D-day. Hari ini pertandingan basket Zach dilaksanakan. Gue selaku panitia konsumsi pun turut hadir di acara. Tugas gue hari ini gak banyak dan juga gak ribet, tapi kalau menurut gue lumayan ngerepotin. Gue harus ngebagiin konsumsi yang sudah disediakan bersama panitia lain ke semua peserta dan tamu undangan, termasuk juri dan wasit. Yah walaupun gue gak sendiri, tapi tetap aja menurut gue membawa tumpukan kotak nasi yang sudah ada isinya itu jadi beban tersendiri. Repotnya itu, lho!
Gue sempat beberapa kali berpapasan sama Zach, dan seperti biasa dia nyapa gue. Dan itulah masalahnya! Dia biasa aja, seolah gak ada yang terjadi. Harusnya Edgar udah ngasih surat yang gue titipin ke Zach, kan? Tapi Zach bertingkah seolah gak ada apa-apa dan itu malah semakin bikin gue resah.
Apalagi kalau gue inget-inget lagi isi surat yang gue bikin gak banget, absurd hahaha. Tapi biarlah, gue rasa Zach tau seberapa buruk kemampuan gue nulis surat.
Dan tau apa yang lebih aneh lagi? Inget Gilda? Cewek yang ngedeketin Zach dari awal masuk? Gue juga berpapasan sama dia beberapa kali hari ini. Kayaknya dia jadi suporter, tapi yang bikin gue heran itu cara dia ngeliat gue setiap kali kami papasan. Tatapannya selalu kayak menilai gue, dan diakhiri dengan buang muka dan gue bisa liat dengan jelas kalau dia masang muka jijik yang sungguh-gue merasa hina banget gara-gara muka dia begitu. Apa salah gue coba? Ngomong sama dia aja gue gak pernah, apalagi yang lebih-lebih.
Hal ini bikin gue curiga kalau surat yang harusnya ditujukan ke Zach malah berpindah tangan. Gue juga beberapa kali ngobrol sama Edgar hari ini tapi cuma yang berhubungan sama acara ini, gak lebih. Gue selalu lupa nanya tentang surat itu tiap kali fokus ke tugas gue. Dan semua hal yang kayaknya gak penting ini sudah mengusik pikiran gue seharian. Bikin gue gak betah dan pengen cepat-cepat pulang.
Setelah bertahan dan berjuang selama beberapa jam, akhirnya gue sampai di penghujung acara. Bentar lagi pengumuman pemenang dan itu berarti bentar lagi gue udah bisa pulang. Pegel bangeet g*la!
Dan beruntunglah-seperti yang kita duga, semuanya-tim Zach yang memenangkan pertandingan. Tapi dia emang pantes dapat penghargaan itu. Gue bisa ngeliat tim mereka latihan setiap hari dari pulang sekolah sampai sore banget. Gak jarang ada yang latihan di hari libur kayak weekend. Mereka beneran bertekad banget buat menangin pertandingan kali ini. Biasanya juga gitu sih.
Gue ikut tersenyum melihat senyuman lebar menghiasi para anggota, terutama di wajah Zach sendiri. Ngeliat dia ketawa sebahagia itu kayak nularin kebahagian juga ke diri gue. Saat itulah gue ngeliat dia ngeliat gue. Gue gak terlalu yakin, sih, soalnya gue rasa itu cuma berlangsung sekitar 2 detik? Entahlah ya, yang jelas saat kontak mata itu gue ngerasa seolah semua senyumannya itu buat gue. Hahaha, gue tau kedengeran narsis banget, kan? Yah, gue akui masih ada high hopes meski gue udah tau itu peluangnya kecil banget. Secara dia jelas-jelas mengedarkan pandangan, dan yang dia tatap jelas bukan cuma gue.
Setelah 2 detik itu berakhir, gue cuma tertawa kecut dengan pikiran gue sendiri. Gue mikir apa, sih, pikir gue, malu dengan pemikiran gue sendiri.
Gue menggeleng seraya bangkit dari posisi gue yang nyender santai ke tembok dengan tangan yang masih menyilang di dada. Tangan gue turun ke samping badan seraya gue berjalan ke ruang istirahat panitia. Saatnya buat pulang.
"Vi," panggil Bagas, salah satu panitia juga, "udah ambil bagian lo?" tanyanya sambil menunjuk ke beberapa kotak nasi yang masih tersisa.
Gue mengangguk, "udah. Nih," kata gue sembari mengangkat kantong plastik merah yang berisi kotak nasi punya gue. Bagas mengangguk puas sebagai balasannya.
Perhatian gue teralihkan dari Bagas ke Hani yang sudah berdiri di samping gue. Seraya menepuk pundak gue, dia berkata, "makasih banyak, ya, Vi. Lo udah ngebantu banget hari ini. Kemaren-kemaren juga. Kita tau lo emang tepat buat posisi ini," Hani tersenyum lebar. Gue membalas senyumnya dengan tulus.
"Iya, sama-sama. Gue juga jadi belajar banyak dari lo dan yang lain, harusnya gue juga bilang makasih."
Hani mengangkat tangannya dengan cepat, dia mengacungkan jari telunjuknya yang kemudian bergoyang ke kanan dan kiri dengan cepat pula. "No, no, no! Kami yang harusnya bilang makasih. Tanpa lo semuanya gak bakal berjalan semulus ini. Kemampuan lo emang harus gue acungi jempol," kata Hani dengan menekankan kata 'kami' dan menjelaskan dengan menggebu-gebu.
Malas berargumen lebih, gue hanya mengiyakan ucapan Hani. Yang jelas semua sudah selesai dan gue pengen pulang secepatnya. Mandi dan tidur. Cuma itu yang ada di kepala gue sekarang.
"Ya udah kalau gitu. Semuanya, gue duluan, ya!" pamit gue yang disambut baik oleh yang lain. Sebenarnya berkat ini juga gue jadi dapet banyak temen baru, dan itu bikin gue senang banget terlepas dari rasa lelah yang gue dapat.
Baru aja mau jalan ke luar gerbang, ada suara familiar yang memanggil gue.
"Vi!" serunya, sambil setengah berlari menghampiri gue.
Bisa tebak siapa? Yap! Orang yang lagi males gue temuin; Zach.
Seketika ingatan tentang surat yang gue titipin ke Edgar datang. Gimana kalau Zach menghampiri gue karena pengen bahas surat itu? Atau dia pengen nanyain gue pertanyaan yang bakal sulit gue jawab dan gak bisa gue tebak? Gimana kalau dia malah mau nyemprot gue dengan berbagai keluhan dan penolakannya terhadap gue?
Alright, gue mulai over-thinking. Mungkin dia cuma pengen nyapa?
Gue lagi-lagi merasa gugup dan gelisah di saat yang bersamaan.
"K-kenapa, Zach?" tanya gue ketika dia sudah berdiri tepat di depan gue.
Dia masih pakai seragamnya, ya ampun.
"Makasih banyak ya lo udah"-oke gue gugup banget di sini-"jadi panitia kayak yang gue minta,"
Jleb.
Ah, gue kira apaan.
Gue mengangguk untuk yang entah sudah berapa kalinya, yang jelas banyak banget yang berterima kasih sama gue hari ini.
"Iya, sama-sama," jawab gue seadanya. Gue pasti keliatan berantakan banget di mata Zach. Secara penampilan gue yang udah gak jelas gimana gara-gara sibuk ke sana ke mari tadi.
Dia balas tersenyum. Melihat bawaan gue, dia berucap, "lo udah mau pulang? Cepat amat?" tampak heran karena gue berniat pulang lebih dulu dari yang lain. Yah, lagian mereka juga gak keberatan kan. Gak ada kerjaan lagi juga.
"Iya. Gak ada kerjaan lagi juga yang perlu gue kerjain. Lagian gak ada yang gue tunggu, jadi gue pengen pulang cepet aja. Pengen cepet-cepet mandi, juga tidur," Zach meangguk-angguk mendengarkan.
"Oh, gitu," responnya. Saat gue hendak beranjak pamit Zach malah nawarin, "gue anter, ya?"
Kegugupan gue yang udah menumpuk dari tadi ditambah rasa lelah yang seolah menggantung di badan gue kayaknya bikin gue gak konek. Gue salah denger atau dia beneran nawarin gue pulang di saat dia harusnya ngerayain kemenangan bareng temen-temennya?
"Eh? Ah?" ucap gue lengkap dengan mata yang mengerjap-kerjap. Gue pasti keliatan gak banget sekarang di mata Zach. Duh.
"Iya, gue anter pulang. Anggap aja sebagai tanda terima kasih gue, tapi ya gue sadar sih ini masih belum cukup," kata Zach lagi seolah paham gue sedang linglung dengan ajakannya.
Sebenarnya gue pengen bilang iya, tapi, "em, gak usah deh, Zach. Gue bisa sendiri," yang malah keluar dari mulut gue.
"Lo yakin?" tanya Zach memastikan.
Nggak. Sebenarnya gue pengen pulang bareng sama lo tapi kayaknya gue masih gak sanggup ngadepin lo sekarang.
Mengangguk, gue bilang, "gue bantu juga karena gue mau, jadi santai aja. Lagian kan lo harusnya ngerayain kemenangan bareng temen-temen se-tim lo?"
Sekilas gue melihat kekecewaan di mata Zach yang sukses bikin gue menyesali penolakan gue tadi. Tapi itu cuma sekilas sampai gue merasa itu cuma sekedar harapan gue kalau dia bener-bener kecewa waktu gue nolak permintaannya.
Zach mengedikkan bahu sembari berkata, "gue bisa ngerayainnya nanti, kok. Tapi kalau lo gak mau juga gapapa sih," dengan senyum tulus yang menempel di wajahnya.
Seketika itu membuat gue sadar. Dia nawarin gue tumpangan bukan karena dia mau merespon perasaan gue. Juga bukan karena ada sesuatu yang dia ingin bicarain sama gue.
Tepatnya, Zach belum menerima suratnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Vivian's Letter
Genç KurguYo! Gue Vivian. Salam kenal, ya. Sesuai judul, ini cerita tentang gue dan surat-surat yang gue tulis. Surat apa? Ya, surat cinta gitu. Buat siapa? Ya, buat orang yang gue suka lah. Kenapa surat? Hmm, gimana ya, gue juga gak tau sih, tapi kata Tan...