12. pram

127 16 2
                                    

Sekitar sudah lebih dari satu jam aku menatap gaun merah yang sudah ku gantung di kapstok. Tanganku memegang selembar kertas yang ditulis dengan tulisan tangan Arsa

"Bilang ke ayah, ibu kamu. 'Bu makasih udah kasih saya kado terindah karna udah melahirkan putri secantik Sevia'."  

Aku tersenyum malu sekaligus kagum dengan Arsa. Arsa itu satu satunya laki laki yang aku pandang beda, dimana ada laki laki semacam Arsa? Tidak di cap bad boy tapi lebih menyeramkan dari psikopat, lebih manis dari apapun.

Arsa jarang sekali bicara. namun sekalinya bicara, kata kata yang keluar dari mulutnya sudah pasti bermakna, sudah pasti bisa membuat orang kepikiran.

Banyak sekali yang mau dengan Arsa, bahkan yang paling cantik sekalipun mau dengan Arsa. Arsa bisa saja mempacari banyak perempuan, tapi mengapa memilih aku? Adik kelas yang bahkan baru tau kalau dia cucu yang punya sekolah.

Mungkin jika orang lain yang menjadi pacarnya Arsa tidak percaya kalau dia adalah satu satunya perempuan yang menjadi pacarnya. Tapi entah bego atau polos, aku percaya 100% hanya ada aku di hatinya Arsa. Mungkin itu kepedean. Tapi di mataku Arsa beda.

Tiba tiba ada yang mengetuk pintu sehingga membuyarkan lamunanku tentang Arsa. Aku buru buru membuka, dan kulihat ayahku berdiri tegak di depan pintu. Hari ini pertama kali ayah pulang setelah 3 bulan di New York.

Ayah langsung masuk dan duduk di kasurku. Aku pun ikut duduk disampingnya tanpa berkata apa pun.

Ayah mengeluarkan handphone-nya. Jarinya menyentuh layar yang entah ingin membuka apa. Sampai pada akhirnya ayah berhenti pada foto aku dan Arsa ketika di puncak menghadap ke lautan lampu. Foto yang cukup bagus, namun bagaikan bencana untukku.

"Selama ayah pergi kerjaan kamu begini?" Tanya ayahku dengan nada datar. Aku langsung buru buru menunduk. Siapa yang mengirim foto seperti itu? Tapi sebelum aku menanyakannya, ayah sudah menjawab.

"Ayah tiba tiba dikirimin foto begini, ini maksudnya apa? Dia siapa?" Tanya ayah.

"Kak Arsa" jawabku singkat.

"Besok ayah kesekolah buat nemuin Arsa." Ayah bangkit dari tempat duduknya, lalu keluar kamar dan langsung mengunci pintu.

Aku tidak mengetuk ngetuk atau berteriak untuk meminta keluar. Aku langsung menenggelamkan wajahku ke bantal dan menangis sejadi jadinya.

Tiba tiba handphoneku berbunyi ketika sudah sekitar satu jam aku menangis.

"Sev?"

"Iya kak"

"Nangis kenapa?"

Beginilah Arsa, tanpa banyak tanya dan bertele tele dia langsung mengerti.

"Ayah dapet foto kita berdua yang di puncak kak, ayah marah."

"Oh"

Jawabnya singkat dan seketika hening disebrang sana.

"Kak?"

"Kamu tidur jangan malam malam."

"Besok ayah katanya mau nemuin kakak disekolah."

"Tenang sayang."

Arsa memutuskan panggilannya.

***

Dipagi hari yang sama sekali tak memberi semangat ini aku tetap memaksakan berjalan untuk ke kelas. Saat aku masuk ke kelas, ada Disa yang sedang piket, dan aku baru ingat bahwa hari ini aku juga piket.

"Dis gue piket ngapain nih?" Tanyaku.

"Nyapu aja, ambil di gudang Sev. Sapu kelas ilang kayaknya." Kata Disa. Tanpa banyak pikir, aku langsung berjalan keluar kelas menuju gudang belakang sekolah.

Aku berjalan menyusuri koridor yang masih sepi, kantin pun masih sangat sepi.

Aku hampir sampai ke gudang, dan betapa terkejutnya aku melihat seseorang yang sedang diikat di pohon mangga dekat gudang yang terkenal angker itu. Tubuhnya terduduk lemas dengan perut yang dililit tali, dan tangan yang diikat tambang. Aku mendekati orang tersebut, dan setelah aku amati ternyata Pram yang sedang tertidur sambil meringis. Wajahnya lebam dengan darah di sudut bibirnya. Kaos putih polosnya pun kotor.

Aku buru buru melepaskan tambang yang mengikat tubuh Pram. Dia sedikit terusik dan bangun, lalu terkejut melihatku ada di depannya.

"Kak! kakak kenapa disini? Kakak kenapa?" Aku memburunya dengan pertanyaan sambil menyentuh wajahnya yang sudah lebam semua. Namun Pram tak menjawab.

Aku mendengar suara sepatu berjalan mendekat di belakangku, aku menoleh kebelakang. Dan kulihat Arsa berdiri dengan jas hitam. Mungkin itu jas yang ia pakai di acara semalam. Otak-ku mulai berfikir negatif tentang Arsa, aku yakin ini ulahnya.

"Namanya juga anak cowok Sev." Ucapnya tanpa dosa.

Aku mendekat ke dia, dan langsung aku tampar wajahnya. Ekspresinya biasa saja, seolah tak berefek apa apa pada wajahnya itu setelah mendapat tamparan dariku.

"Kak! Kakak kenapa gini sih? Aku capek kak liat kakak berantem, apalagi ini udah kriminal banget!." Aku menahan diri untuk tidak menangis, Arsa diam.

"Maaf Sev, sehabis ini mungkin kamu gak akan liat lagi aku berantem di sekolah. Kamu gak akan capek lagi." Sahutnya.

Dan tiba tiba ada satu polisi dan guru kesiswaan sekolah kami. Arsa tidak terkejut sedikitpun, dia menatap kedua orang menyeramkan itu dengan santai.

"Kalian bertiga ikut kami ke kantor polisi." Ucap pak polisi dengan tegas. Aku terkejut setengah mati mendengar kalimat itu.

"Berdua pak, dia gak terlibat." Jawab Arsa.

"Jangan bohong kamu!"

"Saya aja gak kenal dia siapa." Jawab Arsa. Aku tau dia melindungiku, tapi kalimatnya susah dicerna oleh hati.

Aku melihat mereka berdua dibawa polisi, dan sebelum benar benar meninggalkan gudang, Arsa menoleh kebelakang dan tersenyum hangat. Seolah disenyumnya ada pesan untuk tidak perlu cemas, semua akan baik baik saja, dan sebagainya. Tapi aku tidak membalas senyumannya, aku hanya mengeluarkan air mata.

Aku mendekati pohon tempat Pram diikat. Aku melihat dasi berwarna silver yang tadi dipakai untuk mengikat tangan Pram. Aku mengambilnya, aku yakin ini milik Arsa.

To be continue...

[A/N : sebenerjya ini cerita udah mau ending di draft aku. Cuma kalo liat dari readersnya ini cerita tuh kurang laku gituh, jadi kalau kalian minta lanjut aku bakalan update, tapi kalau enggak. Mungkin cuma sampai disini aja. Komen yaaahhhhhhh]

MedicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang