12. Pepper Spray

12.8K 1.1K 36
                                    

Hallo semuaa! Mohon maaf yaa saya baru update! 2 bulan terakhir yang penuh ujian buat saya. Eh beneran loh ini ujian, besok SMA USBN coyy!! :( Dan sesuai janji, akan ada satu part lagi sebelum saya bener-bener vacum dari dunia per wattpad an. *kan mau UN  #cailah kaya boyband n girlband aja dah pake vacum segala. Niat banget gak sih sampe update pagi-pagi gini? wkwkwk.

Terimakasih yang sudah mampir baca kesini:) 

***

Paras menjadi pendiam sejak jam kantor usai. Pekerjaannya sebagai seorang akuntan menuntutnya untuk lebih teliti dalam menyusun maupun mengembangkan sistem perencanaan perusahaan, guna memonitor arah pencapaian sasaran. Sedikit kesalahan akan berakibat fatal bagi kesejahteraan sumber daya manusia di dalamnya. Termasuk bonus akhir tahun dan entertain lainnya terpaksa harus berdiri di tepi jurang. 

Kesal lebih tepatnya. Bayangkan saja, sudah pukul sembilan, Paras masih sibuk berkutat dengan dokumen yang harus segera di periksa dan di kerjakan secepatnya. Terlihat antrian dokumen yang sudah menanti untuk di kerjakan. Bodohnya dengan gampang ia mengiyakan ajakan Bossnya siang tadi, sehingga sisa pekerjaannya tidak ada yang menghandle, di tambah pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggungjawab Juki di limpahkan dengan bebas di atas meja Paras sepulang meeting sore ini. Sebuah paket lengkap bin komplit today!

Jari tangannya yang sudah terlatih, beradu cepat dengan kerasnya keyboard. Seakan sedang meluapkan sesuatu yang tak tersalurkan. Matanya tak sedetikpun hilang dari pandangan monitor kini merasa lelah akibat sinar pantulannya. Paras merenggangkan tubuhnya sejenak dari aktivitas monoton setiap harinya. Sedetik kemudian, Paras menengok ke sekeliling lantai ruangan kerjanya, hanya ada Lukman yang kini tengah merapihkan tas kerjanya, tanda ia sudah selesai dengan pekerjaannya hari ini.

"Nggak mau pulang lo? Betah banget lembur tiap hari." tanya Lukman saat melintasi meja kerja Paras dengan beberapa dokumen di tangannya.

Sudah kali kedua Paras terlihat pada jam-jam menjelang malam seperti ini. Dan Lukmanlah yang selalu berada di lantai yang sama, sekedar menjadi teman lembur yang pada akhirnya Paraslah yang selalu pulang lebih larut.

"Ya kali Mas, gue juga pengen cepet-cepet pulang ini. Pusing." jawab Paras dengan raut muka yang memelas.

"Yaa lu sendiri, dari siang kemana aja? Kerjaan bisa numpuk kaya gitu."

Lah dia yang sewot. Bukannya bantuin.

"Ini juga gara-gara Juki ya, kerjaannya di serahin semua ke gue." jawab Paras kesal.

"Pantes, gue nggak liat dia seharian. Sakit?" 

Paras menghendikkan bahunya, ia tak tahu betul drama apa yang di buat Juki hari ini. Ia tak ingin mengungkit perihal Juki yang cukup membuatnya pulang malam lagi hari ini. Rasanya ia harus membuat perhitungan pada seorang Juki besok.

"Eh-bentar ya Ras, gue ngasih ini dulu ke Pak Boss." katanya sambil menunjukkan dokumen di tangannya lalu pergi menuju ruangan berkaca di sudut kanan lantai.

Paras hanya menjawab dengan anggukkan kepalanya dan segera beralih pada pekerjaannya yang terlantar. Eh salah- kerjaan Juki loh ini. Paras masih tak terima dengan perlakuan semena-mena yang menurut versinya itu.

Tak selang beberapa lama, Lukman keluar dari ruangan sang Boss. Berjalan ke arah meja Paras sambil merapikan lengan kemejanya.

"Masih lama Ras? Mau gue temenin nggak?" tawar Lukman.

Basa-basi yang sudah saaangat basi.

"Enggak usah, bentaran lagi juga kelar. Duluan aja." tolak Paras halus.

"Yakin? Gue temenin deh, nggak tega gue ninggalin lo sendirian."

Preketek!

"Yang ada kalo lo masih disini kerjaan gue kaga kelar-kelar." jawab Paras sedikit jengah.

"Bener yaa, gue balik nih." tawar Lukman sekali lagi.

"Iyaa, tenang aja. Udah sana balik." jawab Paras sembari mengusirnya.

"Lo hati-hati pulangnya." kata Lukman.

"Iya lo juga hati-hati."

Sepuluh menit kemudian, setelah Paras mengirimkan pekerjaannya via email, Paras segera mematikan komputernya, lalu memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Tak lupa ia memesan taksi online di ponselnya. Paras melirik ke ruangan sang Boss yang lampunya masih menyala, tanda penghuninya masih berada di dalamnya.

Heran juga sih, setingkat Boss aja masih sempat-sempatnya lembur sampai jam segini. Apa bedanya dengan gue yang sekelas teri pasar ini?

Paras tidak melakukan apa yang Lukman lakukan sebelumnya, alih-alih takut pekerjaannya harus di revisi dan hilang sudah harapan untuk sampai rumah dengan cepat kemudian terkurung selama berjam-jam lagi.

.
.

Jakarta pada jam sepuluh masih terlihat ramai, banyak kendaraan yang berlalu-lalang di jalan. Seperti tak ada sepinya kota ini. Tapi Paras bersyukur akan hal itu, pulang selarut apapun ia tak merasa takut dan tak ada yang harus di takutkan. Kecuali film horor yang paling Paras hindari dalam hidupnya.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi derap kaki mendekatinya. Oke. Ini akibat ulah Juki dengan cerita-ceritanya yang sukses membuat merinding disaat-saat yang tidak tepat. Sebenarnya Paras sendiri tak percaya akan hal-hal mistis semacam itu.

Paras yang tengah duduk di lobi kantornya dengan sigap dan was-was mengedarkan pandangannya. Meja resepsionist telah kosong sejak ia turun dari ruangannya. Dengan cepat Paras mencopot salah satu heels nya. Tujuh sentimeter dengan ujung yang sedikit runcing, cukup membuat sang pelaku kejahatan meringis kesakitan oleh benda itu.

Belum sempat Paras mencari tahu siapa pemilik suara itu, bayangan seseorang di depannya bersuara.

"Segitu takutnya kamu dengar suara saya."

YA! Suara yang sudah tak asing lagi, tidak lain dan tidak mungkin salah. Sang Boss yang Terhormat.

Napas lega lolos keluar dari mulut Paras, bukan makhluk astral ternyata.

"Eh- Bapak saya pikir siapa." jawab Paras mencoba bersikap ramah. Lalu Paras memasangkan kembali sepatu digenggamannya ketempat semula.

"Sudah jam segini kenapa belum pulang?" tanya si bos sambil melirik arloji di tangannya.

Wait. Si boss ngomong apa barusan? Nggak salah dengerkan gue?!

"Maaf Pak?"

"Kenapa belum pulang juga? Mau nemenin security disini?" si bos bertanya lagi. Nyinyir lebih tepatnya, menampilkan wajah innocent nya.

Dosa nggak sih maki atasan selesai jam kantor yang kelewat batas ini?!

"Menurut Bapak aja gimana." jawab Paras malas, menahan emosi yang sebentar lagi keluar dengan bebas diudara.

Ini kok makin malam suhu Jakarta makin panas ya?!

"Saya bukan Bapak kamu, stop panggil saya seperti itu, apalagi ini sudah selesai jam kantor." katanya.

Tumben. Sakit kali si Bos.

"Proposal yang di minta clien tadi siang mana?" tanyanya lagi sebelum Paras menolak perkataannya barusan.

Tuh kan benar saja, cepat atau lambat, ralat. Dalam tempo yang cepat pekerjaan darinya, mau tak mau, suka tak suka, harus selesai hari ini juga. He looks like Dictator Boss.

"Sudah saya kirim via email Pak." jawab Paras sambil memainkan ponsel.

Paras tidak peduli dengan attitude nya barusan, meladeninya sama saja akan membuat tensi darahnya meningkat. Toh ini juga bukan lagi jam kantor.

"Good job. Saran saya heels lima senti kamu itu nggak cukup buat penjahat mati, nih bawa buat jaga-jaga. Saya duluan." ucapnya sambil memberikan pepper spray, kemudian melengos pergi dengan Paras yang masih memandangnya tak percaya.

Heels saya tujuh senti pak, bukan lima.

BOSS-AN PAK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang