yang September nanti genap berusia 29 tahun itu segera bangkit dari kursinya dan memanggil perempuan itu dari luar kedai.
"Sherry!" Teriak Gary.
Perempuan oriental itu menoleh ke arah Gary dan tersenyum. Gary menghampirinya meskipun ia basah oleh hujan.
"Hei, kalian mau kemana?"
"Kami belum makan siang, kami mau ke Brenda's untuk sekedar makan fish and chips."
"Wah ini kesempatan bagus!" kata Gary dalam hatinya.
Oh, angel sent from up above
You know you make my world light up
When I was down, when I was hurt
You came to lift me up
Life is a drink and love's a drug
Oh, now I think I must be miles up
When I was a river dried up
You came to rain a floodAh-oh-ah-oh-ah
Got me feeling drunk and high
So high, so high
Ah-oh-ah-oh-ah
Now I'm feeling drunk and high
So high, so high
Feeling drunk and high
Feeling drunk and high
So high
Lagu Hymn for the Weekend-nya Coldplay mengalun di kedai kopi tersebut. Lagu itu memang dirasa Gary pas dengan perasaannya saat itu. Kekecewaan atas kekalahan Liverpool di final UCL itu seketika musnah karena dia bisa memandang dan bercakap langsung dengan guru SMP nya yang masih kelihatan awet muda meski sudah punya anak.
"Eh iya, Gary. Perkenalkan ini anak perempuanku, namanya Ellie. Ellie beri salam pada Paman Gary!"
Dengan sopan, bocah perempuan berusia sembilan tahun itu menyapa Gary.
"Hai Paman Gary! Aku Ellie Arnolds."
"Salam kenal, Ellie."
***
Bukan tanpa alasan Gary begitu perhatian pada gurunya itu, dia sempat jatuh cinta pada gurunya saat masih jadi siswa SMP. Ya itu memang cuma cinta monyet, namun sangat berkesan baginya. Cuma Sherry Arnolds saja yang membuat Gary bersemangat mengikuti pelajaran Sejarah, yang lain membosankan.
Ah memang perasaan ini bodoh, tetapi Gary yakin kalau ia akan menemukan cinta dari sosok wanita yang belum genap berusia 40 tahun itu. Gary tidak peduli meskipun usianya terpaut sepuluh tahun lebih muda dari dirinya, toh cinta tidak bisa diukur dari usia. Emmanuel Macron saja bisa menikahi gurunya yang bahkan lebih tua 24 tahun darinya, kenapa Gary tak bisa?
Gary sangat puas memandangi wajah lelah dan penuh keriput tipis-tipis dari sang guru yang begitu telaten menjaga anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Those Sharp Eyes
Любовные романыHati Gareth "Gary" Clark kini sedang berkecamuk. Setelah ia patah hati karena sepupu jauhnya menikah, kini ia dihadapkan pada masalah yang lebih pelik lagi, hubungan dengan kekasihnya terancam bubar karena ketidakpedulian Gary padanya. Apakah Gary d...