7. winner

157 14 0
                                    

Hari ini disekolahku ada pertandingan dari masing masing beladiri. Syukurlah, jadi hari ini aku sudah tidak usah repot repot menyiapkan alat alat untuk story telling bahasa Inggris tentang Beauty and the Beast. Hampir semua anak laki laki sudah memakai baju beladirinya masing masing, ada Ju jitsu, Taekwodo, Karate dan Silat.

Dan kulihat di dekat aula ada segerombol laki laki memakai baju putih dan satu yang memakai baju hitam.

Aku menghampiri mereka untuk mengantar Disa menemui Vito temannya Arsa. Semakin dekat terlihat jelas Arsa memakai baju Karate dan tidak memakai baju dalam serta sabuk coklat yang melingkar di pinggang.

"Eh Disa, udah minum susu?," tanya Arsa sambil senyum senyum menggoda Disa. Disa tak menggubrisnya dan terus mengobrol dengan Vito.

"Eh Sev, minggu depan kita kemana lagi nih?," tanya Arsa tiba tiba.

"Kemana aja." Jawabku asal.

"Ke Zimbabwe aja," sambar Ibra. Aku tertawa.

"Ke Little Bogor."

"Udah kecil ada little-nya ya."

Dan tiba tiba Pram datang dengan wajah lesu tak bersemangat. Ia duduk disamping Arsa.

"Gue lawan Axel." Katanya dengan nada tak bersemangat.

Arsa tersenyum simpul lalu merangkul bahu milik Pram.

"Lo takut sama anak ingusan kayak dia? Ini kesempatan Pram."

"Tendangan dia kuat banget Ar, mungkin kalo lo yang lawan dia lo menang Ar. Tapi gue?,"

"Justru dia itu gampang dikalahinnya. Cukup lo tendang kaki kanan-nya tiga kali juga mampus." Jawab Arsa sambil tertawa puas.

Aku menelan ludahku dengan susah payah, aura aura negatif berkumpul di sekitar kami. Dan kuyakin, Hari ini Axel akan dihabisi oleh Pram.

Dan beberapa jam kemudian mataku benar benar tak bisa lepas dari Axel yang di diberi tendangan bertubi dari Pram. Nafas mereka terengah engah, dan aku sudah tidak bisa lagi melihat Axel seperti itu.

Satu tendangan di kaki kanan yang kurasa sangat amat kuat itu langsung menumbangkan tubuhnya. Orang orang langsung berkerumun untuk membawa Axel ke tempat teduh.  Aku langsung berlari mendekat, PMR dan osis pun sibuk, aku berlutut di sampingnya yang mengerang kesakitan. Wajah putihnya berubah menjadi kemerahan. Pelatih Ju Jitsu datang menerobos kerumunan.

"Kaki saya kak." Ucap Axel dengan susah payah.

’"Iya ayo kita ke rumah sakit!"

***

Sepulang sekolah aku dan anggota MPK sepakat untuk menjenguk Axel yang dilarikan ke rumah sakit.

Hari ini sangatlah kacau, selama aku mengenalnya, belum pernah ia sampai seperti itu. Apalagi aku sering melihat Axel tanding, tapi tak pernah sampai KAO seperti itu.

Aku merasa hidupku benar benar berubah belakangan ini, berbeda beda setiap harinya.

Saat sudah sampai ruangan, aku melihat Axel terbaring dengan kaki kanan yang di Gips. Aku berdiri disampingnya, yang lainnya bertanya tanya kepada pelatih mengapa Axel sampai seperti ini.

"Kakinya patah, jadi untuk sementara Axel harus istirahat dulu." Jawab pelatihnya terdengar kecewe, anak kesayangannya terbaring tak berdaya.

Setelah banyak berbincang bincang, teman temanku memutuskan untuk pulang. Aku mengambil tasku di sofa, namun tiba tiba tangan yang ditusuk jarum infusan itu menggenggam tanganku, mencegahku untuk tidak pergi dari sampingnya.

"Sini aja, nanti diantar pulang kok." Ucapnya dengan nada lirih.

Akhirnya terpaksa aku duduk lagi disampingnya dan harus mendengar ocehan serta ejekkan anak MPK yang lainnya.

Kakak pelatih sedang pergi untuk memberi tahu keluarga Axel bahwa ia cedera.

Axel tersenyum kepadaku dengan wajahnya yang masih menahan rasa sakit.

"Kok bisa patah si Xel? Kan lo sering tanding kayak gitu."

"Dua menit hampir 20 tendangan ke arah tulang kering." Jawabnya singkat.

"Dulu gue pernah kecelakaan atau lebih tepatnya dicelakain. Dan kaki gue patah, jadi kaki kanan gue udah gak bisa normal kayak dulu. Dan tadi... dia patah hari ini." Jelasnya.

"Dicelakain?," tanyaku bingung.

"Pas gue kelas 9, pulang sekolah gue bawa motor. Dan pas dijalan, ada mobil Ferarri hitam menghantam gue. Dan gue koma lima hari."

Arga Sathya, ternyata Axel manusia yang membuatnya bahagia waktu itu, membuatnya bahagia karena ia tabrak sampai koma lima hari. Mataku nanar melihat wajah Axel, tangannya mulai mengusap rambutku. Dan air mataku jatuh tanpa bisa ditahan lagi.

"Jelasin ke gue kenapa Arsa selalu ngincer lo! Dendam sama lo! Apa sebabnya?," tanyaku sedikit menuntut.

"Kenapa lo harus tanya gue? Yang dendam kan Arsa, kenapa gue harus tau apa alasan dia dendam sama gue?, itu bukan urusan gue." Jawabnya.

"Tapi itu bahaya buat lo!." Suaraku mulai memenuhi ruangan yang sepi itu.

"Arsa gak pernah kasih tau gue, cara supaya dia berhenti untuk dendam. Jadi gue harus apa?,"

"Gue mau bantu lo." Aku merebahkan kepalaku ke dadanya, kudengar detak jantungnya yang berdegup kencang dan perlahan mulai tenang dan terbiasa.

"You cant do it honey, its too dangerous."

***

Keesokan harinya, aku mencari cari Iffana tapi tak pernah bertemu. Padahal aku ingin bertanya tanya seputar Arsa. Kata teman temannya, Iffana sedang ke Norwegia untuk mengurus sesuatu.

Saat sedang menaiki tangga, tiba tiba didepanku berdiri tegap seorang laki laki yang bajunya keluar dari celana. Aku merunduk lalu meneruskan jalan menuju kelas. Dia menahanku lagi dan aku menghela nafas lelah menghadapi manusia penyimpan dendam seperti dia.

"Lo marah?," tanya Arsa.

"Bukan urusan lo!." Aku menghempaskan tangannya yang menggenggam penggelangan tanganku. Matanya sedikit terbelalak melihatku seperti itu, apalagi aku menghilangan panggilan aku kamu kepadanya.

"Gue bisa jelasin, tapi_"

"Tapi gue gak perduli! Dan dendam lo itu bikin orang yang gue sayang menderita!." Potongku, jari telunjukku berdiri tepat di depan wajahnya yang sudah terlihat marah. Aku tak perduli dia mau berbuat seperti apa disini, yang jelas aku sudah tak bisa lagi menahan amarah untuknya. Serta semua perkataannya yang membuatku mati penasaran, karena setiap katanya seolah menyimpan jutaan rahasia.

"Axel?," nadanya lirih.

"Ya dia! Gue sayang dia." Kutegaskan.
"Semua yang lo lakukan ke Axel itu cuma pembalasan sampah!." Ucapku.

Dan seketika tanganku lansung ditarik ke dalam ruangan yang dulunya sekret Osis. Namun sekarang dibiarkan kosong. Punggungku sudah menempel ditembok karena ditahan oleh tangan kekarnya. Aku melihat wajahnya yang mungkin akan meledak ledak.

Ya tuhan lindungilah aku dari monster yang ingin memangsaku ini. Tubuhnya sudah sangat mendekat dan tak bisa dipungkiri aku ketakutan luar biasa.

"Beri tahu gue cara untuk berhenti memandang dia sebagai anak iblis." Bisiknya tepat di depan telingaku, membuat tubuhku menegang.

Aku mengatur nafasku agar tak terlihat ketakutan dan cemas.

"Gue gak tahu apa masalah kalian." Jawabku.

"So? Why do you said like that?,"

Aku hanya terdiam dan tak bisa menjawab.

"Lalu kenapa bisa kamu sebut dendam aku itu sampah. Padahal kamu nggak tau apa akar dari semua ini." Jari telunjuknya mengangkat daguku. Aku membuang muka tak ingin menatap wajahnya

To be continue...

MedicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang