"Ketika aku ragu, kaulah yang mampu meyakiniku.
Ketika aku jatuh, kaulah penyemangatku.
Tapi ketika teduh, kenapa kau pulalah penyulut api dalam dadaku?"☆☆☆
Bel pulang sudah berbunyi beberapa saat lalu. Tapi di sekolah masih terlihat ramai sekali.
Beberapa siswa dan siswi sudah berbaris tak rapi di pinggir lapangan volley. Mereka sedang menunggu mobil bus yang akan mengangkut mereka ke sekolah lain, untuk menonton sekaligus memberi dukungan pada teman mereka yang hari ini mengikuti lomba futsal antar sekolah.
Jingga juga berdiri di sana, di antara mereka. Memang tidak semua murid ikut, tapi kemungkinan satu bus akan penuh dengan mereka. Jingga mengecek layar ponselnya beberapa kali memastikan seseorang di sebrang sana membalas chat-nya. Namun sampai bus datang, orang itu tak kunjung membalas, membuat Jingga kesal sampai ubun-ubun.
Akhirnya gadis itu menekan tombol call yang tertera di layar ponselnya sambil berusaha naik ke dalam bus dengan berdesakan.
"Lo di mana sih? Busnya udah datang ni, buruan!" Celoteh Jingga.
"Gue udah di deket busnya kok, lo booking-in tempat duduk buat gue dulu ya," Seru Frida dari seberang sana.
"Lagian lo ke toilet lama banget, abis buang air atau abis semedi sih lo," gerutu Jingga sambil menempelkan bokongnya pada kursi yang kosong di dalam bus.
"Hehe maap, gue kebanyakan makan sambel kayanya pas istirahat, eh gue udah naik bus ni,"
Jingga mencari sosok manusia berjenis kelamin perempuan dengan rambut curly-nya yang dia kuncir satu. Jingga melambaikan tangan pada Frida yang celingukkan dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Setelah melihat keberadaan Jingga di kursi tengah bus, Frida memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan mengahmpiri gadis itu lalu duduk di sebelahnya.
Frida tersenyum memamerkan giginya yang di pagar kawat itu pada Jingga yang sudah duduk di dekat jendela. Jingga memutar bola matanya malas.
"Cabe tuh nyelip di gigi, malu-malu in," ledek Jingga berbohong, padahal tidak ada cabe nyelip di sana.
Dengan panik Frida merogoh tasnya, mengeluarkan kaca kecil dari sana dan segera berkaca melihat pantulan giginya. Frida merengut, bibirnya maju lima senti lebih panjang dari biasanya. Dia kesal karena dibohongi oleh Jingga yang kini hanya terkekeh kecil sambil melengos melihat ke luar jendela.
***
Pinggir lapangan futsal sudah dipenuhi siswa-siswi pendukung sekolah masing-masing. Jingga salah satunya. Dia bergabung dengan teman-teman satu sekolahnya. Gadis itu mencoba lebih maju agar mencapai depan dan dapat dengan leluasa melihat permainan futsal.
Para pemain keluar dari ruangan lalu berdiri di tengah lapangan. Membuat suara gemuruh seantero lapangan. Sorak-sorai mendukung tim jagoan masing-masing terdengar amat riuh.
Jingga memfokuskan matanya pada Biru yang sudah berada di sana, memakai jersey berwarna navy kepunyaan sekolahnya. Pandangan Jingga terkunci tepat di bagian bawah laki-laki itu. Sepatu bola berwarna hitam dengan garis putih yang melekat pada kaki Biru.
Jingga tersenyum. Ada rasa senang menjalar pada hatinya. Melihat Biru yang ternyata masih mau memakai sepatu pemberiannya. Padahal sebelumnya Jingga berpikir Biru tidak akan mau menerima hadiah darinya, apalagi sampai memakainya. Tapi ternyata pemandangan di depannya tampak nyata. Jingga menepuk pipinya sendiri cukup keras, takut kalau pemandangan di depannya hanyalah sebuah ilusi. Namun ternyata rasa sakit terasa pada pipinya. Itu artinya dia sedang tidak bermimpi ataupun berhalusinasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Warni Rasa (TERBIT)
Teen Fiction#Teenlit1# SEBAGIAN PART DIUNPUBLISH KARENA SUDAH TERBIT!! Highest Rank #1 in Teenagers (21-08-2018) Rank #72 in Teenlit Rank #194 in Teenfiction (21-08-2018) Rank #338 in Teenlit Rasa itu warna. Harus seperti putih yang suci. Atau seperti hijau yan...