Satu

113 9 6
                                    

Pagi ini di SMA Pelita Harapan dihebohkan dengan masuknya mobil BMW biru ke pekarangan sekolah. Hal ini dikarenakan mobil sport itu memasuki sekolah dengan klakson yang berbunyi nyaring.

Tak lama keluarlah seorang laki-laki.   Ketika ia baru saja menginjakkan kakinya disekolah itu, teriakan histeris serta tatapan memuja para siswi langsung menyambutnya.

Si laki-laki pun bergegas memakai earphonenya dan berjalan santai menuju ruang kepala sekolah tanpa mempedulikan teriakan siswi dibelakangnya.

~○~

Gadis dengan earphone kesayangan dan tatapan dingin andalannya berjalan santai menyusuri lorong sekolah. Ia merasakan ada yang aneh dengan keadaan sekolahnya pagi ini.

Bagaimana tidak? Ketika ia turun dari mobil kesayangannya, seluruh telinganya mendadak tuli. Tak jauh dari lokasi ia memarkirkan mobilnya, terlihat gerombolan para siswi yang berteriak histeris.

Sungguh, ia tak habis pikir seperti apa telinganya nanti jika ia tak segera memakai earphonenya itu. Keanehan bukan terjadi sampai sana saja, bahkan dilorong sekolahnya tak terlihat seorang siswi. Pengecualian bagi dirinya.

Aneh. Batinnya merasakan situasi yang tak biasa ini.

"Hai Ana!" Merasakan tepukan dibahunya ia segera menghentikan langkahnya dan menatap si pemilik suara.

"Kenapa?"

Merasa seperti ditanya. Gadis itu segera melihat sekitar lorong.

Dia nanya sama gue? Batinnya.

Merasa mengerti apa yang terjadi gadis yang dipanggil Ana pun segera menjawab.

"Iya."

Jawabannya justru membuat sang gadis dihadapannya itu semakin bingung.

Satu detik..

Dua detik..

Tiga detik..

Merasa sia-sia, Ana segera melanjutkan langkahnya. Melihat Ana kembali melangkah, gadis itu pun mengikuti Ana. Ia baru tersadar apa yang Ana maksud pertanyaan Ana tadi.

"Baru sadar An. Hehe.." ucap si gadis "tadi ada anak baru, makanya parkiran rame. Nah, sekarang si anak baru itu lagi di ruang kepsek. Anak cewek yang lain ngikutin dia. Makanya populasi cewek dilorong jadi tipis. Pindah ke ruang kepsek soalnya." Jelas gadis itu panjang lebar.

Mendengar yang dikatakan sahabatnya itu, membuatnya merasa malu menjadi seorang perempuan.

Haruskah serendah itu? Batinnya tersenyum pahit.

"Rendah banget ya An? Gue jadi malu sebagai cewek." Seolah sepemikiran dengan Ana, gadis yang ia sebut sahabatnya itu menyuarakan batinnya. Mendengar itu Ana hanya mengangguk setuju.

Ana tak mempunyai siapapun lagi yang mengerti dirinya. Hanya satu orang yang dia punya. Sahabatnya satu-satunya, Adrina Ferdinand.

Tak heran Ana sangat menyayangi sahabatnya itu. Ia telah bersama Ana sejak kecil, itu membuat Ana sedikit merasa berguna.

Tak hanya itu, bahkan hanya Rina orang yang tahan dengan sikap dingin Ana. Dulu, Ana sempat bertanya-tanya. Mengapa Rina memilihnya sebagai sahabat? Rina anak yang periang, ceria, cantik dan pintar. Ia bisa mendapat sahabat yang lebih baik dari Ana.

Mereka sepemikiran. Seakan tahu apa yang dipikirkan Ana, Rina selalu menjawab sendiri pertanyaan yang Ana tanyakan pada batinnya.

"Gue milih lo An, bukan karena hal apapun, lagian gak semua orang persis baik seperti yang kita lihat diluarnya bukan? Dan walaupun lo dingin ke gue, gue tau kok. Lo sayang gue. Begitupun sebaliknya."

Hanya pengakuan itu yang membuat Ana hingga sekarang bertahan untuk terus menjalani hidupnya yang sangat sangat datar ini.

Sesampainya mereka dikelas, Ana dan Rina segera menunju kursi mereka. Keduanya duduk bersama dikursi paling pojok belakang.

Kring... kring... kring...

Tak lama setelah bel masuk sekolah berbunyi, wali kelas mereka segera memasuki kelas.

"Selamat pagi anak-anak" sapa guru didepan kelas itu.

"Selamat pagi Bu Siti" jawab para murid serentak. Pengecualian bagi Ana. Ia sama sekali tak berminat menjawab sapaan gurunya itu.

"Anak-anak, kita kedatangan murid baru pagi ini." Ucap Bu Siti "silahkan masuk Fa."

Tak lama murid baru itu masuk, suasana kelas yang tadinya hening dan damai. Berubah menjadi seperti pasar. Hal itu sangat mengganggu bagi seorang Dariana Wijaya. Ia sungguh membenci suasana kelas yang ramai.

Cuma gara-gara murid baru kelas ini jadi seribut pasar? Ck. Batinnya berdecak. Ia segera memasang earphone kesayangannya ditelinga.

Ana menatap si anak baru yang berdiri didepan kelasnya itu dengan tatapan dingin dan membunuh. Ia benci orang yang telah mengganggu ketenangannya.

Cowok? Sok dingin. Bentar lagi juga keluar sifat aslinya. Kayaknya gue emang gak bisa gak benci ke cowok. Melihat sang murid baru yang menatap dingin kearah murid perempuan yang histeris karenanya, membuat Ana malas. Ia segera mengambil novel kesayangannya dari tas dan membacanya.

"Sudah-sudah! Biarkan dia memperkenalkan namanya dulu!" Perintah Bu Siti "silahkan Fa"

"Nama gue Daffa Ardwinata. Gue pindahan dari SMA Tunas Bangsa." Ucapnya dingin. Namun, matanya menjelajah hingga menemukan seorang gadis yang sama sekali tidak menatapnya. Bahkan gadis itu tidak mendengarnya.

Pesona gue ditolak nih? Baru masuk udah dikasih mainan aja. Temennya ngeliat ke gue. Walau gak histeris, tapi kayaknya cewek disampingnya lebih asik gue jadiin mainan. Batin Daffa menyeringai. Ia sudah mendapatkan mainannya. Ia tak akan melepaskan mainan itu hingga berhasil merusaknya.

"Baiklah Daffa, silahkan duduk dibangku kosong sebelah sana, didepan Ana."

"Terimakasih Bu." Balasnya dingin dan segera melangkahkan kakinya ke kursi yang wali kelasnya itu maksud.

Ternyata namanya Ana? Hmm.. cukup menarik. Ini bakalan seru An, ikutin permainan gue ya..

~○~

Hai, ini cerita pertama aku. Semoga kalian suka ya. Maklum kalo banyak typonya. Hehe...

FLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang