Anak Tangga!

20 3 0
                                    

Aku masih disini, menunggu sang pemberi janji sedari pagi.

Ponsel yang selalu menyala tanpa nada ini selalu setia berada dalam genggaman erat dan selalu aku jaga.

Aku mengintip sebuah kotak berwarna abu tua tanpa pita, tanpa corak yang berada dalam rengkuh pangkuan, tetaplah kau baik-baik saja disana.

Bukan kali pertama aku diharuskan untuk menunggu seorang manusia, apalagi ‘dia!’.

Salah satu orang yang selalu membuat semua akan indah dengan semestinya, walau rapuh, akan selalu utuh termakan waktu yang ada.

“Rheya” akhirnya dia datang juga.

Aku mengangkat kepalaku ketika sepasang sepatu berwarna coklat muda dengan garis putih sebagai corak di sampinya.

Senyum ku merekah kala dia benar-benar nyata.

Tas punggung yang beberapa bulan lalu berwarna hitam kusam kini berganti menjadi hitam menyala seolah berteriak ceria pada dunia, heyy!!! Aku baru lohhh.. telapak tangannya hangat menyentuh penutup kepala –kupluk- ku yang terbuat dari benang rajut pemberiannya.

“udah lama?” mata hujan itu bercahaya tanpa sedikit tanda akan meredup tiba-tiba.

Manusia dengan mata minimalis ini selalu dapat ku temukan alasan bagaimana sinar cahaya akan tercipta.

Aku hanya menggeleng sembari tersenyum penuh menubruk cahaya matanya.

Aku berdiri dua jengkal lebih tinggi karena aku berada di anak tangga kedua dan dia berada pada lantai dasar menghadap ku saja.

Menyerahkan sebuah kotak yang kujaga hati-hati sebelumnya kepada makhluk terindah ciptaan-Nya.

Satu alis matanya yang tebal merata itu mulai terangkat sebelah dengan air muka lucu penuh tanya.

Ulasku merekah dengan kedipan yang aku buat-buat untuk meluluhkan hatinya.

Benar saja, dia menerima uluran tanganku dengan mengambil kotak yang sedari berlindung manis dalam rengkuhanku.

Tidak hanya sekali juga aku melakukannya, seperti kebiasaan yang telah tercipta lama.

Bukannya segera kembali duduk dan membuka atau sekedar mengintip isi kotak itu, tapi dia malah menyimpannya dalam tas punggungnya dan dengan ringan merengkuh bahuku dari sebelah kiri dan mulai melangkah untuk menuju kantin yang tak jauh berada di lorong ujung ruangan gedung utama.

Kursi biru muda yang berhadapan ini seolah menjadi hak milik kursi kami berdua.

Mau jam berapapun, kapanpun kami memasuki area kantin ini -selama kurang lebih hampir tiga tahun ini- kursi ini tengah kosong sebelumnya.

Sedikit jauh dari keramaian lalu-lalang kegiatan mahasiswa, dan berhadapan langsung dengan danau buatan adalah tempat yang selalu tenang untuk kami bertukar cerita.

Bukan hanya masalah setumpuk berkas yang telah bertanda deadline tugas, ataupun komentar-komentar pedas seorang dosen kepada mahasiswanya, apapun akan menjadi topik pembicaraan kami sepenuhnya.

Untuk pertama kalinya.

Dia menghentikan aktivitas mengunyahnya dan menatap aku dengan nada tanpa diduga.

Tentang MimpikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang