Delapan

42 4 0
                                    

"HALO SEMUA! DAFFA PALING GANTENG MEMASUKI RUMAH. DIMANA KARPET MERAHNYA?" Teriak Daffa saat ia memasuki rumahnya. Ana yang mendengar itu bergegas memasang earphonenya. Telinganya panas.

"Astaghfirullah, bukannya salam Daff!" Ucap seorang wanita, yang Ana yakini ibu dari makhluk disampingnya ini. Sungguh bertolak belakang dengan apa yang dilihat Ana.

"Assalamu'alaikum"

Salah? Batin Ana bertanya. Bagaimana tidak? Ibu Daffa dan anaknya menatapnya heran.

"Waalaikumsalam. Siapa Daff?" Tanya Ruslia -ibu Daffa-

"Ana Bun." Jawab Daffa.

"Ana?"

"Dariana Wijaya, Tante." Melihat Ana yang mengucapkan ketiga kata itu dan tindakannya yang mengamit tangan Ruslia membuat Daffa mematung.

Tak ada nada dingin. Yang ada hanya sikap lemah lembut dan sopan. Ah, sepertinya kali ini Daffa yang harus bertanya. Apa Ana bipolar?

"Oh, jadi kamu anaknya Fitria?" Ucap Ruslia dengan bersemangat.

"Iya, Tante."

"Ayo masuk sayang. Kamu baru pertama kali lho kesini, Tante seneng banget."

Daffa masih terdiam. Ia masih mencerna semuanya. Ana yang bersikap lembut dan sopan, Ibu nya yang bersemangat menyambut Ana, Bahkan sampai melupakan Daffa?

"Alhamdulillah" ucapnya setelah dapat mencernya semua ini. "akhirnya lampu hijau! Terimakasih ya Allah"

~○~

"Jadi sudah berapa lama Daff, kamu jadian sama Ana?" Tanya Ruslia. Hal itu membuat Ana dan Daffa kompak tersendak makanan mereka.

Siang ini memang Ana makan siang dirumah Daffa. Karena Ruslia yang memaksa tentunya, terlebih dia sudah menelepon orang tua Ana. Jadi, tidak bisa ditolak lagi.

"Jadian?" Tanya Ana dan Daffa bersamaan.

"Belum apa-apa aja udah kompak. Apalagi kalo kalian tunangan nanti."

"APA?! TUNANGAN?!" Kedua remaja itu memekik bersamaan. Apakah mereka janjian sebelumnya?

"Iya, niatnya karena Ana pacar kamu, Bunda mau tunangin kalian. Biar kamu gak macam-macam sama cewek lain, Daffa."

"Alhamdulillah"

"Astaghfirullah"

Ruslia yang mendengar kedua jawaban berbeda dari remaja dihadapannya ini, menghentikan makannya. Yah, kalian sudah menebak jawaban mana yang milik Daffa dan mana jawaban milik Ana.

"Kenapa Astaghfirullah An? Kamu juga Daff, kenapa Alhamdulillah?"

"Tante, aku sama Daffa gak pacaran. Dan aku gak mau tunangan sama anak tante." Ucapan Ana membuat Daffa memutar bola matanya. Ia sungguh bosan dengan semua penolakan Ana.

"Kita pacaran kok Bun, Ana nya aja yang masih shock punya pacar cogan." Ana yang mendengar ucapan Daffa sontak menginjak kaki spesies disampingnya ini.

"Akh!" Pekik Daffa.

"Diem, gue yang ngomong." Desis Ana pelan.

Ruslia yang memerhatikan kedua remaja itu sedari tadi hanya menahan senyumnya. Rencananya dan Fitria pasti akan berhasil.

"Yaudah, resmiin lagi aja Daff. Ketaman belakang aja gih. Bunda tau kalian butuh privasi."

Daffa yang mendengar itu segera menarik tangan Ana ketaman belakang rumahnya. Ruslia tak tinggal diam, ia perlahan-lahan mengikuti kedua remaja itu.

~○~

"An, mau sampai kapan lo bersikap kayak gini ke gue? Kita pacaran An."

"Kita gak pacaran."

Ana kembali ke pribadinya ketika disekolah. Dingin dan ketus. Daffa tak habis pikir padanya. Ia sudah lelah menghadapi semua penolakan Ana. Jika memang Ana menolak Daffa, setidaknya bisakah dihadapan Ruslia ia tidak menunjukkan penolakannya itu?

"Sampai kapan An? Gue capek. Kurang keras apalagi sih gue ngejar lo? Gue udh lama gak ngantor. Gue nyari tau kesukaan lo, apapun tentang lo. Bahkan masa lalu lo gue tau An. Gue nerima lo apa adanya. Buang jauh-jauh deh pikiran lo tentang keburukan gue. Lo gak mengenal baik gue An. Please, jangan gini.." lirih Daffa.

"Gak ada yang nyuruh lo bolos ngantor. Lo berhenti, dan mulai besok. Lo hidup normal lagi. Anggap aja lo gak pernah kenal gue. Karena gue bakal bertindak gitu juga." Sungguh, ini rekor bicara terbanyak Ana pada laki-laki. Meskipun masih dengan nada yang sama.

Terpanjang dan paling menyakitkan. Batin Daffa.

"Oke kalo itu yang lo mau. Gue mundur An. Tapi ingat, gue mundur gak selamanya. Gue bakal ngerjain urusan kantor yang gue tinggal. Nanti gue bakal balik lagi ke lo, setelah semuanya selesai. Selama gue mundur sementara, lo gue kasih waktu mikir An. Gue bakal nagih jawabannya nanti." Ucap Daffa frustasi. "Ayo, gue antar lo pulang." Lanjutnya.

Ana yang mendengar itu merasa sesak. Ia merasa menyesal. Namun, perasaan itu ia tepis jauh-jauh. Ia tak menganggapnya.

"Gue bisa pulang sendiri."

"Please An. Izinin gue, setidaknya buat kali ini."

"Oke, ayo!"

Mendengar percakapan itu membuat Ruslia berinisiatif memberi kemudahan pada keduanya. Ruslia yang sedari tadi menempel pada tembok untuk menguping, keluar dari persembunyiannya dan bergegas kembali ke meja makan.

"Bun, Daffa nganterin Ana dulu." Ucap Daffa yang langsung menarik Ana ke pintu keluar rumahnya. Ia bahkan tidak mempedulikan persetujuan Ibunya.

"Huh, semoga yang kali ini gak salah."

~○~

Daffa mau kemana hayoo😂

Jangan lupa tinggalkan jejak kak!~

FLATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang