2009, SEMBILAN BELAS TAHUN KEMUDIAN...
Saban pagi, sekitar pukul 10.00 pagi. Seruni sudah duduk di kursi merah plastik, mencatat nomor yang sudah dimistik para pelanggannya. Semakin naik matahari, semakin ramai rumah Seruni didatangi para pegawai pabrik minta dibuatkan lotek. Demi Syahman, Seruni rela bekerja apa saja. Seruni tak bisa mengharapkan Sieng Lu yang semakin menjadi-jadi. Dulu, waktu Syahman masih menendang-nendang dalam perut, Sieng Lu hanya sibuk mencari angin. Tetapi kini, saat Syahman sudah benar-benar menendang-nendang bola dengan kedua kakinya, Sieng Lu malah asyik mencari arak dan kartu remi.
Pohang adik laki-laki Seruni, tak terbendung lagi amarahnya. Badannya tinggi besar, kekar berotot, berkulit gelap macam kacang gosong. Datang setengah berlari, sambil bertelanjang dada dengan medali berbandul emas matahari besar merekat di lehernya yang penuh keringat. Seruni yakin Pohang datang untuk memamerkan dirinya yang menang pertandingan tinju, atau mengambil nasi sebakul lalu minta dibuatkan lotek, tak mungkin yang ketiga, tak mungkin Pohang yang sekalipun tak pernah getol Solat Jumat datang untuk memesan nomor togel (sejenis lotre). Dan benar saja... tak pernah Seruni melihat Pohang semarah ini padanya.
"Runi, kadieu sia!" (Seruni, kesini kamu!)
Seruni tak tahu harus menjawab apa.
"Si Seeng tah... "
Seruni masih diam. Para pelanggannya tak jadi memesan, sebagian hanya menatap piringnya takut-takut, sebagian menarik sendoknya maju, lalu dimundurkan lagi ragu-ragu, macam ada belatung di atas sendok.
"Mabok weh gawena!" (Mabuk saja kerjanya!)
"Bongpay, Hang!" jawab Seruni datar. "Lagi banyak duit," Seruni menunjuk ke arah depan gang. "noh, Si Syahman!"
"Mak, bongpay, Mak, bongpay..." Syahman berteriak-teriak dari kejauhan menelan amarah Pohang. Tangannya melambai-lambai memamerkan selembar duit berbunga tembus pandang.
"Bongpay?" Pohang bertanya-tanya, bunga merah tembus pandang itu berbinar-binar dimatanya.
Pelanggan Seruni sama bingungnya. "Bongpay?"
"Naon bongpay?"
"Macam babi ngepet?"
"Hush."
"Bongpay, Mak!" Syahman menjerit lagi.
Oh, senangnya. Seruni nyengir tak terkira. Sudah sembilan belas tahun Seruni bersuami, tak Seruni dapati hal yang lain kecuali neraka. Bau arak yang ditebarkan udara itu memuakkan, tapi Seruni begitu rindu. Serupa bunyi alarm yang bertalu-talu mendebarkan jantungnya. Bongpay sudah tiba!
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bongpay
Ficción GeneralSeruni termenung, kalau saja Syahman tak menendang-nendang dinding rahimnya, kalau saja Syahman tak membuncit dibawah berlapis-lapis kain bajunya. Seruni tak akan menenteng rantang berisi nasi kuning ke rumah Sieng Lu. Seruni pasti punya foto perkaw...