(QS-Ad-Dukhan, 43-46) Sungguh pohon zaqqum itu, makanan bagi orang yang banyak dosa, seperti cairan dalam tembaga yang mendidih dalam perut, seperti mendidihnya air yang sangat panas.
Malam menjelang, terpal-terpal dibentangkan di sepanjang gang lebar, karpet-karpet warga digelar bermacam-macam rupa dan warna, lampu-lampu neon panjang bersinar terang setiap sepuluh meter. Wanita-wanita menyiapkan sepanci besar gule kambing yang harumnya sejak siang sudah tercium sampai Atang megap-megap, nasi putih mengebul, Mahmud Kepala Pelontos baru saja sadar setelah mengipas-ngipas ratusan tusuk sate, Syahman sudah menyusun air gelas kemasan macam piramida oleng, itu pun setelah Pohang menendang bokongnya berkali-kali, Pohang sudah kehabisan tenaga, mulutnya kering meyakinkan Syahman tak akan digunduli macam Mahmud Kepala Pelontos, buah pisang, onde-onde, tempe goreng, tahu goreng, telah ditata di atas meja panjang prasmanan sejak Magrib tadi.
"Alhamdullilah," Haji Gofur menyudahi berkomat-kamit lama dan panjang dengan bahasa yang tak dimengerti Syahman sama sekali. Pohang sudah berdiri di depan Kanti yang bertugas menjaga meja prasmanan, rambut Kanti panjang hitam terurai dilambai-lambaikan angin, wajahnya... ah, giginya saja yang mirip Manohara, selebihnya Si Manis Jembatan Ancol.
Seruni mondar-mandir, tak mendapati Sieng Lu dimana-mana. Tak mungkin minum arak lagi, Seruni sudah nyolong sampai celana katun hitam Sieng Lu bolong melompong. "Sieng Lu dimana, Hang?" tanya Seruni pada Pohang yang masih memakai medali berpendar-pendar, mulutnya penuh menguyah sate tak habis-habis.
"Gua iket di pohon kapas, biar ga ngamuk duitnya ludes."
"Hah! Angker, Hang!" Seruni bergidik, tak sudi menyusul Sieng Lu kesana.
Mahmud Kepala Pelontos menyahut, "Suka ada kunti lu, Hang!"
"Si Atang pernah liat lu, ga napak tuh kunti, kakinya ga ada." Apoh, seorang nenek keturunan Tionghoa pun ikut nimbrung.
Atang tersenyum kecut, peristiwa dimalam-malam itu masih membuatnya bergidik sampai sekarang. "Kalo ada mah, bukan kunti Apoh, Apoh!"
"Kalo ada kakinya mah bukan kunti... tapi Kanti." celetuk Pohang sampai bengek. Seisi gang lebar sontak meledak tertawa terbahak-bahak.
Kecuali dia, kecuali anak lelaki keturunan Tionghoa itu, tak secuil pun senyum merekah dibalik gigi-giginya yang menguning oleh asap dan kafein. "Biar Syahman yang kesana, Mak."
Seruni keheranan, tak pernah ia dapati Syahman begitu peduli pada Sieng Lu sejak kepalanya menyembul dilubang vaginanya. "Yaudah sana, Man." Hati Seruni mencelos.
***
Konon. Di atas ranting-rantingnya yang menjulang tinggi, persis di dekat kepompong-kepompong kapas yang siap di panen, sosok kunti sering bergelantungan diatas ranting-rantingnya yang tinggi. Cuih, sekalipun dedemit muncul dihadapannya, Syahman akan bergeming. Syahman lebih menakuti dirinya sendiri dan keinginannya untuk melenyapkan Sieng Lu ke neraka.
Bayangan-bayangan masa lalu Syahman berkelebat seiring derapan langkah kakinya, samar-samar serta acak mengacaukan pikirannya yang kelabu. Seruni membungkuk, dengan muram menyeka air liur yang membasahi lipatan leher suaminya, bau arak menguar, Seruni ganti berjongkok membersihkan muntahan arak yang berceceran di ruang tamu, Syahman meradang.
Bertahun-tahun dilalui Seruni seperti itu, tak seperti musim yang berganti, Sieng Lu tetaplah bapaknya yang sama sejak sembilan belas tahun lalu, bangsat dan pecandu.
Luka yang menahun itu, membuat pisau dapur telah diasah Syahman sejak kemarin petang. Syahman akan habisi Sieng Lu. Luka-luka Seruni adalah gerbang neraka yang menganga, Syahman telah masuk, telah berada didalamnya selama bertahun-tahun. Syahman tahu, nanti jika sudah sampai di neraka bersama bapaknya, ia akan disambut dengan belenggu dan rantai, lalu dijamu zaqqum yang dapat memotong ususnya, kemudian malaikat menyuruhnya mandi hingga otaknya meleleh. Sudah khatam Syahman mendengarnya dari Haji Gofur.
"Man, Maaaaaaan!" Sieng Lu berteriak, urat-urat lehernya mengejang.
Syahman diam membisu, genggaman pisau dapur ditangannya ikut bergetar.
"Lepasin, lepasin," seru Sieng Lu bergeliat-geliat diatas lilitan tali yang mengikat perutnya. "Ah, bener... lu bawa piso!" Bola mata Sieng Lu menangkap sebilah pisau yang berkilat-kilat dalam malam.
Edan, Syahman tak bisa lagi menguasai tubuhnya yang bergetar hebat, pisau dapur meluncur dari tangannya yang penuh keringat dingin, Syahman bergidik.
Entah apa yang terjadi, tali yang meliliti perut Sieng Lu tak lagi berwarna kuning pucat, darah telah merembes pada pinggirannya, pisau dapur telah terhunus diatas perut buncit Sieng Lu. Jantung Syahman seolah jatuh ke lubang sumur, seram sampai takut mati.
"Astagfirullah, Man, Man..." pekik Haji Gofur yang entah muncul dari mana.
Syahman tersungkur ke tanah, tak bisa mengendalikan seluruh tubuhnya yang bergetar tak henti-henti.
"Kenapa bisa begini, Man, Man..."
Pekikan Haji Gofur meninggalkan Syahman dalam kebisuan.
"Kiamat ini, kiamat..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bongpay
Ficção GeralSeruni termenung, kalau saja Syahman tak menendang-nendang dinding rahimnya, kalau saja Syahman tak membuncit dibawah berlapis-lapis kain bajunya. Seruni tak akan menenteng rantang berisi nasi kuning ke rumah Sieng Lu. Seruni pasti punya foto perkaw...