• Alvaro •

3.1K 104 0
                                    

Jadi chapter ini aku buat khusus untuk kalian, jadi maksudnya ini kaya selingan gitu. Disini kalian bakalan liat percakapan antara aku dan Alva (tokoh dalam cerita ini.)

So, check this out!

So, check this out!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Duduk."

Alva pun langsung duduk di bangku tepat di depan aku. Lalu dia menatapku dengan tatapan tajamnya.

"Ck, eh biasa aja kali natap guenya."

Takutnya kalo dia terus menatap ku seperti itu, nanti malah aku yang suka sama Alva. Itukan bahaya, BAHAYA! Nanti aku malah digampar pake sendal yang ada pakunya sama Andrea.

"Cepetan elah, ini gue mau jalan sama Andrea." Alva berdecak kesal.

"Yaelah, songong banget lo! Disini gue cuma mau nanya sama lo, nggak banyak pertanyaan-nya. Cuma tiga doang."

Kok lama-lama Alva jadi sangat menyebalkan seperti Vino. Sabar..
Kalau seperti ini terus nanti bisa-bisa author bisa gila. Gila karena ketampanan Alva. Huaaaa!

Gak deng. Lanjut!

Alva memperbaiki rambutnya menggunakan tanganya. "Cepetan ye. Ntar ayang beb gue nunggunya kelamaan."

"Ya Allah iya. Lo ribet banget sih, inget ye kalo lo kebanyakan bacot, lo bakalan gue pecat dari pemeran Alva. Dan, pemeran utamanya diganti sama Vino. Mau lo?" Ancamku.

Alva menggeleng cepat. "Ya jangan lah!"

"Makanya, yang buat lo juga gue. Yang buat Andrea juga gue kali. Udah, mending lo duduk manis dan dengerin pertanyaan gue trus lo jawab."

Aku pun membuka catatan yang terdapat beberapa pertanyaan yang sudah kusiapkan untuk Alva.

"Pertanyaan yang pertama adalah, kenapa lo bisa ganteng banget- eh salah, maksud gue kenapa lo betah temenan sama dua anak ayam itu. Alias iqbal sama David?"

Alva memutar bola matanya malas. "Gak tau, kan lo yang bikin ceritanya. Mungkin karena gue kena kutukan, jadi bisa temenan sama dua anak ayam itu." Jawab Alva.

Oke sip, Alva membuatku kesal setengah mati. Kenapa aku jadi menyesal membuat tokoh sepertinya?

Sepertinya aku harus menahan sabar sampai sesi ini berakhir. Aku mencatat jawabanya di buku catatan itu lalu kembali melihat Alva.

"Pertanyaan kedua. Apa hal yang paling lo suka?"

Alva tampak berpikir. "Keluarga gue, temen-temen gue, warna merah, apel merah, dan yang terakhir, Andrea."

Aku pun mencatat lagi apa yang dikatakan Alva. Sudah kuduga bahwa dia akan mengatakan nama Andrea nantinya.

"Yang terakhir. Apa yang buat lo suka sama Andrea?"

Alva tersenyum manis. Semanis rasa cintaku kepada Cameron dallas. Eakk!

"Gue ga bisa ngasih tau alasanya, karena kalo gue kasitau, sesi ini bakalan nggak abis-abis sampe 10 abad. Jadi, intinya gue suka dan cinta sama Andrea." Ucapnya yakin.

Setelah mencatat lagi, aku pun mendongak ke arahnya. "Oke selesai, jadi ada yang mau lo bilang sama gue sebelum gue pergi?" Tanyaku.

"Ada. Gue cuma mau bilang nanti endingnya happy aja. Gue gak mau pisah sama bebeb gue."

"Alah lebay lo pinguin afrika. Gak tau ya, liat aja nanti. Tapi gue maunya bikin lo mati aja gimana?" Aku menantangnya.

Dia pun menggeleng. "Jangan lah Kak Cit, jahat banget sama gue. Masa gue dibikin meninggal di cerita ini. Trus nanti Andrea ama siapa?"

"Andreanya gak usah sama siapa-siapa. Dia gue simpen aja,"

Alva berdecak. "Kak Citra makin lama makin jahat nih sama gue. Ah elah, nggak asik mah kalo gitu."

"Bodoamat. Udah mending lo pergi deh sana. Ketemu sama ayang beb lo."

Dia menepuk jidatnya. "Astaga iya gue lupa. Kalo gitu gue pergi dulu yaa. Eh nanti bikinin Andrea part kaya gini."

"Iya-iya, buset dah cerewet banget lo."

Alva pun pergi dari tempat tadi, dan aku pun menyusul dan keluar dari sana.

***

ANVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang