4 : When God Finally Answered

834 24 3
                                    

"Bu...."

Luella membuka pintu kayu yang berdecit ketika dibuka itu. Ia menghela napas dan bahunya terkulai lemas melihat ibunya dengan penampilan yang menyedihkan sedang duduk bersila di atas tempat tidur yang hanya dialasi seprei berbau apek. Rambut ibunya begitu acak-acakan dan entah kapan terakhir kali ibunya mandi, Luella tidak ingat. Wanita yang depresi itu hanya menggoyang-goyangkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, dengan mulutnya yang komat-kamit tidak jelas. Setelah itu, ia terdiam. Ia mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Bibirnya yang kering dan kehitaman itu membeku. Sedetik kemudian tangisnya pecah, lalu disusul raungannya. Luella langsung menutup pintu kamar ibunya dan meringkuk di atas lantai. Ia menutup telinganya kuat-kuat, sambil dipejamkannya mata. Ia tak ingin mendengar raungan dan tangisan ibunya yang memekakkan telinga itu, walau hanya sedetik.

Tiba-tiba pintu rumahnya dibuka, dan sosok Evan berlari kecil memasuki rumah. Ia terdiam sebentar, terpaku di ambang pintu, melihat Luella yang terduduk di atas lantai sambil menutup kupingnya. Ketika ia sadar kalau ibu Luella sedang tidak waras, ia langsung menghampiri gadis itu dan menarik tangannya keluar.

"Kamu mau ngapain ke sini?" Luella menepis tangan Evan. Matanya berkaca-kaca.

"Aku tadi kebetulan lewat, terus denger teriakan ibu kamu. Makanya aku langsung...masuk ke rumah...dan ngeliat..." Evan tergagap, masih kaget dengan raungan ibu Luella. Astaga, baru sekali saja ia mendengarnya, ia langsung stress. Bagaimana dengan Luella, santapannya setiap hari adalah raungan dan teriakan histeris dari ibunya, tidakkah gadis itu merasa jenuh?

Luella membuang muka. Tanpa mau dilihat Evan, ia mengusap air matanya yang perlahan menetes.

Evan mendesah melihat Luella. Ia memutar tubuh gadis itu sehingga berhadapan dengannya, "Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Gimana? Mau nggak?"

Luella memandang Evan sebentar, kemudian tersenyum pahit. Ia menunjuk rumahnya dengan dagunya, "Aku harus jaga ibu. Nggak bisa,"

"La, nggak ada salahnya kalau sejenak kamu menjauh dari ini semua. Kamu berhak seneng-seneng untuk sesaat," bujuk Evan. Ia menatap Luella lekat-lekat.

"Emang kamu mau kemana, sih?"

Beberapa menit kemudian, Luella berhasil dibujuk oleh Evan. Ia duduk di mobil APV Evan dengan perasaan campur aduk. Ia agak gelisah karena meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Ia sedih dan hatinya sesak melihat kondisi ibunya pagi ini. Tapi di samping itu, ia juga senang karena bisa jalan-jalan naik mobil bersama Evan.

Evan mengajaknya ke kota. Keluar dari perkampungan, untunglah. Ia sudah lupa bagaimana rasanya jalan-jalan mengelilingi kota Bandung. Rasanya senang sekali dapat merasakan nuansa dan suasana yang berbeda. Terlebih lagi ia tersadar, betapa jauhnya perbedaan kehidupan sosial dan ekonomi di kampungnya dan di kota ini. Semua begitu 'wah' dan gemerlap di sini, berbeda jauh sekali dari kampungnya. Ketika ditanya untuk urusan apa Evan ke kota, cowok itu menjawab ia hanya ingin jalan-jalan. Sebenarnya Luella yakin kalau cowok itu hanya ingin menghiburnya saja.

Kota Bandung sangat indah. Cuaca di kota saat itu sedang cerah, dan tak seperti biasanya yang Luella lihat di kampung, banyak kendaraan lalu-lalang. Gedung-gedung yang menjulang tinggi tertangkap oleh matanya. Wajah-wajah asing terekam oleh sudut matanya, bukan wajah-wajah yang selama ini terus-menerus ia lihat. Untuk sekejap Luella lupa akan segala masalahnya, lupa apa yang menantinya di rumah. Ia hanya merasa senang dan bahagia melihat-lihat semua yang serba baru dan asing. Rasanya bahagia sekali. Betapa besar keinginannya untuk menetap dan tinggal di kota ini. Jauh dari perkampungan dan orang-orang yang melempar pandangan benci kepadanya. Seandainya saja ia bisa memulai hidup baru di sini, memulai hubungan dengan orang-orang yang baru-yang tidak tahu masalah dan masa lalunya, terlebih lagi, siapa ayahnya.

RaindropsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang