BAB 13

538 23 1
                                    


Saat aku masuk ke dalam ruang persidangan, Hakim Agung langsung mempersilahkan aku untuk duduk di bangku yang sudah disediakan.

"Silahkan duduk, Pak Azriel!"

Aku pun duduk dan memberi salam dengan bahasa isyarat kepada seisi ruang persidangan, termasuk kepada Dion. Ketika itu juga, ku lihat bahwa hanya Dion yang tidak membalas sapaan ku dengan senyuman, melainkan membalas dengan tatapan sinis yang menunjukkan sikap kemarahan.

"Apa benar bahwa anda yang memastikan bahwa saudara Dion inilah pelaku dari kasus pembunuhan Pak Reza?" tanya salah satu Hakim.

"Iya, benar. Lebih tepatnya, saya dan salah satu polisi di kepolisian kota Esau yang pertama kali mengetahuinya." Jawab ku untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Dion bertanya dengan nada emosi, "Maaf, apa saudara punya bukti kuat sehingga bisa menuduh bahwa saya yang membunuh Pak Reza?"

"Buktinya? Tunggu sebentar.." kata ku

Aku pun mengambil barang bukti dari dalam tas yang sedari tadi aku gendong.

"Ini buktinya. Saya punya data bahwa sidik jari yang saya temukan di cangkir kopi Pak Reza sama dengan sidik jari tersangka." Aku menunjukkan data yang aku maksud. "Saya juga menemukan bahwa bubuk putih yang saya temukan didalam tempat sampah adalah sama dengan bubuk yang saya temukan masih menempel di baju tersangka saat saya menginterogasinya."

Aku menghantarkan data-data tersebut kepada para hakim untuk dibaca. Hakim Agung lah yang membaca data-data tersebut.

"Apa ada lagi bukti yang memperkuat bahwa saudara Dion lah yang menjadi pelakunya?" tanya Hakim Agung.

"Maaf sebelumnya, apakah boleh saya memakai speaker yang tersedia di ruangan ini?"

Para hakim berdiskusi untuk menyatakan dan menjawab pertanyaan ku.

Hakim Ketua menjawab dengan didahului anggukan, "Iya, silahkan."

Kamu segitu tidak takutnya kalau Dion marah?

Sudah aku katakan, demi menegakkan keadilan di kota ini, aku harus rela kehilangan sahabat ku, karena memang itulah prinsip di kepolisian Kota Esau; tidak ada sahabat bahkan keluarga dalam suatu kasus, semuanya sama.


                                                 ---OO---


Aku pun mengambil sebuah alat perekam suara dan membawanya untuk dicocokkan dengan kabel speaker di ruang persidangan itu. Aku memutar rekaman suara yang aku ambil ketika aku mengintrogasi Dion di ruang kerjanya.

Semua orang yang hadir fokus mendengarkan suara dari rekaman tersebut, kecuali Dion yang nampaknya tak setuju kalau rekaman itu aku putar pada persidangan itu.

Dion membentak untuk menyatakan ketidakterimaannya, "Maaf, Hakim Agung! Saya keberatan kalau rekaman ini diputar!"

Mungkin ia tidak berpikir jauh saat itu. Kalau ia mengatakan seperti itu, pastilah akan menimbulkan kecurigaan semua orang mengapa ia tak terima kalau rekaman itu diputar.

Hakim Agung pun mengetuk palu untuk meminta agar Dion diam, "Mohon tenang, saudara Dion!"

Setelah rekaman itu selesai, Hakim Agung pun langsung angkat bicara, "Berdasarkan data-data serta rekaman yang diserahkan oleh Pak Azriel, maka kami para hakim menyetujui bahwa saudara Dion telah bersalah karena melanggar hukum dengan melakukan pembunuhan berencana. Selanjutnya, saudara Dion akan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup!"

Palu pun berbunyi sebanyak 3 kali, menandakan bahwa keputusan tersebut sudah tercatat dan tidak dapat diganggu gugat.

"Dengan begitu, maka persidangan sudah kami tutup." lanjut Hakim Agung

Saat para hakim bersiap meninggalkan ruang persidangan, Dion berdiri untuk menyatakan pembelaannya.

Dion pun meminta ketersediaan Hakim Agung, "Hakim Agung, saya tidak bisa terima keputusan ini. Saya ingin menyatakan pembelaan saya yang terakhir kalinya."

Namun, ketika mendengar permintaan Dion, para Hakim tetap terus merapihan barang-barangnya.

Hakim Agung pun menanggapi permintaan tersebut, "Maaf, saudara Dion, palu sudah terketuk 3 kali. Jadi keputusan kami tidak dapat diganggu gugat sebelum pihak anda dapat menunjukkan bukti yang lebih kuat dari bukti-bukti yang sudah ditunjukkan oleh Pak Azriel tadi. Sekian dan terimakasih."

Setelah itu, para Hakim langsung meninggalkan ruang persidangan dengan mengacuhkan Dion yang sedari berteriak karena tak terima dengan keputusan para Hakim saat itu. Melihat hal itu terjadi, aku menjadi merasa sangat bersalah.

Dion pun keluar dari ruang persidangan. Ketika ia lewat disamping ku, ia menatap ku dengan sangat tajam dan berbisik : "Tega sekali! Lihat saja nanti apa yang akan terjadi!"

Nah lho.. Dia sudah ancam kamu.

Aku hanya menganggap kalau ancaman itu hanyalah sekedar ancaman. Ancaman itu dapat dimengerti karena semua orang pasti akan sangat marah dan kecewa kalau sahabatnya sendiri lah yang menjebloskan dirinya, begitu juga dengan diri mu, Pasti!


                                                ---OO---


Sama seperti waktu itu, aku keluar gedung dengan disambut puluhan wartawan yang bertanya-tanya tentang kelanjutan kasus pembunuhan ini.

Salah seorang wartawan bertanya, "Apa pendapat bapak setelah akhirnya pelaku di hukum penjara seumur hidup?"

Aku sedikit terkejut terhadap pertanyaan itu, tetapi berusaha ku tutup dengan tersenyum.

"Kalau saya sih senang-senang saja, karena itu sudah menjadi kewajiban saya untuk menegakkan keadilan." Jelas ku

"Kenapa anda senang? Bukankah yang menjadi pelakunya itu adalah sahabat anda sendiri?"

Aku kembali terkejut dan tersenyum, kali ini aku langsung menerobos untuk menuju motor ku. Aku berjalan sambil berkata, "Maaf, saya masih ada kerjaan lain. Maaf banget."


                                                  --OOO--

Sang Detektif  {Pembunuhan Di Kantor Media}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang