Part 6

5 1 0
                                        

Pertama kali gue dan Zach ketemu itu hampir 3 tahun yang lalu. Gue inget, Zach itu orangnya pendiam. Dia gak banyak ngomong dan berinteraksi sama yang lain. Yah, wajar aja soalnya dia jadi murid pindahan pas tahun ajaran baru kelas 3 SMP. Nanggung banget kan buat punya banyak teman baru? Tapi masalahnya bukan itu. Zach terlalu tertutup, waktu yang lain coba bicara sama dia, dia gak banyak bicara. Cuma menanggapi seadanya. Lagi-lagi gue mikir, yah, mungkin karena dia masih baru.

Tanpa sadar gue jadi semakin sering merhatiin Zach. Gue, Tania, sama dia sekelas dan waktu itu ke mana-mana gue selalu bareng Tania. Jelas dong Tania ngeliat gelagat aneh gue? Dari situlah dia berasumsi kalau gue suka sama Zach. Kebenarannya? Gue juga kurang tau waktu itu. Yang gue rasa gue cuma sekedar berempati sama dia.

Mulailah gue memberanikan diri buat ngomong sama Zach. Percakapan ringan aja, buat kenalan, well yeah sejak gue penasaran sama dia. Waktu itu pelajaran olahraga dan kebetulan Pak Taufiq gak bisa masuk, sehingga murid bebas bermain olahraga yang diminati masing-masing. Kebanyakan anak cowok milih main futsal di lapangan, tapi Zach enggak. Dia lebih milih duduk di pinggir lapangan sambil nonton yang lain.

Gue mendekat perlahan, ragu-ragu buat tetap berdiri atau duduk di samping dia.

"Hai," sapa gue pelan yang sukses membuat Zach menoleh, dia mengerutkan dahi. Mungkin heran karena gue yang jarang—well, bisa dibilang hampir gak pernah—bicara sama dia sekarang malah nyapa. Berduaan aja lagi.

Dia mengangguk, sekilas gue denger dia nyapa balik tapi suaranya pelaaan banget. "Boleh gue duduk?" tanya gue memastikan.

Dia mengangguk seraya mempersilakan gue, "duduk aja."

Selama beberapa saat gak ada yang bicara sampai gue memutuskan buat tanya, "gak ikut main futsal?"

Dia menggeleng, gue nanya lagi, "kenapa?"

Sekarang dia mengedikkan bahu. Kayaknya responnya lebih banyak gerakan daripada perkataan, ya?

"Lagi males aja," jawab Zach.

"Ooh," dan gue gak tau lagi harus ngomong apa. Stuck! Kenapa harus singkat banget sih balasnya? Sekarang kan gue jadi canggung sendiri, duh!

"Kenapa gak ikut main voli kayak yang lain?" tanya Zach tiba-tiba.

Gue yang seakan gak sadar kalau dia lagi ngomong sama gue malah cuma bilang, "Eh? Ah?" yang dibalas tawa kecil oleh Zach. Kayaknya muka gue yang melongo kek orang linglung jadi hiburan tersendiri buat Zach. Serius deh, gue gak nyangka kalau dia bakal nanyain gue.

"Ah, lagi males aja," sahut gue sama persis balasan Zach sebelumnya. Hahaha, gue bales lo. Zach sedikit menaikkan alisnya, sadar gue memakai kalimat yang sama buat ngejawab pertanyaannya.

Sekilas gue liat dia senyum, tapi cuma sepersekian detik sampai gue gak yakin apa dia beneran senyum atau nggak, kemudian dia menyahut, "ooh," yang lagi-lagi sama dengan balasan gue terakhir.

Keheningan lagi-lagi menyerang gue dan Zach. Gue cuma menatap lurus ke depan, nonton temen sekelas gue lagi main futsal, begitu pula dia. Gue bukan tipikal yang suka nonton orang olahraga tapi gue merasa kikuk buat tiba-tiba berdiri dan pergi ninggalin Zach sendiri. Antara gak tega dan gak tau harus ngapain.

"Nama lo Vivian, kan?" tanya Zach tiba-tiba, gak lama setelah seruan "GOOLL!" kedua dari anak-anak yang lagi main futsal.

"Eh? Ah, iya," jawab gue seraya menoleh Zach, "gue juga tau nama lo Zacharie. Btw, nama lo unik, ya."

Zach menatap gue balik, "hm, iya. Panggil gue Zach aja," katanya sambil mengulurkan tangan. Melihat tangan Zach yang melayang di udara, alis gue otomatis naik. Seriusan nih Zach yang pendiam menawari gue jabat tangan?! Gue kembali menatap muka Zach yang sekarang dihiasi senyum kecil. Seketika gue merasa sesuatu menggelitik di perut gue, yang anehnya gue gak tau apa atau karena apa. Gue merasa hangat dan tanpa sadar senyum yang lebih lebar menghiasi muka gue. Tangan gue turut terangkat membalas uluran tangannya.

Vivian's LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang