6. Keluarga Baru

6.6K 346 25
                                    

Ketika jendela terbuka
Nafas harapan baru terasa
Di balik rerimbunan tapak surga Ilahiyah
Bersama mereka para penggenggam Qolamullah..

◇◇☆◇◇



Malam setelah pengusiran Rayyan dan Amel dari rumah kediaman mereka selama ini, mereka menginap di rumah Tante Ratih. Saudara tertua Bu Santi. Bunda mereka.

Awalnya mereka enggan bermalam disana. Kebetulan siang tadi mereka bertemu di jalan. Bu Ratih keheranan melihat kedua ponakannya membawa koper besar berjalan di pinggir jalan raya. Apalagi wajah mereka mengisyaratkan kesedihan mendalam.

"Kalian berhutang penjelasan pada Tante."

Amel berhenti menyuapkan nasi ke mulutnya. Sedang Rayyan menghela nafas berat.

"Baiklah. Tante akan diam. Tapi setelah makan malam kalian harus menjelaskan pada Tante. Bagaimanapun juga Tante adalah ibu kedua kalian. Jadi nggak perlu sungkan mengatakan apapun pada Tante."

Keduanya mengangguk lemah. Diam-diam Amel menagis.

"Jika aja Bunda selembut Tante Ratih. Lihatlah. Betapa wajahnya terlihat teduh dengan keanggunan kasih sayangnya. Bunda.... Amel sayang banget sama Bunda. Berat rasanya Amel meninggalkan Bunda. Amel masih butuh Bunda. Amel begitu rindu pelukan hangat Bunda. Apa pelukan Bunda sama nyamannya seperti pelukan Tante?" Bisiknya lirih dalam hati. Tubuhnya masih bersandar rapuh di bahu Tante Ratih.

Dalam diam air matanya mengalir tanpa henti. Membayangkan betapa hangatnya pelukan sang Bunda. Hal yang tak pernah dia dapatkan sejak kecil. Dia sangat iri pada kedua kakak perempuannya yang begitu mudah mendapatkan pelukan hangat Bunda.

"Sayang... Udah ya jangan nangis lagi. Tante ikut prihatin dengan keadaan kalian. Tapi menurut Tante, apa yang terjadi pada kalian adalah hal yang baik. Setidaknya kalian bisa melanjutkan hidup dengan tenang di tempat baru kalian nanti."

"Tapi Tante. Amel belom dapet restu dari Bunda."

"Nak, dengarkan Tante. Restu darinya tak lagi penting. Bukan berarti kamu durhaka. Hanya saja ibu macam apa yang tega menelantarkan anaknya juga tak pernah menganggapnya ada bahkan sejak pertama ia di lahirkan? Sudahlah. Biarkan saja Bundamu begitu." Tante Ratih mengusap sisa air mata Amel.

"Tugasmu sekarang, fokuslah pada masa depanmu. Di pesantren nanti kamu harus buktikan pada Bunda, kalau kamu bisa menjadi anak solehah yang sukses dunia akhirat. Satu hal yang harus kamu ingat. Doakan Bundamu, Nak. Jangan pernah abaikan. Dia tetaplah wanita yang harus kamu hormati. Walau bukan dalam bentuk perbuatan."

"Iya, Tante. Nasehat Tante akan selalu Amel ingat."

"Jaga adikmu nanti disana. Jangan biarkan dia diliputi kesedihan."

Rayyan memeluk Tante Ratih. Dia pun merasakan betapa damainya saat memeluk tubuh wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik itu.

"Insya Allah, Tante."

Keduanya berpamitan pada Tante Ratih. Ada air mata mengiringi kepergian mereka. Keduanya masuk ke dalam taksi yang sudah di pesan Tante Ratih untuk mengantar kedua ponakannya ke kota Tuban. Pesantren asuhan Kiai Halim. Paman mereka dari Pak Abdullah, Abi mereka.

◇◇◇



Jam menunjukkan pukul 11 malam, saat kedua bersaudara itu tiba di gerbang kediaman Kiai Halim. Sebuah rumah besar bernuansa hijau muda. Di samping kanannya berdiri kokoh Masjid pesantren.

Syauqillah (Terbit E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang