19. I'm done with him

58 6 0
                                    

Aku mendengar ponselku berdering. Aku segera bergegas dari meja belajar ke kasur. Membuka pesan singkat itu.

“Kak, bisa kerumah nggak? Kak Arsa sakit.”

Aku menghela nafas melihat pesan tersebut. Pesan itu dari Iffana, dan aku tahu, aku sangat  tahu kalau Arsa sekarang sedang sakit.  Sebenarnya Pram sudah bilang tadi pagi, katanya Arsa semalam tidak pergi ke makam ibunya karena sakit.

Aku berfikir sejenak, aku ingin sekali ke rumahnya  sekarang. Aku ingin sekali melihat keadaan Arsa yang sedang sakit, biasanya aku melihat dia selalu kuat dan gila, aku ingin lihat ekspresi wajahnya ketika lemah dan sakit. Tapi aku sadar, aku dan Arsa tidak sedang baik baik saja.

Tapi akhirnya aku memutuskan untuk pergi kesana bersama Pram, nanti jam 8 malam.

***

Aku berdiri di ruang tamu rumah Arsa yang besar itu, rumah Arsa terlihat sepi karena kakeknya sedang keluar kota. Dan tiba tiba Iffana datang, tersenyum khas nya, senyum manis dengan gigi gingsul. Iffana menunjukan sebuah tulisan "Kak Arsa ada di kamarnya, kakak masuk aja."

Aku berjalan menaiki tangga bersama Pram, dan saat sudah berada di depan kamar Arsa, kamar yang kata dia mau ditiduri nanti saat sudah menikah.

“Lo masuk aja Sev, gue tunggu disini. Kalau ada apa apa gue masuk kok.” ucap Pram.

Saat aku membuka pintu, terlihat Arsa sedang berdiri menghadap dinding kaca. Aku memberanikan diri untuk melangkah masuk. Arsa menoleh ke arahku, dan matanya tepat mendarat di tatapan mataku juga. Aku mendekat, dan dia langsung duduk di sofa, menopangkan kakinya. Matanya menyuruhku duduk di sofa sampingnya, wangi parfumnya sudah menyerbak di ruangan yang dingin ini. Aku sangat merindukan Arsa.

Aku masuk dan berdiri mendekat. tanpa ada perintah, aku langsung duduk disampingnya, aku masih menatap wajah datarnya, lalu ia menggeser posisinya menjauhiku. Dan sekarang, aku tidak tahu harus mulai darimana untuk menjelaskan ini semua. Dilihat dari wajahnya, ini bukan Arsa yang biasa kulihat, bukan Arsa yang celana nya hanyut saat renang.

“Kak,” panggilku. Dia masih saja tak bergeming, matanya menatap tulisan di tembok. Tulisan yang objeknya masih kosong, dan aku ingin sekali namaku nanti ada disana.

“Mau apa?” tanyanya.

“Aku minta maaf kak.”

“Aku maafin kamu, sekarang keluar!” dia berdiri, tangannya mempersilahkan aku keluar dengan sopan namun wajahnya mengusirku secara tidak halus.

Aku menghela nafas dan masih dalam posisi duduk. Berfikir keras aku harus bagaimana supaya Arsa mau sedikit mendengarkan semua penjelasanku. Dan rasanya aku tertiban lukisan besar yang dipajang di tembok, supaya Arsa refleks menarikku, atau Arsa justru bersyukur aku tertimpa.

“Kak, terserah kakak mau memandang aku sebagai siapa disini, tapi tolong kak. Kakak gak bisa egois kayak gini. Semua orang berhak deket sama siapapun, dan oke lah kalau aku emang melanggar janji, tapi Alaska? Kakak yang ninggalin Alaska disaat semuanya udah ancur, kakak lari dari masalah yang kakak buat.” akhirnya kata kata itu keluar lepas dari mulutku, ekspresi Arsa langsung berubah, dari datar dan dingin menjadi marah dan menggebu. Dia berjalan mendekat, lalu aku mundur selangkah.

“Yang diamputasi itu kaki Alaska, bukan kaki gue, lo, atau Axel. Dan satu lagi, lo gak ada hak sama sekali buat ikut campur sampai sejauh ini.”

“Oh… ini ternyata Iblisnya Arsa?" Air mataku jatuh, menetes ke pipi. Dan sedetik kemudian tamparan melayang ke pipiku. Jantungku terasa berhenti saat aku menyadari bahwa Arsa baru saja menamparku. Aku menyentuh pipiku yang sudah terasa panas dan sakit, menatap Arsa dengan wajah marahnya.

Ini pertama kalinya aku ditampar orang. Orang tuaku, yang membesarkan aku selama ini pun tidak pernah memperlakukan itu kepadaku. Aku masih terpaku, dilihat dari matanya, Arsa sama sekali tidak menyesal melakukan itu kepadaku.

Aku berbalik dan langsung berjalan setengah lari ke arah pintu. Dan kudengar Arsa mengejar, dan yang pasti bukan untuk 'minta maaf' karena Arsa pantang sekali meminta maaf kepada orang, sekalipun ia yang salah. Bahuku dicengkram oleh Arsa saat aku ingin membuka pintu.

Tubuhku didorong kebelakang sampai menyentuh tembok. Dihadapanku tepat ada wajahnya. Tangannya beralih ke daguku, aku tidak dapat bergerak. Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku hanya bisa berteriak memanggil Pram yang ada diluar. Aku mendengar desak nafasnya marah dan sesak. Matanya menerawang sampai seolah ia tahu apa yang ‘’n.

“Lo ngehianatin gue Sev, lo harus terima akibatnya.” tangannya menyelipkan rambutku ke telinga, Arsa pernah melakukan hal yang sama seperti itu, tapi kali ini sangat menyeramkan.

Aku tak henti hentinya berontak dari genggaman Arsa.

Pintu langsung terbuka secara tiba tiba. Pram masuk dan langsung menghantam wajah Arsa. Arsa langsung tersungkur ke kasur, dan bangkit lalu meninju Pram secara habis habisan.

“Sev keluar!” Pram melemparkan kunci mobilnya kepadaku. Aku tidak bisa meninggalkan Pram dalam keadaan seperti ini. Tapi rasanya tidak mungkin kalau aku membantu Pram dari kecaman setan itu.

Aku berlari menuruni tangga. Dan langsung masuk ke mobil milik Pram.  Aku langsung mengemudikannya dengan kecepatan tinggi. Namun aku menghentikan mobilku saat memasuki taman perumahan. Aku menangis mengingat perlakuan Arsa.

Aneh rasanya melihat Arsa seperti tadi. Itulah aslinya dia, selama ini hanya memperlihatkan kamuflase nya untuk bisa mendapatkanku supaya bisa membuat Axel sakit hati.

Drama yang dia berikan begitu indah, sampai sampai terlihat seperti nyata.

Apa selama ini Arsa bersamaku hanya semata mata untuk balas dendam? Menjadikanku alat untuk membalas rasa sakitnya terhadap apa yang dilakukan ayahnya Axel, dan ayahnya juga.
Tidak ada alasan cinta?

Cinta yang dia berikan itu palsu, tapi sakitnya nyata.

Akhirnya aku menghapus semua air mataku dan kembali menyetir sampai ke rumah.

Tiba tiba aku menerima pesan dari Pram. Katanya dia akan kerumah untuk mengambil mobilnya, aku jadi sangat merasa bersalah.

To be continue...

MedicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang