"Kenapa semuanya harus kayak gini?" Ucap seorang perempuan kepada temannya yang berada disampingnya.
Temannya yang ditanyaipun tak kunjung menjawab. Hal itu membuat perempuan yang bertanya padanya menjadi semakin hampa dan sendiri. Air mata mulai mengalir dipipinya. Ia menangis dalam diam. Sama sekali tak terdengar isakan darinya.
"Jujur An, gue bingung mau jawab apa. Yah, lu tau lah alasannya kenapa." Ucapan temannya itu menyadarkannya.
Tak seharusnya Ana bergantung pada seseorang didunia ini. Ia harus mendengarkan ibunya. Ana sendirian, sampai kapan pun tetap sendirian. Tidak ada yang bisa menerimanya dengan tulus dan ia tak pantas mengharapkan ketulusan.
Ana sudah memutuskan semuanya. Ia tau ucapan ibunya sangatlah benar. Ia akan mematuhi ucapan sang ibu.
Ana bangkit dari duduknya. Ia segera berjalan masuk ke area rumah dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Melihat Ana yang segera pergi dengan cepat tanpa bicara. Hal itu membuat Rina panik. Dipikirannya sudah banyak hal negatif bermunculan. Akan tetapi, hal itu ia tepis jauh-jauh. Perempuan itu segera berlari menyusul Ana.
Sesampainya didepan kamar Ana, pintu kamar itu tertutup. Kepanikan Rina semakin menjadi-jadi.
"An! Anaa! Denger gue kan lo? An! Buka pintunya! Gue minta maaf An. Pleasee... jangan gini. An, gue mulai berpikiran negatif An. Cegah gue, biasanya lo yang selalu ngilangin pikiran negatif gue. Sekarang, kenapa lo ngejauh? Nutup diri kayak gini. Buka An! Buka!"
Rina terus menggedor pintu dengan keras. Ia sangat ketakutan sekarang. Ana tak menjawab semua perkataannya.
Prang
Bruk
Mendengar suara didalam kamar Ana, membuat Rina begitu histeris. Bahkan penampilannya sudah tak terbentuk lagi sekarang. Rina semakin geram. Ia memutar kenop pintu kamar Ana.
Gak dikunci? Batin Rina menyesal.
Seharusnya jika tahu itu tidak dikunci, ia langsung memasuki kamar itu.
Betapa terkejutnya Rina melihat pemandangan yang ia saksikan sendiri dimatanya itu.
"ANA!"
Rina menghampiri Ana, memangku Ana dipahanya. Melihat kondisi Ana sekarang membuat Rina menitikan air matanya. Bagaimana tidak? Ana tergeletak tak sadarkan diri dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan banyak darah.
Kamar Ana tak terbentuk lagi. Lebih berantakan dari kapal pecah. Terlihat pecahan kaca dengan darah disisi sampingnya, tak jauh dari posisi Rina dan Ana.
"Dia pasti nyoba bunuh diri make itu." Gumam Rina ketika melihat benda itu. Rina meraih ponsel disakunya.
Tutt.. tutt...
"Halo! Mama! Ma tolong Rina ma, please."
"Kenapa sayang? Kok kamu nangis?"
"Ana ma.. Ana nyoba bunuh diri, pergelangan tangannya berdarah."
"Ya ampun! Iya sayang sebentar ya. Mama kirim ambulance kesana."
"Cepet Ma!"
Rina mematikan sambungan teleponnya sepihak. Ia membuang asal ponselnya itu. Ia tak peduli. Dipikirannya hanya Ana, Ana, dan Ana. Tak ada yang lainnya.
"Gue mohon An. Lo bertahan ya? Nyokap gue ngirim ambulance kesini. Lagi dijalan An, tahan sebentar lagi ya. Pleasee.."
Segala usaha Rina kerahkan, demi Ana bisa membuka matanya. Rina rela melakukan apapun. Sungguh, ia benci keadaan Ana yang seperti ini. Mudah menyerah, sama sekali bukan sifat Ana!
Tinuuu.. tinuu.. tinuu.. *anggap bunyi ambulance*
Mendengar itu, Rina segera meletakkan kepala Ana dilantai. Rina berlari kebalkon kamar Ana. Balkon itu mengarah langsung ke jalan perumahan.
"SUSTER! CEPET KE ATAS SUS!" Teriak Rina begitu ia melihat ketiga orang suster yang diikuti kedua perawat laki-laki yang membawa tandu rumah sakit keluar dari ambulance.
Mendengar hal itu, para perawat itu bergerak cepat sesuai intrupsi Rina. Perawat itu sampai dikamar Ana dan segera menggotong Ana menuju rumah sakit.
~○~
"Aku gak bisa gini terus Ma. Orang tua Ana bahkan gak bisa Rina sebut sebagai orang tua. Mereka ngurusin pekerjaan mereka diluar negeri. Tapi disini? Ana menderita Ma! Rina gak bisa biarin ini terus!"
Rina sungguh frustasi. Ana kritis, kabar itu membuat Rina gila. Terlebih keberadaan orang tua Ana saat ini. Sungguh, Rina tak habis pikir kepada kedua orang tua sahabatnya itu.
"Mama tau sayang, Mama sangat tau. Tapi kamu harus sabar." Ucap Mama Rina -Arlina- menenangkan anaknya.
"Ma, Rina gak habis pikir ya sama Mama. Mama yang meriksa Ana kan? Mama yang bilang Ana kritis. Orang tua nya diluar negeri, kata mereka sih mereka itu kerja disana. Tapi Mama tau? Rina gak yakin Ma. Mana ada sih orang tua kayak mereka. Kerja terus setiap hari, anak kedua sama ketiga nya juga diajak. Sementara anak sulungnya? Mereka cuma bisa nuntut, ngebentak, ngekang, apalagi yang kurang Rina sebutin? Harusnya kalo emang mereka gak mau punya anak, ya mereka gak usah nikah dong. Kasian Ana yang jadi sasarannya. Mikir gak sih mereka? Mama juga, disaat lagi kayak gini Mama minta Rina sabar Ma? Gak bisa Ma!"
Lina tahu. Ia sangat tahu. Rina bersikap seperti ini memang pantas. Rina sedari kecil menemani Ana, menghadapi semua sikap dingin serta sikap kasar Ana dengan sabar. Bahkan sekarang, Rina menganggap Ana adiknya sendiri.
Melihat Rina seperti itu, Arlina sangat bahagia. Ia bahagia Rina bisa menjadi anak yang baik dan sesuai harapannya. Untuk saat ini, Lina hanya membiarkan Rina saja. Dengan begitu emosi putrinya akan cepat menurun.
~○~
"Oh, jadi gitu?" Ucap seorang laki-laki.
"Iya tuan. Ana memang tidak pernah dianggap ada oleh orang tuanya. Bahkan menurut informan terpercaya saya, Ana tidak mendapat kasih sayang sama sekali tuan. Setiap hari ulang tahunnya, Ana selalu berdoa hal yang sama. Doa yang ia ulang-ulang hingga saat ini tuan."
"Doa apa Rez? Seberharga apa yang Ana inginkan itu."
"Tentu berharga tuan, sangat. Ia hanya mengharapkan itu saja selama ini, namun sepertinya orang tua nya tidak mengerti Ana." Jawab Reza. Cowok yang sedari tadi memjelaskan hasil pengamatan informannya itu sangat gugup. Ia takut tuannya marah dengannya.
"Apa itu?" Tanya tuannya sekali lagi.
"Ana ingin kepala nya diusap oleh Ayahnya tuan."
Jawaban santai dari Reza membuat tuannya membeku. Tak lama, senyum miris terbit diwajah tuannya itu. Reza sudah menduga hal ini bisa terjadi.
Tapi.. mau diapakan lagi? Batin Reza.
~○~
Vommentsnya ditunggu kak! Tinggalkan jejak!☆
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAT
Teen FictionApa jadinya jika seorang cewek super dingin yang membenci cowok, dikejar-kejar the most wanted sekolah?