Enam

62 5 1
                                    

"An! Tunggu!"

Ana yang mendengar suara itu mempercepat langkah kakinya menuju kelas. Ia sama sekali tak peduli dengan Daffa yang terus berlari dengan bibirnya yang terus memanggil nama Ana.

Daffa yang melihat Ana mempercepat langkahnya segera mempercepat laju larinya. Daffa sama sekali tidak mempedulikan tatapan memuja para siswi dilorong sekolah saat ini. Yang ia pikirkan hanya Ana.

Yap! Berhasil! Daffa berhasil mencekal satu tangan Ana. Daffa menyentaknya kasar. Karena jika tidak begitu, maka Ana akan terlepas dari cekalannya.

Keduanya bahkan tak menyadari, mereka menjadi tontonan para murid saat ini. Ana sebenarnya bisa merasakan itu, tapi tentu saja ia tak mempedulikannya. Bukan Ana namanya jika mempedulikan itu semua.

Sentakan Daffa membuat Ana berbalik dan menatap manik mata kecoklatan milik Daffa. Ana tidak pernah merasakan tatapan seperti ini sebelumnya.

Tatapan lembut dan teduh. Bahkan kedua orang tuanya sendiri tak pernah menatapnya seperti itu. Ini aneh, mengapa laki-laki itu menatapnya seperti itu?

"Jangan pergi tiba-tiba ya? Gue khawatir."

Apakah Daffa menggunakan sihir? Mengapa ucapannya tadi membuat Ana serangan jantung? Sepertinya sepulang sekolah, Ana akan membuka berkas riwayat penyakit yang diderita keluarganya. Siapa tahu penyakit stroke masuk dalam riwayat itu.

Daffa berdecak kesal. Ana sedari tadi hanya memasang raut wajah datarnya saja tanpa membalas ucapannya. Daffa sungguh tak habis pikir, pesonanya serendah itu kah dimata Ana?

"Lo ikut gue." Daffa menarik tangan Ana dan berjalan cepat ke arah taman belakang sekolahnya.

Pemilik tangan yang digenggamnya pun hanya diam saja. Tidak ada pemberontakan sama sekali. Hal itu membuat Daffa tersenyum penuh kemenangan.

"Aih, enak ya ngeliat cogan cecan bersatu. Indahnya ciptaan Tuhan ini."

"The most wanted sama the cold girl? Eum.. tidak terdengar buruk."

"Kenapa Daffa milih cewek kaku kayak dia sih? Mendingan sama gue yang lebih wah dari pada si ratu es."

"Sejak kapan ada cowok yang mau deketin Ana? Kayaknya cowok itu sakit jiwa."

Daffa dan Ana sama sekali tidak mempedulikan ucapan-ucapan yang ditujukan untuk mereka. Keduanya sama-sama memasang wajah datarnya saat ini.

~○~

"Jadi? Jelasin sama gue kenapa lo mau bundir di rooftop tadi" Gadis yang mendengar pertanyaan itu hanya mengernyit tak mengerti.

Bundir? Siapa yang mau bundir? Batin Ana bertanya.

Sekarang Ana dan Daffa sedang duduk dikursi panjang yang berada ditaman belakang sekolah mereka. Bel telah berbunyi, maka dari itu ditaman ini hanya ada mereka berdua. Daffa yang seakan paham perubahan Ana kembali mengulang pertanyaannya.

"Lo kan ngerentangin tangan Na, Lo ngapain kayak gitu? Mau bundir kan? Kenapa mau bundir?" Tanya Daffa sambil menatap dalam manik mata Ana.

"Kata siapa gue mau bundir?" Kali ini giliran Daffa yang dibuat mengernyit heran dengan balasan pertanyaan Ana.

"Terus? Itu lo mau ngapain? Pake acara adegan-adegan di film Titanic lagi."

"Hirup angin."

Hanya dua kata saja sudah bisa membuat Daffa tertawa kencang. Bahkan air matanya hampir menetes karena terlalu kencang tertawa.

"Lo gak bohong kan?" Daffa yang telah selesai tertawa pun bertanya pada Ana. Kali ini nada bicaranya serius, menandakan Daffa tidak bercanda mengenai ini.

"Lo bipolar?" Daffa kembali tertawa mendengar penuturan polos Ana. Bagaimana bisa dirinya disebut bipolar? Sungguh, sama sekali tidak lucu.

"Gue serius An." Ucap Daffa meyakinkan Ana.

Manusia emang aneh, tadi ketawa terus tiba-tiba serius. Ck, dasar bipolar! Batin Ana.

"Hm"

Mendapat balasan itu hanya membuat Daffa berpikir keras. Gadis itu bahkan tidak memakai nada bicara yang lain sedari tadi. Hanya nada datar dan dingin yang ia pakai.

Dikasih makan apa ya? Batin Daffa heran.

"Lo menjauh dari gue." Mendengar itu Daffa kembali mengernyit heran.

Kenapa dirinya harus menjauhi Ana? Toh Ana tidak beracun, tidak rabies, tidak mempunyai riwayat kriminal. Mengapa Daffa harus menjauhinya?

"Mulai sekarang." Lanjut Ana. Ia segera berdiri, hendak meninggalkan taman dan kembali ke kelasnya.

Namun sebelum melangkah, ia kembali menatap Daffa dengan tanya. Pasalnya, ketika ia ingin melangkah Daffa mencekal tangannya.

"Bisa duduk sebentar? Gue mau ngomong sama lo." Nada bicara Daffa melembut, tatapannya meneduh.

Kenapa? Batin Ana. Ia merasakan hatinya menghangat. Rasanya sungguh asing.

Ana kembali duduk. Ia menatap Daffa meminta kejelasan.

"Cepet!" Desis Ana dingin.

Daffa menghembuskan nafasnya kasar. Ia rasa ini belum tepat. Tapi ia harus mencobanya. Apapun konsekuensinya.

"Apa doa yang selama ini lo ucap? Dan apa doa lo udah terkabul?"

Deg!

Apa-apaan ini. Mengapa Daffa menanyakan ini? Ana sungguh tak terima. Ia memejamkan matanya. Menetralkan emosinya.

Daffa seolah menyadari perubahan Ana. Ia menggenggam tangan Ana meyakinkan.

"Mau cerita?" Tanya Daffa lirih. Ia tahu seharusnya ia tak membuka luka lama gadisnya. Ini belum saatnya. Akan tetapi, Daffa tidak kuat diperlakukan seperti ini terus-menerus oleh Ana.

Daffa merasa frustasi. Walau ia sudah mengetahui seluk-beluk tentang Ana. Ia merasa lancang telah mengetahui itu semua. Daffa mau, Ana yang menceritakannya langsung. Yah, walau terdengar mustahil. Tapi Daffa tidak bisa menyerah.

"Lo siapa gue?" Mendengar pertanyaan dengan nada lebih dingin dan menusuk, membuat Daffa mematung.

Ana benar, gue siapanya dia? Batin Daffa membenarkan ucapan Ana.

"Pacar."

~○~

Haloo! Jangan bosen baca yah, semoga ceritanya ga ngebosenin ehehe. Jangan lupa vote commentnya kak! See youu~

FLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang