3 : Sebungkus Coklat (2)

150K 12.1K 1K
                                    

Kadang Allah hadirkan luka dan obat secara bersamaan. Ketika kita terluka oleh sesuatu, pada saat itu juga obat datang kepada kita dalam bentuk dan rupa yang tak terduga.

•••

"He, Kamu!"

Aku mendengus kesal untuk kesekian kalinya. Super jengkel kenapa pria itu selalu memanggilku dengan kata 'he'. Aku kan punya nama, Siti Aisyah Shalihah. Di panggil Siti, Aisyah, atau Shalihah pun nggak apa-apa. Kenapa harus 'he'?

"Iya Dokter, ada apa?" tanyaku setelah membalikkan badan.

"Kamu tensi kamar G bed 4, sekarang!" titahnya.

Ingin kubaca Yasin rasanya.

"Kenapa tadi nggak sekalian, Dok? Tadi anda nyuruh saya tensi kamar F. Kan, tetanggaan," jawabku dengan nada sehalus mungkin.

Dia diam. Menatapku dari balik benda berkaca itu dengan tajam. Tidak ada suara yang muncul darinya, tetapi, percayalah ini sangat menyeramkan.

"Baik, Dok," aku mengalah, percuma berdebat dengan dokter kutub itu. Selain punya wajah sedingin es kutub, dia juga punya lidah sepedas cabe. Ditambah lagi dengan tatapan tajam setajam silet, siapa pun yang ditatapnya pasti dikupas habis tak berkutik.

Aku pun berjalan menuju kamar G, pasien bed 4 seorang gadis muda, berambut panjang dan bermata sipit. Dia pasien baru di bangsal ini.

"Selamat pagi, Aryana," sapaku, lengkap dengan senyum secara sopan dan santun.

"Panggil Ryana aja, Dok," koreksinya dengan senyuman yang membuat matanya terlihat segaris. "Selamat pagi."

"Gimana keadaanya, Sayang? Sudah merasa baik?" tanyaku. "Tensi dulu ya..." aku membuka alat tensimeterku.

"Oke, Dok," jawabnya sembari mengulurkan tangannya untuk kutensi. "Ryana kapan boleh pulang, Dok?"

Sambil mengukur tekanan darahnya aku berkata, "Emm... Nunggu advise dari Dokter Juan ya, nanti kalau udah boleh pulang, Kakak yang kasih tahu kamu."

"Dokter usianya berapa?" tanyanya tiba-tiba, membuatku tersenyum simpul.

"Coba tebak berapa?" kataku menggodanya.

"Delapan belas tahun?" ucapnya polos.

Aku tertawa kecil, "Mana ada dokter usia segitu, kalo pun ada dia pasti ikut akselerasi. Aku tak sepintar itu. Hehe," aku terkekeh.

"Dua puluh?"tebaknya. Aku menggeleng sambil tersenyum menggodanya.

"Dua..," dia terlihat berpikir, "dua?" tebaknya lagi, "Ah, ketuaan. Nggak mungkin, wajah dokter masih imut-imut."

Aku kembali menyeburkan tawa, "Bener, kok. Usia kakak dua puluh dua."

"Sumpah, Dok?" Dia terlihat terkejut. "Baby Face banget, Ryana suka," katanya sambil menoel pipi kiriku. "Boleh aku panggil Dokter dengan sebutan Kakak?"

"Boleh, boleh banget," Selesai mengukur tekanan darahnya, aku menutup alat tensiku.

"Yeay!" Dia terlihat senang sambil mengangkat tangannya kegirangan, "selama ini aku kepingin banget punya kakak perempuan. Habisnya punya kakak cowok itu nyebelin," wajahnya berubah mengerucut mengekspresikan kekesalan.

"Kenapa?"

"Sukanya main balapan, Ryana nggak suka. Mana lagi pakaiannya kayak gembel robek-robek, bicaranya juga sekenanya, suka usilin Ryana, lagi," curhat gadis itu.

Aku terkekeh, gadis usia 17 tahun seperti Ryana begitu menggemaskan menceritakan saudara laki-lakinya yang menurutnya sangat menyebalkan itu. "Usia berapa kakaknya?"

[DSS 2] ME AFTER YOU : 1 AMIN 2 IMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang