Chapter 5

8K 378 6
                                    


Pintu apartemen sedikit terbuka. Tidak sedikitpun guratan bingung tersirat pada wajah Alven. Ia hanya tersenyum kecut mendapati dua orang dengan setelan hitam dari tim kedisiplinan berjaga didepan pintu.

"mau apalagi dia kesini?" gumamnya dalam hati

seseorang didalam sana berbalik saat mendapati suara derapan sepatu Alven memasuki ruangan.

"bagus Alven! jadi seperti ini kegiatanmu setiap hari? pulang malam namun tidak berada dikantor. kemana saja kamu?"

Dengan terpaksa Alven menolehkan wajahnya berhadapan "Tempatku bukan hanya dikantor. Aku juga memiliki kekasih yang tentu saja membutuhkanku"

"Kekasih? kau bermain perempuan? hmm..."

Alven hanya mendengus dan tersenyum kecut. Kedua tangannya bergerak untuk melepas kancing pada jas "Aku hanya memiliki seorang kekasih. dan maaf, aku tidak seperti dirimu!"

Pendingin ruangan seakan tidak bekerja dalam seketika. Suasana menjadi panas. Pertanda keributan diantara mereka sepertinya akan segera terjadi.

Pintu kembali sedikit berdencit terbuka. Seorang wanita pada ambang pintu dengan rambut sanggulnya bernafas tersegal. Dua orang disana sudah menengok kearahnya bersamaan. Setelah mengatur nafas, wanita itu berangsur mengambil langkah maju menghampiri kedua makhluk bersitegang diruang tengah.

Alven menghampirinya dengan senyum tulus "Apakah mama kesini untuk bermalam di apartemenku ?"

Helen menggeleng dan berhambur memeluk Alven sangat erat "Apakah sesuatu terjadi padamu?" bisiknya pelan

"Aku baik-baik saja" balas Alven seraya melepaskan pelukannya. "Kalau memang tidak ada kepentingan datang kesini, lebih baik mama bawa saja dia pergi dari sini. Alven sudah muak dan tidak ingin lagi melihat wajah angkuhnya!"

Tangan Helen beralih pada pinggang sang anak, mencoba memberi sedikit ketenangan. Helen sangat paham bahwa Alven sangat mudah terbawa emosi "Tenanglah sayang, dia kesini untuk bertemu denganmu. Dia sangat rindu padamu"

"Rindu padaku? dia bahkan baru mengatakan rindu padaku setelah perusahaan hampir bangkrut dan banyak hutang itu kembali berjaya ditanganku! Apakah kata rindu yang ia katakan adalah definisi yang benar? Kurasa tidak!"

Setelah susah payah menahan geraman emosi dengan kepalan tangan hingga membekas putih pada buku-buku jarinya. Seseorang disana mengambil langkah mendekat. Kilatan amarah sangat terpancar pada bola matanya. "Jaga ucapanmu! Kau bahkan terlihat seperti anak tidak terdidik, Alven!"

"Kau memang tidak pernah mendidikku!"

---

Detuman jarum jam juga kebasan dari baling-baling kipas angin menemani diskusi penting dua orang gadis diatas tempat tidur. Berbagai bungkus snack juga laptop yang menyala ikut bersama.

"jadi bagaimana menurutmu? apa memang sebaiknya aku ambil saja pekerjaan itu?" tanya Airin menggigit ujung pulpen ditangannya

"Menurutku lebih baik kami terima saja. Justru kamu itu beruntung"

Airin memutar bola matanya. Menatap intens Difa yang masih berkutat dengan laptop. "Beruntung bagaimana maksudmu?"

Difa mendengus, kembali mengambil beberapa keripik singkok lalu memasukannya kedalam mulut. "Ya beruntung. Sangat jarang orang sepertimu. Mendapat pekerjaan dengan jabatan tinggi namun juga dengan begitu mudah"

Airin terkekeh "Ternyata kamu bisa berfikir seperti manusia normal, Dif" jawabnya seraya mengacak-acak rambut lurus Difa.

Ketukan pintu terdengar jelas. Juga dengan berulang-ulang namun dengan ketukan tidak teratur. Airin dan Difa hanya bisa saling tatap. Laptop segera dimatikan lalu mereka beringsut dibalik selimut. Memaksakan kedua mata untuk terpejam.

Be Mine? [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang