5: Kesedihan dan Obatnya

135K 10.2K 322
                                    

"Allah menempatkanmu pada situasi yang mencekam bukan berarti Allah menjerumuskan, namun, lebih kepada menyampaikan hidayah-Nya, agar kamu bisa kuat dari sebelumnya. Allah always know how to change someone to be stronger. Keep Husnudzan!"

***

Aku menghela napas panjang, merasa sedikit kecewa. Kenapa dia malah pergi setelah aku menyebut namanya? Dia lupa aku ya? Kenapa dia tidak penasaran aku tahu namanya? Si bau ketek itu kenapa menyebalkan?

Aku melihatnya melenggang dengan motor berisiknya, tak mau berdiri mematung dengan perasaan bingung, aku pun segera menghampiri motor matic-ku dan melaju pula ke jalanan. Malam ini, aku dinas malam. Dan teman duetku jaga adalah dia. Si dokter kutub.

Sesampainya di parkiran aku melihat mobilnya baru saja masuk di parkiran mobil, melihat mobilnya saja rasanya ingin baca surah Yasin. Apalagi ketemu sama pemiliknya, mungkin aku pengen baca tahlil.

Di parkiran motor aku juga melihat Naira baru saja mentenggerkan motornya di sana. Seketika, mood burukku karena melihat mobil dokter kutub, berubah drastis ketika melihat Naira di ujung tempat parkir. Sahabat memang obat paling mujarab mengatasi mood yang buruk.

"NAIRA!!" panggilku. Aku segera menghampirinya, memarkir motorku tepat di sebelah motornya.

"Aisyah, dokter itu nggak kayak gitu. Yang anggun dong. Jangan teriak-teriak, ini rumah sakit sayang, bukan hutan," omelnya.

Aku nyengir, "Afwan," aku mengaku salah, "habisnya kamu tuh moodboaster aku banget, tau! Kamu jaga juga malam ini?"

Aku segera merangkulnya yang saat ini menggunakan seragam polos putih terbalut dengan scout-nya yang berwarna biru gelap. Kami berjalan di antara sekat parkiran.

Dia mengangguk.

"Yeeyy!!" Aku semakin mengeratkan pelukannya.

Setidaknya, jika ada Naira di rumah sakit malam ini, misal ada drama menyakitkan dari Dokter Juan, aku bisa lari kepadanya. Mengadu kepadanya. Setidaknya ada yang bisa menenangkan aku. Aku hanya butuh usapan lembut dari tangannya di keningku, harum aromanya membuatku tenang.

Aku akui, Naira memang lebih dewasa dariku. Dan aku mengakui bahwa aku masih kekanak-kanakan. Aku sudah mencoba untuk mengontrolnya, tetapi, entah kenapa dorongan kuat untuk tidak cengeng, untuk tidak baperan, untuk tidak kegirangan berlebihan, tidak bisa aku cegah. Semua mengalir begitu saja.

Kadang aku membenci sifatku.

Karena sifatku ini, ekspetasi Abah punya anak seorang dokter anggun dan berwibawa, pupus. Karena sifatku, Naira yang juga punya masalah sendiri, harus repot-repot membantu menyelesaikan masalahku. Karena sifatku, kadang banyak orang yang memandangku sebelah mata. Katanya, aku tidak pantas menjadi dokter. Sakit, sih, tetapi, apa dayaku?

Aku hanya berharap suatu saat nanti Allah mempertemukanku dengan seseorang yang mampu mengubahku. Mengubahku lebih dewasa lagi. Doaku tak pernah putus untuk itu.

•••

"Follow up!"

Aku langsung berdiri seketika saat suara bass Dokter Juan terdengar seperti perintah komandan prajurit berseru untuk maju berperang. Aku langsung menyambar beberapa status pasien. Tak lupa juga menyambar alat perangku, stetoskop dan tensimeter.

Aku berjalan mengikuti makhluk terdingin dengan semerbak aroma mint yang membuatku muak, ingin muntah. Kadang kala, karena kita tidak suka pada seseorang. Apa yang orang itu lakukan, apa yang orang itu gunakan, membuat kita benci pula pada hal itu. Aku akui, itu salah. Itu tidak benar. Itu dosa. Tetapi, gravitasi kebencianku selalu jatuh kepadanya. Apalagi, jika mengingat perlakuan buruknya padaku selama ini.

[DSS 2] ME AFTER YOU : 1 AMIN 2 IMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang