Part 1

9 2 0
                                    



Dear Zach,

Gue nggak biasa nulis beginian, jadi gue tulis ini apa adanya aja. Dibaca ya, Zach. Hehe.

Lo. Orang pertama yang bikin gue kayak gini.

Lo. Orang pertama yang selalu gue perhatiin diam-diam.

Lo. Orang pertama yang nggak bisa hilang dari pikiran gue.

Kenapa? Kenapa lo selalu muncul di hidup gue? Bahkan di saat gue pengen ngejauhin lo? Jujur aja, gue eneg liat muka lo. Bahkan gue juga eneg liat tampang konyol lo waktu lo bikin candaan garing yang mau nggak mau selalu bisa bikin gue ketawa. Kenapa sih hidup gue bergantung banget sama lo? Seakan-akan apapun yang ada di depan gue itu selalu bersangkutan atau berhubungan sama lo. Apa ini yang dibilang jodoh? (*muntah)

Regards,

Vivian.

Gue ketawa geli waktu baca surat yang gue bikin sendiri. Ya, itu isi dari surat gue. Mungkin kalian bingung kenapa gue bikin surat kayak gitu dan buat siapa? Oke, jadi gini ...

"Vi, sampai kapan sih lo jadi secrets-admirer gini?" tanya Tatan—atau yang biasanya dipanggil Tania, sahabat gue—waktu gue lagi asik baca novel roman picisan kesukaan gue di kelas.

"Ya, sampe Zach tau kalo gue suka sama dia." jawab gue acuh tak acuh yang dijawab oleh helaan napas Tatan yang terdengar berat.

"Vivi ..., Vivi ...," kata Tatan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "gimana Zach mau tau lo suka sama dia kalo lo aja nggak pernah bilang suka sama dia?" tanyanya dengan alis yang naik sebelah.

Gue mengedikkan bahu tak acuh. "Nggak tau."

Gue menutup novel yang tadi gue baca dan memasukkannya ke dalam tas, lalu duduk menghadap Tatan. Wow. Gue nggak sadar kalau sedari tadi Tatan memasang mimik serius.

"Dan ... kenapa lo pasang muka serius begitu? Ada yang salah?" tanya gue menatap Tatan dengan heran.

Lagi-lagi Tatan menghela napas. Dia sebenarnya kenapa?

"Dih, lo napa lagi? Punya masalah?"

Dia memejamkan matanya  lalu membukanya secara perlahan dan berkata, "Iya. Gue punya masalah. Dan masalah gue itu elo."

"Lah? Emang gue kenapa?" tanyaku semakin bingung.

Tatan menggenggam tangan gue sebelum berkata, "Vi ... kita itu udah sahabatan mulai orok. Gue tau persis lo itu gimana. Udahlah, Vi. Gue udah muak liat lo kayak gini." ucapnya dengan ekspresi tersiksa.

"Please deh, Tan, nggak usah lebay gitu." ucapku seraya memutar bola mata. "Emang gue kenapa sih?"

"Sebelumnya, bisa nggak sih lo berenti manggil gue 'Tatan'?! Gue berasa jadi orang utan dengan panggilan sayang lo itu!" sungutnya sebal.

Gue terkekeh dan mulai mendengarkan penjelasannya.

"Oke. Gue jelasin. Gue rasa masing-masing dari kita udah tau deh, lo itu suka sama Zach! Dan masalahnya adalah lo selalu mendam perasaan lo sama dia dari dulu! Gimana dia mau tau kalo lo suka sama dia, lo aja biasa banget di depan dia. Menegurnya aja lo jarang, biasanya 'kan dia yang sapa duluan," celoteh Tatan—oops, Tania maksudnya—panjang lebar.

"Terus? Kan yang suka sama dia itu gue, bukan elo. Kenapa jadi lo yang masalah?"

"Gue belum selesai ngomong!" Tania mulai memasang wajah sebal andalannya, mungkin itu karena gue yang nggak ngerti apa yang dia omongin mulai tadi.

"Gue saranin lo buat bikin first move. Soalnya, menurut kabar angin yang gue denger, Gilda itu lagi mengincar Zach buat dijadiin target selanjutnya. Lo nggak mau 'kan Zach kena pelet si Nenek Gayung sok kecantikan itu duluan? Lo ngerti nggak maksud gue?" tanya Tania setelah penjelasan panjangnya.

Gue manggut-manggut mengerti. Iya sih, katanya juga begitu.

"Terserah lo deh mau lakuin apa buat menarik perhatian Zach. Bikin surat cinta kek, puisi, atau ngasih coklat gitu buat dia. Atau kalo lo berani ajak aja dia kencan. Siapatau dia mau." saran Tania, yang sebenarnya terlalu nekat di akhir.

Dari situlah ide gila ini berawal. Gue lebih milih bikin surat karena menurut gue itu bisa menjadi sarana buat mengungkapkan isi hati, meskipun gue sendiri agak geli waktu nulisnya. Dan kenapa gue nggak bikin puisi aja tau ngasih coklat, itu karena gue gabisa bikin puisi dan nggak modal buat beli coklat.

Jangan bilang gue pelit!

Dan asal kalian tau, gue udah bikin ini surat mulai jam delapan malem dan sekarang udah jam sebelas, itu artinya gue udah mutar otak selama tiga jam. Wow. Gue sendiri nggak nyangka gue bisa memakan waktu selama itu cuma buat bikin surat yang bahkan sampai sekarang gue masih ragu buat ngirimnya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Apa ini sudah benar?

Ketukan di pintu memecahkan lamunan gue. Eh, siapa yang ketuk?

"Masuk!" teriak gue agar sang pengetuk pintu berhenti mengetuk dan masuk ke kamar gue.

Idih! Siapa yang ngetuk tengah malem gini, sih?! Udah disuruh masuk juga, masih aja ngetuk.

"Masuuk!!" teriak gue lebih kencang, namun masih tidak ada tanda sang pengetuk akan berhenti mengetuk pintu.

Tunggu. Sekarang sudah jam sebelas lewat dikit. Para penghuni rumah gue pasti udah pada tidur. Lampu juga udah padam semua, kecuali kamar gue. Jadi yang ngetuk itu siapa?!

Apa jangan-jangan maling?! Ah, tapi nggak mungkin. Mana ada maling ngetuk pintu kamar sang empunya rumah? Gila aja itu maling. Perasaan pintu depan sama belakang juga udah dikunci semua. Gue sendiri 'kan yang ngunci tadi sore.

Jadi itu siapa—atau yang lebih tepatnya lagi, itu apa!

HANTUUUU!!

Secepat kilat gue berlari ke ranjang dan menghempaskan tubuh di sana. Dengan gelagapan gue mengambil selimut tebal yang terletak tak berdaya di samping ranjang. Gue menyelimuti keseluruhan tubuh gue sampai kepala agar tubuh gue tertutup sempurna. Gue merinding banget sumpah! Tangan, kaki, bahkan bibir gue gemetar saking takutnya. Gue nggak tau sekarang muka gue udah sepucat apa. Gue cuma bisa memejamkan mata berusaha tidur supaya rasa takut ini berkurang. Ya Allah ... lindungilah Vivi dari apapun itu, Ya Allah .... Vivi beneran takut!

Tak lama suara ketukan itu berhenti. Untuk sejenak gue bisa bernapas lega, tapi setelah mendengar suara derap kaki, ketakutan itu muncul lagi. Apa 'orang' itu akan masuk ke kamar gue? Atau mungkin meninggalkan kamar gue karena merasa lelah mengetuk? Jawabannya, gue nggak tau.

Gue masih dalam posisi sama dan keadaan yang sama. Memejamkan mata dengan tubuh yang ditekuk dan tangan yang memeluk guling dengan erat. Gue terlalu takut sampai tanpa gue sadari gue sudah tertidur.

Vivian's LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang