17. Mengubur Asa

5.6K 329 54
                                    

Masih bolehkah Amel berhak meminta kasih sayang Bunda sedangkan Amel hanya anak pungut seperti yang selalu Bunda katakan?

-Amel

◇◇☆◇◇

Semua orang menunggu panik di depan ruang ICU. Sudah hampir dua jam dokter tidak keluar dari ruangan tersebut. Mereka begitu khawatir pada keadaan Amel yang tiba-tiba limbung dengan darah yang tak berhenti mengalir deras dari hidungnya.

Hampir saja gadis itu kehilangan banyak darah jika dokter tak segera menanganinya. Bahkan dia membutuhkan transfusi darah guna membantu kondisinya yang drop. Beruntung golongan darah Naifa cocok dengan gadis malang itu.

Abi Abdullah mondar-mandir di depan ruangan. Wajah paniknya sangat kentara. Sesekali melongokkan wajah ke dalam ruangan. Memastikan kalau putrinya masih bisa diselamatkan.

Neng Afrin menangis sesegukan dalam pelukan Umminya. Dia tidak tega melihat keadaan Amel yang sangat pucat kala Gus Naufal menggendongnya ke dalam mobil. Diikuti Naifa dan dirinya menuju rumah sakit.

Pintu ruang ICU terbuka. Sesosok dokter setengah baya muncul di ikuti suster muda cantik. Berhijab.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dok? Dia baik-baik saja, kan? Putri saya bisa di selamatkan kan, Dok?"

Abi Abdullah langsung memberondong dokter tersebut dengan rentetan pertanyaan. Matanya berkaca-kaca. Dia begitu takut kehilangan putrinya.

"Tenang, Pak. Kondisi pasien baik-baik saja. Tadi sempat drop. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah normal kembali."

Penjelasan dokter membuat Abi Abdullah bernafas lega.

"Untuk saat ini pasien butuh istirahat cukup. Kondisi tubuhnya masih sangat lemah. Sepertinya pasien mengalami trauma. Jadi saya sarankan jangan membahas sesuatu yang mengingatkan kembali pada traumanya. Karena hal itu akan berakibat buruk pada kondisi tubuhnya."

"Ya Allah... Putriku." Rasa bersalah muncul di hati Abi Abdullah. "Apa saya boleh menjenguknya?"

"Silakan. Tapi pasien hanya boleh di jenguk satu orang. Saat ini dia butuh istirahat cukup."

"Baiklah. Terima kasih, Dokter."

"Sama-sama. Saya permisi dulu."

"Silakan, Dok."

Sebelum masuk, Abi Abdullah menguatkan diri. Air matanya merembes jatuh membasahi wajahnya yang tak lagi muda.

"Abi. Yang sabar, ya. Amel pasti sembuh, kok." Ummi Zahrana mengusap lembut lengan suaminya. Mencoba mentransfer kekuatan.

"Iya, Mi."

Tangis Abi Abdullah tak mampu lagi di bendung melihat keadaan putrinya yang terbaring lemah. Wajahnya pucat dengan mata terpejam rapat. Gadis itu terlihat begitu rapuh walau sedang tertidur pulas akibat obat bius. Di mulutnya terpasang selang oksigen. Karena saat di tangani dokter tadi, darah yang keluar dari hidungnya tak memungkinkan gadis itu mendapat bantuan pernafasan.

"Maafkan Abi, Nak. Maafkan Abi karena sudah mengabaikanmu. Jika saja Abi tau kalau kamu sedang rapuh, Abi akan langsung menemui kamu. Merengkuh kamu dalam pelukan Abi."

Abi Abdullah mengusap air matanya. Rasa bersalah terus menghantuinya.

"Abi sangat menyayangi kamu lebih dari apapun. Abi akan melakukan apa saja asal kamu bahagia. Tapi kamu harus janji akan bangun. Kamu akan bangkit dari kesedihan kamu. Abi disini untuk kamu. Sekarang dan untuk selamanya, Nak."

Syauqillah (Terbit E-BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang