Part 5

5 1 0
                                        


Surat ketiga. Gue pengen buat surat ke-tiga. Kalau surat pertama dan kedua nggak berhasil, gue pengen coba surat ke-tiga. Dan ini adalah surat terakhir. Kalau surat ini gagal, gue harus belajar buat ngelupain Zach.

Tapi gue harus bikin yang kayak gimana?

Dear Zach,

Gue pastiin setelah ini gue gak bakal bikin surat-suratan lagi. Gue capek. Bikin surat, tapi selalu gagal buat ngasih sama lo. Tapi inti dari ini semua cuma satu, gue pengen ngungkapin perasaan gue.

Selama ini, kita gak lebih dari temen satu sekolah. Bahkan kata 'sahabat' juga gak cocok buat ngambarin kita berdua. Gue gak berharap lebih. Meskipun gue akui gue emang pengen jadi lebih dari ini, tapi kayaknya itu gak mungkin.

Setiap hari gue selalu merhatiin lo dari kejauhan. Gue tau apa kebiasaan lo, hal apa yang lo sukai, dan apa yang lo benci. Gue gak tau apa perasaan lo kalo tau gue udah kayak stalker. Tapi, gue janji gue bakal berenti kalau lo merasa terganggu.

Te amo,

Vivian.

Gue gak pernah yakin surat-suratan kayak gini bisa bikin Zach luluh. Tapi gue terus aja berharap dia bakal sadar sama perasaan gue. Paling surat ini cuma gue simpan di laci meja belajar bareng surat-surat yang lainnya. Buat jadi kenangan-kenangan atau pengingat gue kalau gue udah coba bikin Zach yang gak peka buat sadar kalo gue cinta sama dia. Cinta ini melelahkan.

"Vi ...! Vivian! Ada temen kamu, tuh, cariin kamu!"

Terdengar suara teriakan Mama dari luar kamar. Paling yang datang itu Tania atau Renata. Mungkin Tania, kemaren dia pinjem buku fisika gue dan janji buat kembaliin hari ini.

"Iya, Ma! Tunggu bentar!" teriak gue.

Gue berdiri dari kursi tempat gue duduk tadi dan berjalan santai ke arah pintu, sambil mengikat rambut gue yang sedari tadi tergerai. Gue buka pintu kamar, dan ternyata gak ada orang di sana. Biasanya 'kan Tania langsung ke kamar kalo main ke rumah. Jadi, bukan Tania? Ah, mungkin dia lagi sok jaim nungguin gue di ruang tamu.

Gue pergi ke ruang tamu dan melihat seseorang yang duduk membelakangi gue. Eh, itu cowok.

Gue berjalan mendekat dan orang itu berbalik.

"Hai, Vi! Sorry gua ganggu," kata Edgar dengan cengiran khasnya.

Ternyata Edgar, temen sekelas Zach sekaligus ketua OSIS.

"Eh, elo, Gar. Gue kira siapa. Tumben ke sini, ada masalah apa?" tanya gue langsung seraya duduk di sofa di seberang Edgar.

"Gini, Vi. Lo tau 'kan kalo sebentar lagi sekolah kita bakal ngadain pertandingan basket?"

Gue mengangguk.

"OSIS dan anggotanya disuruh buat jadi panitia di acara ini. Kebetulan Nira yang jadi ketua panitia konsumsi, pindah sekolah minggu lalu. Otomatis Hani yang jadi wakil maju buat gantiin posisi Nira. Sementara posisi Hani sekarang kosong." ujar Edgar.

"Udahlah, Gar. Gak usah berbelit. To-the-point aja. Jadi intinya apa?" tanya gue gak sabar

Edgar menghela napas. "Nah, kata Zach lo yang bakalan ngisi tempat kosong di panitia konsumsi buat pertandingan basket tahunan nanti. Gue ke sini buat mastiin itu. Lo beneran jadi, 'kan?"

Gue jadi teringat kemarin lusa Zach ada nawarin gue hal itu. Karena dia udah memohon-mohon dan gue kasian, ya gue terima aja. Tapi, gue gak tau kalau ternyata gue bakal jadi wakil ketua.

"Em ... iya, sih. Kemarin Zach nanyain gue soal itu. Dan gue setuju buat jadi panitia konsumsi." ucap gue ragu. "Tapi, gue kurang ngerti masalah jadi panitia."

"Oh, tenang aja, Vi. Tugas lo gampang. Lo tinggal nge-cek semua makanan konsumsi sama bantuin Hani. Sisanya biar dibantu sama panitia konsumsi yang lain." jelas Edgar.

Gue manggut-manggut mengerti. Edgar meminta gue buat ngambilin pulpen sama secarik kertas jadi dia bisa nulis hal-hal yang harus gue cek nanti.

"Nih,"

Gue menyodorkan hal-hal yang tadi dia pinta dan kembali duduk di depannya.

Selesai menuliskan semua yang perlu gue cek, Edgar memberikan kembali kertas dan pulpennya. Seketika gue teringat sesuatu.

"Em, Edgar," panggil gue pelan.

"Iya?"

"Gue bisa minta tolong, nggak?" tanya gue ragu.

"Iya, boleh. Asal masih dalam batas kemampuan gue." Jawab Edgar enteng. "Jadi mau minta tolong apa?"

Gue memberikan isyarat pada Edgar supaya menunggu sebentar. Edgar mengangguk dan gue langsung bergegas ke kamar, mengambil surat-surat cinta yang udah gue buat.

Gue nyembunyiin surat itu di belakang punggung sementara gue berjalan ke arah Edgar.

"Apaan tuh, Vi?" tanya Edgar penasaran sambil menjulurkan leher untuk melihat barang yang gue pegang.

Gue menunjukkan surat-surat itu pada Edgar dengan ragu. "Surat. Lo bisa kasih ini semua ke Zach, gak? Gue nitip,"

"Surat apaan? Surat cinta, yaaa?" goda Edgar jahil.

Gue cuma menunduk buat menutupi pipi gue yang udah merona karena malu.

"Eh? Jadi ini beneran surat cinta? Wah, wah. Gue baru tau kalo ternyata lo suka sama Zach." kata Edgar seraya menggeleng berlebihan.

"Sst, udah ah gak usah dibahas. Yang jelas gue nitip, ya. Dan jangan dibuka!" kata gue memperingatkannya.

"Iya, iya, gak bakal gue buka. Kalo gitu gue cabut, ya," pamit Edgar seraya berdiri. Dia berjalan ke arah pintu dan gue di belakangnya, mengantar. Edgar berbalik lagi kemudian berkata, "oh iya, lo udah mulai bisa bantu-bantu dari besok. Datang aja ke ruang OSIS, nanti di sana ada Hani. Dia yang bakal jelasin lebih lanjut gimana."

Gue manggut-manggut lagi sambil bilang "iyaaa". Baru tau gue kalo Edgar ternyata orangnya rada cerewet. Dari luar keliatan kalem aja.

"Oke, gue cabut. Makasih, ya, Vi,"

"Jangan lupa suratnya, ya, Gar!" teriak gue waktu Edgar naik ke sepeda motornya. Malu-maluin sih tapi siapa tau dia lupa.

"Iya, gak bakalan lupa, kok, Vi," sahut Edgar balik sambil menahan tawa.

Ah, gue malu banget. Moga Edgar ngasihnya waktu sepi jadi gak banyak yang tau ....

Vivian's LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang