1 : The Perfect Life

6.4K 102 4
                                    


Bandung, 2003

Sudah cukup lama hujan berhenti turun, meninggalkan embun basah yang menempel di kaca. Bau tanah cokelat yang dibasahi oleh tetesan air hujan menusuk indra penciuman, menebarkan bau yang sejuk dan sangat damai, kontras dengan langit yang sayu. Sangat sering langit bermuram seperti sekarang, dengan matahari yang enggan menampakkan dirinya-lebih memilih untuk sembunyi di balik awan. Walau sudah pagi dan seharusnya langit terang, membangkitkan semangat, langit malah berubah menjadi mendung dan gelap-terlihat begitu sayu dan meredupkan semangat insan yang berlindung di bawahnya. Angin pun bagaikan mendukung suasana saat itu-yang jauh dari kesan hangat atau bahkan menggerahkan, melainkan dingin yang menyejukkan. Semilirnya berhembus dengan tenang, menggoyangkan ranting pepohonan rindang dan membiarkan dedaunan kekuningan yang telah termakan waktu gugur menyentuh tanah-tergantikan oleh dedaunan muda yang hijau indah.

Cuaca yang sangat tidak mendukung jalannya aktivitas itu tidak menyurutkan semangat Caesar. Pria bertubuh tinggi namun kurus tanpa otot itu berdiri, berlindung di bawah halte bus yang sangat sepi dan telah becek karena tetesan air hujan yang terbawa angin. Kulitnya putih mulus, wajahnya dapat dimasukkan ke dalam kategori idaman gadis remaja dengan wajah khas indo dengan bibir tipis dan hidung mancung. Rambutnya agak basah akibat kebasahan air, namun untung saja rambutnya mudah kering. Mungkin ia akan mencucinya sesampainya ia di rumah nanti.

Caesar melirik jam tangan hitamnya. Ia harus jalan sekarang atau ia akan telat nanti. Ia menengadahkan kepalanya ke atas langit, melongok. Langit masih saja mendung, astaga....ia sangat berharap matahari akan muncul sekarang. Namun, mau sampai kapan ia berdiri di sini menunggu hujan benar-benar reda? Lagipula, hanya gerimis kecil saja, tak ada masalah apabila ia jalan sekarang.

Dengan sedikit berlari ia menghampiri sepedanya yang ia parkir di sebelah halte-di bawah pohon rindang. Sepedanya agak basah, namun ia tak peduli. Dengan cekatan ia menaiki sepedanya dan mengayuhnya dengan keepatan tinggi. Ia benci sekali hujan. Coba saja kalau tadi tidak hujan, pasti ia sudah sampai di sekolah. Mau sampai kapan hujan terus? Kini bumi semakin menua saja, hujan turun dengan seringnya-hampir setiap hari-padahal bukan musim hujan. Rasanya lebih sering terjadi musim hujan dibandingkan musim kemarau.

Sepeda yang dikayuh Caesar berjalan menyusuri jalanan yang sangat sepi. Hanya sedikit kendaraan yang lewat. Sepeda Caesar pun memasuki kompleks perumahan elit yang terletak tak cukup jauh dari tempatnya menunggu selama beberapa lama tadi. Kompleks perumahan ini terkenal sangat elit, terbilang hanya orang-orang konglomerat sajalah yang mampu memiliki salah satu rumah di antara kompleks perumahan ini. Rumah-rumahnya megah dan mewah-menjulang begitu gagahnya. Entah berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk memiliki satu buah rumah di dalam kompleks perumahan ini. Mobil-mobil yang terparkir di halaman depannya saja sudah mewah sekali, apa lagi dalam rumahnya?

Caesar memelankan kayuhan sepedanya, dan ia turun dari sepeda. Ia memboyong sepedanya hingga berhenti tepat di sebuah rumah yang terletak agak jauh dari pintu gerbang kompleks di depan-yang dijaga oleh pos satpam cukup besar. Rumah itu bisa dibilang rumah terbesar di antara rumah lainnya di kompleks ini. Rumahnya dua lantai, begitu lebar dan tinggi menjulang. Catnya berwarna krem yang lembut, dan halaman depan menuju pintu masuk sangat luas. Empat buah mobil terparkir dengan mulusnya di lahan parkir yang begitu luas dan lebar. Pepohonan dan tanaman-tanaman hias terawat sehingga menghias rumah itu dengan asri dan indah. Rumputnya begitu hijau, lebih hijau dibandingkan rumput-rumput di rumah lainnya. Di tengah-tengah halaman depan terdapat kolam ikan yang juga sekaligus air mancur dengan air jernih nan deras yang menimbulkan kesan menawan untuk rumah itu.

Caesar sangat senang melihat rumah ini, apalagi membayangkan betapa mewahnya segala sesuatu di dalam rumah ini. Ia menekan tombol bel, lalu kamera CCTV yang terpasang tepat di atas pilar dekat pagar pun bergerak-mata kamera itu menangkap wajahnya. Tak lama kemudian pun pintu gerbang terbuka. Caesar tersenyum kecil dan memboyong sepedanya memasuki halaman depan yang luasnya minta ampun itu. Setelah memarkirkan sepedanya, ia melangkah masuk ke pintu utama dengan cueknya, bagaikan ia sudah ke rumah ini untuk kesekian ribu kalinya.

RaindropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang