Part 3

4 2 0
                                    


Baru kemarin lusa sejak gue menulis surat itu dan sampai sekarang juga gue masih belum berani buat ngasih. Sebenarnya, gue emang belum siap buat kasih itu surat. Suratnya belum selesai sepenuhnya. Masih harus gue salin ke kertas binder nan unyu dan gue edit, barulah gue kasih itu surat ke Zach. Tidak lupa dengan amplop tanpa perangko.

Gue masih menyusun kata-kata yang cocok. Sepertinya waktu tiga jam dan ketakutan semalam tidaklah cukup untuk menyelesaikan surat cinta abal itu. Masih perlu pengorbanan berlanjut. Belum lagi kendala kurangnya inspirasi, itu sangat menganggu gue. Gue tau, mungkin menulis surat tidak perlu menggunakan inspirasi layaknya membuat novel atau cerpen. Tapi tetap aja, gue pengen mencurahkan isi hati gue ke Zach dengan bahasa yang pastinya menyentuh dan bisa membuat Zach luluh.

Belum lagi tentang Zach yang akhir-akhir ini jarang banget gue temuin. Gue nggak tau itu dia ngilang ke mana, tapi gue semakin jarang ketemu bahkan ngeliat dia. Mungkin dia lagi sibuk latihan buat pertandingan basket bulan depan. Seolah ditelan bumi, gue rindu dibuatnya. Asekk.

Ah! Itu dia! Gue dapet ide!

Gue mengambil pulpen di kotak pensil dan secarik kertas yang memang sudah gue siapkan dari rumah tadi.

Dear Zach,

Lo tau?

Bahkan, gue sendiripun nggak yakin ini bisa dibilang eternal love. Tapi Zach, lo tau nggak? Tiap kali di dekat lo, gue ngerasa nyaman, aman, dan tenteram. Bagai keresahan yang sudah berlalu, tenang. (Asekk.)

Dan lo tau nggak? Tiap kali lo jauh dari gue, gue merasa sepi. Iya, kesepian. Perasaan yang selalu menyelimuti gue kalo nggak ada lo di sini. Gue merasa hambar, sehambar teh tawar. (Asekk.)

Ya. Gue tau, mungkin itu semua terdengar konyol dan menggelikan di telinga lo (sekalipun ini hanya lewat tulisan dan lo membacanya, bukan mendengarnya, tapi anggaplah gue lagi ngomong langsung) tapi cuma itu yang muncul di benak gue saat gue nulis ini.

Sederhananya, gue suka sama lo, Zach. Iya, lo. Dari hari-hari gue mulai memperhatikan lo dulu. Mungkin lo gak sadar. Wajar karena gue gak pernah nunjukin. Tapi lo tau apa? Setiap hari dan setiap kali kita ketemu, gak pernah sekalipun gue gak merasa pengen nunjukin perhatian gue ke lo. Tapi gue gak bisa, karena gue emang gak biasa.

Gue cuma harap lo ngerti. Ngerti kenapa gue nulis surat model gini. Ngerti kenapa gue gak nunjukin rasa suka gue. Ngerti alasan gue suka sama lo. Ngerti kemampuan nulis gue yang gak banget. Well, itu aja yang pengen gue bilang. Makasih kalau lo udah nyempetin waktu lo baca surat gue yang kelewat absurd ini.

Regards,

Vivian.

Puas. Gue puas udah mencurahkan isi hati dan perasaan gue di atas secarik kertas ini. Rasanya itu lebih plooong! Hmm ... gue jadi tertarik bikin diary.

***

Ay-ey, cap! (dunno why i say that xD) part 3 selesai dan, yah, pendek banget kan? tapi chap yg lbh panjang bakal dipublish ASAP kok! bagi kalian yang sudah berbaik hati membaca sampai sini, i wanna say that i, extremely, exceptionally, highly, really really, feeling grateful karena kalian tau cerita ini punya banyak kekurangan dan masih bersedia menantinya :D terima kasih banyak karena sudah memberikan vomment yang begitu berharga ini :'D bagi siders juga, terima kasih sudah mampir dan menambah view ceritaku :D

khususnya buat:

Eryn_keylin

yang sudah begitu setia mampir <3

salam,

Reviamallos. :p

Vivian's LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang