Chapter 20

399 29 2
                                    

Vote dulu yuk gays.
.
.
.
.

Kata orang, sebuah kegagalan itu bagaikan nasi yang sudah menjadi bubur. Tapi menurutku, bubur itu bisa kita tambahin kecap, kerupuk dan ayam suwir, agar yang hambar bisa berubah jadi nikmat. Sehingga kegagalan yang sudah kamu rasakan tadi, bisa jadi penyemangat di kemudian hari.

Alven memijit pelan keningnya. Ada apa dengan drama ini? Ia tak merasa melakukan kesalahan apapun, jadi ia tak berpikir bahwa Airin pergi karena dirinya.

Beberapa jam lalu, Alven mendapat telfon masuk dari salah seorang suruhannya, bahwa ia melihat Airin menangis setelah salah seorang pria tua berkata dengan nada keras padanya, tak terdengar jelas apa yang mereka ketahui dari kejauhan, dan Alven mengirakannya bahwa itu adalah Ayah Airin.

Tapi setelah pikirannya kembali memutar, ada kejanggalan disini. Ya, mungkin ada beberapa episode yang Alven lewatkan hingga terjadi ini semua. Satu hal, jika Ayah Airin memarahi putrinya karena Alven, ia rasa tidak mungkin, karena Alven sama sekali belum bertemu dengan keluarga Airin, terkecuali adik lelakinya itu.

Ponsel Airin juga tak bisa dihubungi. Dan bodohnya lagi, Alven tidak punya kontak dari Arsya.

Sial

Alven terus mengumpat dalam hati. Ia menatap layar laptop dihadapannya yang sudah mati, sehingga memantulkan bayangan akan dirinya.

Dasar bodoh kau Alven! Sadarkah kalau dirimu sangatlah bodoh? Hanya mengumpat dan menyuruh orang yang kau lakukan untuk mendapatkan Airin kembali? Cih. Bahkan aku malu mengakuinya sebagai sisi baik dalam dirimu!

Batin Alven ada benarnya. Entah dari mana kata-kata itu mencuat dan merasuki kepalanya. Benar, ia tidak seharusnya hanya berdiam diri disini. Untuk apa? Berharap Airin datang dan mengatakan kalau ini adalah surprise ulang tahunmu?

Yaaa. You wish.

Alven menutup laptop dihadapannya sedikit keras lalu menyergap jas abu-abu yang terhempas di kepala sofa. Melangkah lebih cepat.

Ia tak mau kehilangan kesempatan untuk Airin kali ini. Baiklah, keputusan Alven untuk menikahi Airin sudah bulat. Alasan terkuat ya tentu saja karena ia sudah jengah dengan ajang penjodohan dari kedua orangtuanya dengan kolega bisnis keduanya. Tapi tak bisa dipungkiri, Airin cantik, dan ya, setipe dengan apa yang ia idamkan. Katakan ia jahat karena mendasari bukan karena cinta. Tapi hey, dia melapisinya dengan beberapa rasa kagum, dan cinta sudah melapisi beberapa sudut hatinya.

Alven menekan tombol lift menuju kebawah. Saat pintu terbuka, Aldion disana menyeringai dengan sangat meremehkan.

"Mau kemana kamu? Pergi menyusuli Airin? Yang katanya adalah calon istrimu? Oh ayolah Alven, Papa tau kau tak serius dengannya. Kau tak pernah serius dengan seorang wanita, kan?"

Wajah Alven membeku. Iya, benar. Benar apa yang dikatakan lelaki tua dengan jas hitamnya itu. Tapi kali ini Alven yakin akan serius pada Airin. Ia sudah mencobanya beberapa bulan ini, dan terlihat ada perubahan yang mencolok. Dasar tua!

"Haha. Kenapa? Kali ini kau setuju dengan Papa, bukan? Baiklah ayo, kembali ke ruanganmu, Papa harus membahas tentang rapat tempo hari"

"Tapi, Pa.."

"Ya. Papa menunggumu di ruangan" Jawab Aldion sembari melangkah santai.

Sialan kau!

----

*Airin POV*

Hari-hariku tidak terlalu indah disini. Walaupun aku berada di kampung halamanku sendiri. Entahlah, aku hanya kasihan dengan Ayah yang terus sakit dan aku serta adikku hanya bisa mengobati dengan seadanya dirumah. Membuatkannya air hangat, dan memasak sop pedas kesukaannya.

Be Mine? [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang