17. Penghianat

212 16 8
                                    

Hari minggu ini saatnya aku mengunjungi Alaska, aku kesana dengan Axel, dan yang pasti secara diam diam.

Axel datang dengan mobilnya, kali ini ia membawa mobil sendiri tidak bersama sopir pribadinya. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk menikmati perjalanan.

“Eh lo kenapa jarang masuk sekarang?” tanyaku di sela sela mengunyah makanan ringan yang dibawa Axel untukku.

Ia menghela nafas lalu tersenyum dan menatapku.

“Lo gak tau gue mau pindah ke Jerman?”

Aku langsung tersedak mendengar kalimat itu, Axel mau pindah? Tapi kenapa?

“Ayah gue mau berobat ke Jerman, supaya sembuh, gue kasihan Sev. Ayah pasti pengen banget hidup normal dan kumpul sama anak anaknya. Gue rela pergi dari kehidupan ayah seandainya Arsa dan Iffana mau tinggal sama ayah.” jawab Axel membuatku tak bisa berkata kata, mata nanarku menatap jalan raya yang penuh dengan rintikan hujan.

“Gue disana cuma 2 tahun Sev, gue bakalan balik, kita kan masih bisa video call.” kurasakan tangannya menyentuh pundakku.

2 tahun itu cuma? Cuma?

“Xel, jangan lupain gue.” aku menatapnya dan merengek. Dia tertawa.

“Mana bisa?” ia malah balik tanya.

Axel mau pindah ke Jerman? Dia akan meninggalkan semuanya, bukan hanya meninggalkan aku, tapi dia juga meninggalkan sekolah yang sangat membutuhkannya. karena saat Axel menjadi pemimpin, program sekolah semuanya berjalan dengan lancar karena Axel yang rajin dan bertanggung jawab atas organisasi.

Aku tahu bagaimana rasanya jadi Alaska saat disuruh menjauh dari Axel, mana bisa? Axel memang tidak punya selera humor, tapi entah mengapa jika ada di dekatnya akan merasa aman dan nyaman. Keduanya memang punya kelebihan masing masing.

Tak lama kemudian kami sampai di rumah Alaska, dengan lancang Axel langsung membuka gerbang. Rumah nampak sepi, biasanya ada tukang kebun atau pembantunya Alaska yang menyiram bunga di halaman depan ruma,. Tapi ini tidak ada yang menyambut.

Aku dan Axel berjalan menuju taman belakang rumah. Dan benar saja, ada Alaska yang sedang duduk di kursi rondanya, dengan seseorang yang membuat jantungku seakan melompat keluar. Kakiku terasa bergetar dan lemas saat mengetahui ada Arsa yang sedang berlutut di depan Alaska dan menenggelamkan wajahnya di pangkuan Alaska. Dan kurasa Axel pun merasakan hal yang sama denganku.

Samar samar terdengar isakan tangis dari Alaska. Lalu aku terkejut saat Axel menarik tanganku untuk mendekat ke mereka. Aku menahannya, tapi Axel menatapku dengan tatapan pasrah dan berkaca kaca. Mungkin ini semua sudah waktunya, Arsa harus mengetahui semuanya.

Tapi aku sama sekali belum siap kehilangan Arsa, sama sekali dan tidak akan pernah siap. Terngiang ngiang perkataan Arsa yang hanya melarangku untuk bertemu Axel.

Kami tiga langkah di depan Alaska, dan Arsa masih membelakangi kami.

“Juan.” panggil Axel, dan perlahan Arsa mengangkat wajahnya dari pangkuan Alaska. Aku sudah tak tahu lagi apa yang akan terjadi. Aku hanya pasrah dengan apa yang akan Arsa lakukan.  Arsa menoleh ke arah kami berdua.

Itu bukan wajah Arsa, bukan wajah ceria Arsa yang kulihat saat kami merapikan barang barang untuk disumbangkan, tapi yang kulihat kali ini adalah wajah murung, dan seolah senua kesedihan di dalam hidupnya ia tumpahkan ke ekspresi wajahnya saat ini. Arsa yang kukenal tidak pernah memiliki wajah se sedih dan se putus asa itu.

Ia berdiri dan merapikan jaketnya, melirikku sekilas. Dan seperti biasa, ekpresinya sama sekali tidak bisa dibaca.

“Skenario siapa ini?” tanya Arsa dengan alis yang terangkat dan senyum hanya di satu sisi bibirnya.

MedicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang